Opsi Konversi Utang jadi Saham Muncul di Restrukturisasi Duniatex

Opsi Konversi Utang jadi Saham Muncul di Restrukturisasi Duniatex

Jakarta – Kasus Duniatex Group menyedot banyak perhatian, khususnya industri keuangan. Tak sedikit yang menganggap kasus ini akan berdampak sangat besar ke industri perbankan.

Namun nampaknya, dampak tersebut masih bisa diminimalisir, karena perseroan kabarnya tengah mengkaji berbagai opsi restrukturisasi utang senilai total US$1,51 miliar, termasuk pelunasan dengan menukarkan saham perseroan.

Saat ini, enam anak usaha Duniatex meraih perlindungan sementara (provisional relief) terhadap potensi pailit dari Pengadilan Niaga New York Selatan, Amerika Serikat.

Direktur AJ Capital Advisory Fransiscus Alip mengatakan, selaku konsultan yang ditunjuk sebagai penasihat keuangan Duniatex Group, pihaknya yang diwakili Geoffrey Simms bersama sejumlah penasihat restrukturisasi telah meminta proteksi ini melalui pengajuan Chapter 15 of US Bankcruptcy Law.

Penasihat restrukturisasi yang dimaksud adalah Aji Wijaya & Co, Gibson Dunn & Crutcher LPP, serta BlackOak LCC. Sedangkan enam entitas Duniatex Group yang mendapatkan perlindungan adalah PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), Delta Dunia Sandang Textile (DMST), PT Delta Setia Sandang Asli Tekstil (DSSAT), serta Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai (Damaitex).

“Kami mengajukan permohonan Chapter 15 secara voluntary, kemudian ada sidang pertama pada 11 Oktober 2019, dan Duniatex Group menerima provisional relief,” kata Alip di Jakarta, Minggu, 13 Oktober 2019.

Alip menegaskan, Chapter 15 bertujuan untuk mencegah agar para kreditur di Indonesia tak mengajukan perkara kepailitan, selama Duniatex Group menjalani perkara Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang (PKPU) yang saat ini berlangsung di Pengadilan Niaga Semarang.

Saat ini, pihaknya membuka berbagai masukan dari para kreditur terkait skema restrukturisasi. Nantinya, hal ini akan menjadi pertimbangan Duniatex Group dalam menyusun proposal restrukturisasi. Berbagai opsi pun dibuka, mulai dari perpanjangan tenor utang hingga konversi saham.

“Kalau konversi saham, Duniatex harus memikirkan bagaimana mereka melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham, yang nantinya saham tersebut akan menjadi milik kreditur,” kata Alip.

Sampai saat ini, lanjut dia, belum ada kepastian restrukturisasi lantaran pihaknya masih menerima berbagai masukan kreditur. Untuk sampai pada kesepakatan restrukturisasi, pihaknya memperkirakan bisa memakan waktu hingga lima bulan.

Alip juga belum bisa menargetkan kapan proses PKPU di Pengadilan Niaga Semarang selesai. Sebab, PKPU yang diajukan oleh PT Shine Golden Bridge terhadap Duniatex baru saja dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 30 September 2019. Dia menegaskan, pengajuan Chapter 15 di New York menjadi sangat penting lantaran Duniatex Group juga memiliki kreditur dari luar negeri, termasuk para pemegang obligasi global senilai US$ 300 juta yang diterbitkan DMDT.

Bahkan, seiring pengajuan Chapter 15 kepada Pengadilan Niaga New York, Duniatex Group turut mengajukan Chapter 15 kepada Pengadilan Niaga Singapura lantaran terdapat utang yang disepakati di bawah hukum Singapura.

Pengajuan dokumen dilakukan pada 9 Oktober 2019 dan sidang pertama dijadwalkan pada 24 Oktober 2019.

Sementara itu, sidang kedua di Pengadilan Niaga New York Selatan dijadwalkan pada akhir November. Inti dari pengajuan Chapter 15, kata Alip, sebenarnya memastikan proses PKPU yang berjalan di Indonesia ini adil bagi seluruh kreditur.

Sebagai informasi, dari dokumen Chapter 15 disebutkan, Duniatex Group memiliki total utang hingga US$ 1,51 miliar per Agustus 2019. Rinciannya, utang US$ 948,3 juta berasal dari kreditur asal Indonesia, sisanya US$ 562,3 juta berasal dari kreditur asing. Nilai pinjaman tersebut tercatat diberikan oleh 48 bank, yang sebanyak 22 di antaranya memberikan pinjaman kepada lebih dari satu entitas Duniatex.

Sementara itu, dalam laporan Debtwire, para kreditur dalam negeri Duniatex Group antara lain, Indonesia Eximbank, Nobu Bank, Rabobank, Panin Syariah, BRI Syariah, BPD Jawa Tengah, Bank Mandiri, Bank Mualamat, BNI Syariah, dan BPD Banten.

Alip menegaskan, dari sisi cash flow, Duniatex Group masih bisa bertahan untuk menjalankan operasional. Hingga saat ini, perseroan juga menjamin tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut seorang mantan bankir senior yang tidak mau disebut namanya, pelajaran dari kredit Duniatex Grup, pihak OJK harus dapat mengawasi secara terintegrasi, pengawasan bank tidak lagi satu bank saja, tapi grup.

“Jangan sampai satu grup bank seperti bank syariah dan konvensional sama sama kena, contohnya BRI dan BRI Syariah. Juga, BNI dan BNI Syariah dan Bank Mandiri dan Bank Mandiri Syariah. Harusnya, kalau ada pengawasan terintegrasi bisa dicegah lebih awal.” katanya. (*)

Related Posts

News Update

Top News