Jakarta – Bisnis properti di Tiongkok sedang mengalami krisis. Setelah transaksi jual-beli properti meroket pada Februari 2021, bahkan mencapai 131 persen, kini penjualan properti di sana terkontraksi sampai 1,5 persen pada Juli hingga Agustus 2023 ini.
Data lain menunjukkan jumlah gagal bayar di luar negeri pada sektor properti Tiongkok melonjak ke tingkat rekor dalam 10 tahun terakhir. Jumlah USD4 miliar atau sekitar Rp633 triliun pada tahun 2015 menjadi USD54 miliar, sekitar Rp8,5 ribu triliun pada tahun 2022.
Mengutip CNBC pada Kamis, 2 November 2023, permasalahan ini sejatinya dimulai pada 2014 lalu di mana bisnis properti di Tiongkok sedang menjamur. Ini membuat pemerintah dan investor melihat adanya peluang baru dalam bisnis dan berusaha mengembangkannya secara masif.
“Mereka (pemerintah dan investor) melihat pertumbuhan yang sangat besar dalam 2 dekade terakhir. Sebagian dari pertumbuhan tersebut adalah karena mereka dapat membeli tanah dari pemerintah daerah dan kemudian menjual properti yang mereka bangun di sana kepada masyarakat di Tiongkok,” tutur wartawan ekonomi senior CNBC, Evelyn Cheng.
Baca juga: Jokowi: RI Punya Peluang Besar jadi Negara 5 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia
Investasi Pemerintah Tiongkok di sektor properti ini sejatinya bertujuan mengantisipasi permintaan terhadap properti. Namun, maraknya bisnis properti ini menimbulkan kekhawatiran lantaran tidak adanya kontrol dan pembatasan dari pemerintah.
Pada akhirnya, perlahan perusahaan properti terbesar di Negeri Tirai Bambu mulai kolaps. Evergrande misalnya, yang pada 2023 ini resmi dinyatakan bangkrut karena tidak mampu membayar utang dari luar. Sementara perusahaan lain, Country Garden belum lama ini gagal melunasi utang luar negeri sebesar USD60 juta atau sekitar Rp950 miliar.
Menurut Kepala Ekonomi Asia HSBC Frederic Neumann, penyusutan sektor real estat di Tiongkok dalam beberapa tahun mendatang benar-benar berdampak besar pada industri berat di pasar komoditas global.
“Contohnya, akan ada lebih sedikit permintaan baja, akan ada lebih sedikit semen yang digunakan, atau lebih sedikit kaca. Ini berdampak pada kawasan industri properti Tiongkok yang banyak memproduksi bahan mentah. Dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang akan tumbuh dengan sangat cepat,” ungkapnya.
Pada akhirnya, semua ini berdampak pada perekonomian global. Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan global untuk tahun 2024 dan menyebut krisis properti Tiongkok sebagai alasan utama meningkatnya inflasi dan suku bunga.
Baca juga: Ekonomi China Melemah, Segini Dampaknya ke Global dan RI
IMF menggambarkan krisis properti Tiongkok sebagai masalah besar yang dihadapi para pembuat kebijakan menjelang tahun 2024. Mereka mengatakan berkurangnya kepercayaan konsumen dan investasi di Tiongkok menimbulkan risiko yang signifikan bagi perekonomian global.
Evelyn mengungkapkan, diikarenakan properti adalah salah satu bagian terbesar dari perekonomian Tiongkok, nilai pengembang real estat tumbuh secara signifikan. Membeli obligasi atau surat utang ini merupakan investasi yang masuk akal.
“Tetapi pertumbuhan tersebut dan ketergantungan pada utang jelas terbukti tidak berkelanjutan. Ini adalah sesuatu yang sudah diperingatkan mengenai perekonomian Tiongkok selama beberapa dekade. Dan pada titik tertentu, pemerintah mulai memikirkan bagaimana mereka dapat mengurangi tingkat utang dalam sistem mereka,” lanjut Evelyn.
Bagaimana Prediksi ke Depannya?
Evelyn sendiri mengatakan, sudah sewajarnya ada perlambatan dalam perekonomian di Tiongkok. Besar kemungkinan kalau ledakan pertumbuhan tidak akan terjadi.
“Orang-orang tahu bahwa pertumbuhan Tiongkok secara keseluruhan akan melambat. Tetapi apakah itu berarti akan runtuh dan terjerumus ke dalam resesi yang dalam? Saya pikir ada banyak ruang di antara skenario tersebut,” ungkapnya.
Baca juga: Kondisi Ekonomi Global Masih Lesu, Menkeu Ungkap Penyebabnya
Selaras dengan Evelyn, Frederic menjelaskan pentingnya menyadari bahwa terdapat tantangan jangka panjang di Tiongkok. Negara yang dikepalai Presiden Xi Jinping ini yaitu mempunyai sektor konstruksi yang terlalu besar di Tiongkok.
“Tiongkok mempunyai sektor properti yang terlalu besar karena permintaan yang mendasarinya sedang menurun. Mereka mengalami perlambatan yang memperlambat urbanisasi,” tutur Frederic.
Tidak hanya itu, Frederic mengungkapkan tingginya jumlah penduduk sudah menua. Tiongkok telah membangun kembali sebagian besar persediaan perumahan di Tiongkok sesuai dengan standar modern dalam dua dekade terakhir, sehingga Tiongkok di masa depan tidak memerlukan jumlah aktivitas konstruksi sebesar jumlah aktivitas properti.
Dan sayangnya, prediksi ke depannya dianggap sulit lantaran Tiongkok bukan negara yang terbuka dalam menyampaikan data. Akan ada keraguan yang menyelimuti perekonomian dunia karenanya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso