oleh Dr. Serian Wijatno, SE., MM., MH
JAKARTA sebagai ibu kota negara saat ini terus mengalami perkembangan. Jumlah penduduk yang terus meningkat belum diimbangi dengan lahan yang kian sempit dan perencanaan kota yang memadai. Oleh karena itu diperlukan inovasi terhadap jawaban atas masalah tersebut di atas. Salah satu solusi yang populer muncul saat itu adalah reklamasi pantai Jakarta atau dikenal juga dengan Giant Sea Wall. Sesungguhnya proyek tanggul raksasa ini sudah digagas pada jaman mantan Gubernur Fauzi Bowo sejak bulan Desember 2010, dengan panjang 32 kilometer dari Tangerang hingga Tanjung Priok. Dari sudut perencanaan pun, proyek tersebut diprediksi menelan biaya Rp600 triliun dan akan rampung pada tahun 2030 mendatang.
Maka sesungguhnya, dapat kita simak bahwa proyek yang kini digaungkan oleh bapak Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini sesungguhnya merupakan rangkaian dari proses yang telah disahkan oleh pemerintah, di antaranya Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur; Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta, dan yang terbaru yaitu Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum tersebut telah disosialisasikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI Jakarta) dalam berbagai acara.
Jakarta sejatinya membutuhkan reklamasi karena berbagai alasan mendesak seperti banjir akibat air pasang dan kondisi tanah yang semakin menurun. Hasil penelitian tahun 2015 dari bapak Firdaus Ali selaku peneliti di Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Indonesia menjelaskan bahwa permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan 17 cm sampai dengan 26 cm setiap tahunnya dan pada tahun 2025 sebanyak 20,5% wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan laut. Menghadapi dampak ini, maka diperlukan tanggul raksasa dan perluasan ke wilayah pantai untuk mencegah dampak penurunan tanah tersebut. Disinilah kita mengharapkan kiprahPemprov DKI Jakarta untuk menjalankan misi menyelamatkan Jakarta.
Tindakan bapak Gubernur dengan memberikan ijin pelaksanaan reklamasi kepada perusahaan pengembang, selayaknya dipandang sebagai sebuah terobosan. Kerja sama business to business yang diterapkan selama ini dalam bentuk perjanjian pemenuhan kewajiban merupakan standar business as usual, dimana perusahaan membangun fasilitas agar mendapatkan izin konstruksi dari Pemprov DKI Jakarta. Hasilnya pun dapat dilihat dari pembangunan gedung pemerintah, fasilitas jalan, sekolah, hingga trotoar dan lain-lain yang dinikmati oleh masyarakat. Maka disini penulis menyodorkan realita bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak memiliki anggaran yang cukup untuk proyek multiyear, sehingga perlu menggandeng pihak swasta sebagai rekan. Tanpa itu, maka sulit bagi roda pemerintahan untuk dapat berjalan sebagaimana mestinya
Polemik hukum yang selama ini berlangsung mengenai reklamasi di Pantai Utara Jakarta selayaknya kita kembalikan pada azas hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sebagaimana didalilkan oleh Radbruch, bahwa ketiga elemen tersebut perlu diseimbangkan. Subjek hukum, baik individu maupun publik akan bingung dan resah jika permintaannya kepada negara tidak dilandasi oleh kepastian hukum. Tetapi pandangan sempit terhadap kepastian hukum juga akan memberikan kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil, paranoia terhadap pencari keadilan serupa yang berkaca dari pendahulu mereka. Infrastruktur hukum merupakan instrumen penting untuk pelaku usaha yang ingin menamkan modal di negara berkembang seperti Indonesia ini. Kepastian hukum untuk mereka memberikan kemanan atas investasinya, dan perlu disadari bahwa negara kita masih membutuhkan investor yang berdampak kepentingan masyarakat banyak. Maka kita perlu melihat kasus ini lebih luas lagi sebagaimana digaungkan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Beliau secara tepat berpendapat bahwa hukum timbul manusia, maka pelaksanaan atau penegakkannya jangan sampai justru menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.Penerimaan informasi publik selama ini lebih banyak mendapatkan informasi negatif dari pada positifnya tentang reklamasi. Bagaimanapun juga reklamasi merupakan keputusan pemerintah dan sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjelaskan dan meyakinkan masyarakat bahwa reklamasi juga memiliki dampak positif untuk perekonomian nasional.
Perekonomian Indonesia saat ini maju dan perkembangannya didukung oleh kalangan pengusaha yang mengharapkan kepastian hukum sambil memberikan manfaat bagi masyarakat luas baik dari peluang ekonomi, sosial maupun budaya melalui proyek mereka. Penulis melihat hal ini sebagai tantangan bagi pemerintahan bapak Jokowi untuk mengutamakan kepentingan nasional diatas golongan individu dan menyikapi persoalan tersebut secara bijak. Demikian pun Para menterisebagai pembantu presiden harus bekerja mendukung dan sesuai dengan keputusan Presiden. (*)
Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum dan Praktisi Pendidikan Tinggi