Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah mengusut dugaan adanya permainan manfaat ekonomi atau suku bunga oleh pelaku pinjaman daring (pindar). Namun, istilah “kartel pindar” yang digunakan dalam sidang, dinilai kurang tepat karena memiliki konotasi berbeda dari kartel sesungguhnya.
Pendapat ini dikemukakan Ditha Wiradiputra, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI). Menurutnya, penggunaan istilah kartel merupakan tuduhan yang serius.
“Perusahaan-perusahaan fintech lending ini dituduh melakukan pelanggaran kartel. (Padahal), dalam hukum persaingan usaha, istilah kartel adalah istilah yang nggak main-main,” tegas Ditha pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Ditha menjelaskan, istilah kartel biasanya digunakan untuk menggambarkan kesepakatan sekelompok perusahaan yang merugikan pasar secara sistematis. Sedangkan dalam kasus pindar, dugaan yang lebih relevan adalah praktik price fixing atau penetapan harga.
Ia menambahkan, tuduhan KPPU terkait kartel dinilai tidak sesuai secara pasal. Jika memang terjadi kartel, seharusnya menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, KPPU justru mengajukan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU tersebut.
“Yang ramai dituduhkan adalah pelanggaran pasal mengenai masalah kartel. Namun, ketika proses persidangan dimulai, ternyata tuduhan yang diarahkan kepada perusahaan-perusahaan ini adalah pelanggaran pasal 5 atau praktik penetapan harga,” ungkapnya.
Baca juga: Sidang Lanjutan KPPU: Terlapor Dugaan Kartel Bunga Pindar Diminta Sampaikan Tanggapan
Ditha menyebut, tuduhan ini menimbulkan kegaduhan di kalangan publik. Seakan-akan para pelaku pindar memengaruhi suku bunga secara bersama untuk kepentingan industri itu sendiri.
“Kenapa lebih baik tidak menggunakan istilah kartel? Karena di dalam undang-undang mengenai masalah kartel, itu diatur berbeda. Sehingga, kalau kita menyebutkan atau menggunakan istilah kartel, akan misleading,” jelas Ditha.
Dari sisi pelaku industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sudah menegaskan berkali-kali kalau tidak ada permainan manfaat ekonomi di antara para pemain. Pembatasan suku bunga dilakukan justru untuk melindungi nasabah.
Baca juga: Lengkap! Daftar 97 Perusahaan Terlapor Dugaan Kartel Bunga di Sidang KPPU
Kuseryansyah, Kepala Bidang Humas AFPI, bahkan menilai kalau suku bunga yang ditentukan berdasarkan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bertujuan supaya masyarakat bisa membedakan pindar dengan pinjaman online (pinjol) ilegal.
“Bahkan, kami dari Industri ini mendisosiasi (dan) nggak mau bisa disebut sebagai pinjol. Karena, pinjol yang seperti itu konotasinya negatif,” tutupnya.
Sekilas soal Kasus Kartel Bunga Pindar
Untuk diketahui, KPPU mengusut kasus dugaan kartel bunga pindar, yang melibatkan perusahaan fintech lending yang merupakan anggota AFPI.
KPPU menduga adanya pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan bersama penetapan bunga. Pada masa itu, KPPU menduga pelaku pindar bersepakat menetapkan manfaat ekonomi 0,8 persen.
Padahal, hal ini seharusnya menjadi wewenang lembaga negara, bukan pelaku usaha. Namun begitu, AFPI menyebut kalau hal ini bertujuan untuk melindungi nasabah dari predatory landing dan pinjol ilegal. (*) Mohammad Adrianto Sukarso









