Jakarta – Pakar Hukum Yunus Husein menilai berbagai kejanggalan dalam kronologis kasus PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) yang sejatinya sudah bergulir sejak lama.
Salah satunya, saat Kresna Life mengajukan rencana penyehatan keuangan (RPK) dengan skema penyelesaian berupa konversi klaim pemegang polis menjadi subordinated load (SOL). Tak lama setelah itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyetujui RPK-nya.
“Kalau menurut saya ini lucu penyelamatannya. Masa mau menyelamatkan tapi sumbernya dari pemegang polis, konversi klaim pemegang polis. Aneh ini, kalau mau SOL harus nya dari duit sendiri, duit pemegang saham,” katanya dalam Talkshow Infobank bertajuk “Hati-Hati Modus Financial Crime di Sektor Keuangan”, Selasa, 13 Agustus 2024.
Baca juga : Lindungi Pemegang Polis, OJK Tegaskan Akan Maju Terus Lawan Kresna Life di MA
“Ini gak realistis. SOL itu selalu dari fresh money si pemegang saham, bukan dari konversi klaim pemegang polis. Sumbernya sama saja bohong,” tambanya.
Berdasarkan keterangan resmi OJK, Kresna Life sampai dengan batas waktu yang diberikan tidak mampu menunjukkan komitmen penambahan modal dari pemegang saham melalui escrow account dan menyampaikan perjanjian konversi SOL yang diaktanotariilkan.
Penyetoran dana di Escrow Account yang diminta OJK ini dibutuhkan sebagai bentuk komitmen Kresna Life untuk mengembalikan dana nasabah.
Itu artinya OJK telah memerintahkan para pemegang saham pengendali dan jajaran direksi PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life untuk bersama-sama mengganti kerugian pemegang polis atau nasabah.
Perintah pembayaran ganti rugi ini telah disampaikan melalui perintah tertulis sesuai kewenangan OJK yang dijamin oleh Undang-undang P2SK tentang OJK.
Lebih lanjut, Yunus mengatakan, langkah OJK mencabut izin usaha Kresna Life pun sudah tepat. Sebab, jika tidak dilakukan maka akan menimbulkan risiko yang jauh lebih besar.
Baca juga : Denny Indrayana Beberkan Aturan Hukum yang Jerat Pelaku Beneficial Owner Kresna Life
“Reputasi industri bisa rusak. Reputasi otoritas pun bisa rusak. Jadi harus tegas,” bebernya.
Kronologis kasus yang terbilang aneh bin ajaib selanjutnya, yakni pemilik Kresna Group, Michael Steven melakukan perlawanan terhadap OJK dengan menggugat keputusan sanksi dan perintah tertulis yang dilayangkan regulator itu kepadanya.
Aneh bin ajaib, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Michael Steven terhadap OJK untuk membatalkan sanksi pencabutan Kresna Life dan perintah tertulis yang dikeluarkan OJK.
“Mengajukan gugatan meski dia menjadi tersangka dan buronan, wah itu aneh sekali,” akunya.
Ia membandingkan, di negara Amerika Serikat saja seorang buronan tidak diperbolehkan mengajukan gugatan atau permohonan banding.
“Di sini juga ada aturan dalam Pasal 80 Ayat 2 UU TPPU yang menyebutkan seorang buronan tidak boleh banding. Tapi ini agak aneh bisa memenangkan gugatan. Luar biasa,” bebernya.
Di lain sisi, Yunus, mengkritisi ihwal administrasi pengawasan di sektor asuransi tidak sebagus administrasi pengawasan di sektor perbankan.
“Karena kurang rapinya administrasi ini bisa dijadikan celah-celah mengajukan gugatan di PTUN. PTUN itu seperti malaikat dianggap sempurna. Peringatan harus waktunya wajar, tidak boleh tidak seimbang. Sehingga kalau pengawas kita kurang sempurna administrasinya, ya bisa kalah gugatannya. Dalam kasus ini, saya lihat celahnya bukan gara-gara itu (administrasi), tapi gara-gara faktor-faktor yang tidak jelas. Masa buronan bisa menang berkali-kali,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama