Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
MINGGU lalu, hampir semua media mainstream mengangkat berita rencana (2022) kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah. Juga, perluasan barang yang kena PPN. Salah satu yang paling geger adalah PPN sembako dan sekolah. Sepertinya pemerintah mulai kehilangan kreativitas dalam menaikkan pendapatan sehingga memilih menempuh cara mudah dan primitif. Namun dalam perkembangannya Direktorat Jenderal (Ditjen) pajak mengirim 13 juta email ke wajib pajak, isinya mengenai penjelasan pajak sembako.
Padahal jika menaikkan tarif PPN – yang terkena seluruh rakyat Indonesia – dan lebih memilih menurunkan pajak barang mewah untuk kendaraan. Dan, kabarnya pajak badan juga akan diturunkan. Jujur saja, ada jalan lebih mudah yang juga bisa dilakukan, tidak buru-buru menaikan PPN, tapi tetap melebarkan defisit APBN ke angka yang terkontrol.
Sekilas pemerintah terlihat “panik” untuk menambal defisit akibat deadline defisit di atas 3% di tahun 2023 (UU No. 2 Tahun 2020). Pemerintah hendak mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebar – yang saat ini (2020) di angka 6,09% terhadap produk domestik bruto (PDB), dan tahun 2021 defisit 5,7%, ke angka lebih rendah.
Pendek kata, pemerintah hendak menurunkan defisit kembali ke angka 3% – seperti sebelum pandemi COVID-19. Nah, karena mau menurunkan angka defisit itu secara perlahan — tahun 2022 diasumsikan lebih rendah dari 5,7%. Langkahnya perlu menaikkan dan memperluas PPN. Tarifnya dinaikkan. Tidak lagi 10%. Tapi, ada beberapa skenario kenaikan dan memperluas barang yang kena pajak, salah satunya pajak sembako, dan sekolah yang bikin gaduh ibu-ibu rumah tangga. Bahkan, PP Muhamadiyah menyebut kenaikan PPN sekolah tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
Menurut dokumen yang diperoleh Infobank Institute, ada tiga skenario kenaikan tarif itu. Satu, jika PPN dinaikkan menjadi 11%, maka APBN akan defisit 4,38%. Dua, jika diasumsikan PPN naik menjadi 13%, maka defisit APBN akan lebih kecil menjadi 3,78%. Tiga, jika diasumsikan PPN naik 15%, maka defisit makin kecil, menjadi 3,17%.
Defisit yang lebar itu karena untuk membiayai APBN akibat dampak pandemi COVID-19. Penerimaan merosot, tapi pengeluaran mendaki. Lihat saja penurunan pajak dalam negeri yang tahun 2020 terkontraksi 17,1%. Akibatnya, defisit di tahun 2021 ini diperkirakan melebar hingga 5,7% terhadap PDB.
Sejauh ini, angka asumsi makro yang telah disepakati (DPR-Kementerian Keuangan) yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% sampai dengan 5,8%, inflasi 2% sampai dengan 4%. Nilai tukar rupiah diasumsikan Rp13.900 sampai dengan Rp15.000 per satu dolar AS. Sementara, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) jangka waktu 10 tahun 6,32% sampai dengan 7,27%.
Kurangi “Kebocoran” Anggaran
Lalu, berapa tarif yang akan dikenakan? Pertempuran ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kabarnya, jika jadi dinaikkan, angka negosiasinya pada angka 12%. Lebih tinggi dari 11%, dan lebih rendah dari 13% yang disimulasikan pemerintah dalam RAPBN tahun 2022 – yang dokumennya sudah beredar.
Alasan pada angka 12%, karena pemerintah menginginkan defisit pada kisaran 4,51%-4,85% terhadap PDB, atau sebesar Rp807 triliun-Rp881,3 triliun. Dengan menempuh defisit itu, pemerintah memperkirakan PDB tahun 2022 tumbuh di kisaran 5,2%-5,8%. Jadi, kenaikan PPN 12% yang diperkirakan diperjuangkan pemerintah ketika membahasnya di DPR.
Karena itu pula, perbaikan kualitas sistem pemajakan PPN dapat dilakukan melalui perluasan basis PPN dengan mengenakan PPN atas barang yang saat ini diberikan fasilitas. Atau, penerapan tarif PPN yang lebih tinggi untuk mengintegrasikan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ke dalam sistem PPN (lebih tinggi untuk barang mewah, lebih rendah untuk barang atau jasa tertentu).
Tarif PPN berdasarkan UU No. 42/2009 adalah (1) tarif PPN sebesar 10%, (2) tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud dan tidak berwujud, serta ekspor jasa kena pajak, (3) tarif PPN dapat berubah dari paling rendah 5% sampai dengan paling tinggi 15%.
Menurut catatan Infobank Institute, penerimaan pajak terus turun sejak tahun 2018, dari 12,9% menjadi 2,2% di tahun 2019. Ambles karena pandemi COVID-19. Penerimaan dalam negeri terkontraksi 17,1%, dan diperkirakan tahun 2021 naik lagi pada kisaran 10%-11%. Tidak mudah berburu pajak di luar “kebun binatang”. Wajib pajak yang bayar pajak ya itu-itu saja.
Nah, menurunnya penerimaan pajak itu pun berakibat pada tax ratio yang terus menurun. Tidak perlu ditutupi. Tax ratio turun sejak 2014, dari 10,9% menjadi 8,3% di akhir tahun 2020. Bukan semata-mata karena pandemi COVID-19. Sebelumnya juga turun. Tahun 2018 sebesar 10,2%, lalu menjadi 9,8% di tahun 2019. Ada pandemi atau tidak ada pandemi, tax ratio memang turun, dan makin merosot ketika pandemi datang.
Inti dari semua itu, yang jelas penerimaan turun, belanja naik. Akibat pandemi COVID-19, APBN pun sudah tampak bekerja keras. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) memakan biaya yang tak kecil, Rp579,78 triliun (2020), dan tahun 2021 dialokasikan Rp688,33 triliun. Hasilnya memang belum mampu mendorong ekonomi tumbuh positif, tapi jika tidak ada program itu bisa jadi ekonomi akan merosot lebih tajam.
Tanda-tanda perbaikan ekonomi mulai tampak, terutama di triwulan kedua tahun ini. Jadi, pilihannya sekarang tentu tidak menaikkan dan memperluas tarif PPN. Tarif PPN biarkan saja pada angka 10%, dan defisit dibiarkan tetap melebar. Pilihan yang bijak bagi pemerintah Jokowi ialah membiarkan defisit pada kisaran 5%-6%.
Bisa jadi membiarkan defisit pada angka 5-6% adalah langkah yang tepat, karena terlihat dana stimulus ekonomi yang bekerja keras dari pelebaran defisit itu sendiri. Tapi memang tax ratio yang terus turun ini yang jadi sumber masalah utama. Jika pilihan defisit 5-6% tentu juga perlu diperhatikan dampaknya terhadap moneter.
Diperkirakan untuk tahun ini sepanjang BI sebagai standby buyer dan di pasar primer tidaklah menjadi masalah. Asal, BI jangan direct diminta disuruh beli. Namun lebih baik jika fiskal mandiri dengan mekanisme pasar. Misalnya, menerbitkan SBN di mana bunganya dibayar oleh APBN. Itulah pertimbangan penting untuk tetap bisa melebarkan defisit.
Catatan Infobank Institute, tahun lalu ada dua skema pembiayaan BI, satu,beli dipasar perdana dan standby buyer (SKB1- surat kesepakatan bersama. Dua, beli langsung (SKB2 – beli SBN untuk public goods Rp397 triliun) dan semua bunganya dikembalikan ke pemerintah. Dari burden sharing bunga yang dikembalikan Rp177 triliun.
Langkah berikutnya adalah mengurangi kebocoran dana PEN, terutama mengenai data penerima bansos. Juga, perlu kualitas belanja yang baik. Misalnya, apakah pembangunan Ibukota Negara (IKN) masih perlu atau tidak, bisa jadi jika untuk menggenjot pertumbuhan untuk sementara biaya IKN dapat dialihkan. Inilah kita perlu Bappenas yang lebih matang dalam perencanaan. Intinya kurangi kebocoran dan efektifitas belanja. Dengan demikian defisit bisa tetap pada angka 5-6%.
Tidaklah sulit bagi pemerintah sekarang, yang mayoritas didukung partai-partai. Sangat mudah bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Pilihannya hanya dua: menaikkan tarif PPN dengan defisit lebih rendah, atau membiarkan tarif PPN pada tarif seperti biasa (10%), dan sembako, sekolah yang diributkan tidak diusulkan kena PPN. Kedua pilihan kebijakan terkait dengan PPN dan defisit itu mudah dilakukan oleh pemerintah Jokowi.
Sekarang bukan zaman “kumpeni” – ketika kurang duit untuk pembangunan – jalan pintas paling mudah menaikkan tarif pajak. “Hilal” atau tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai kelihatan. Pak Jokowi, lebih baik biarkan defisit yang melebar itu (5-6%) untuk pemulihan ekonomi ketimbang menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%. Bahkan, ada skenario kenaikan PPN sampai 15% agar defisit menjadi 3,1%. Jika pilihan kanaikan PPN ini diambil tentu tidaklah bijak.
Seperti disebut tadi, langkahnya sangat mudah. Tinggal panggil ketua-ketua partai. Ubah undang-undang No. 2 Tahun 2020 yang mengatur defisit 3%, dan membiarkan defisit menjadi 5%-6%. Biarkan ekonomi bergerak dulu dengan stimulus yang katanya sedang bekerja keras saat ini. Jujur saja, ketika rencana kenaikan tarif PPN ini sudah bocor ke publik, maka DPR akan lebih sulit menyetujui kenaikan tarif PPN ini. Diperkirakan DPR akan “kikuk” membahas rencana kenaikan tarif PPN ini.
Pak Jokowi, jangan naikkan PPN, pilih lebarkan defisit APBN saja! Itu langkah lebih baik, dan tidak sulit dilakukan. Terlebih tidak bikin gaduh di tengah fokus menangani Pandemi COVID-19. (*)