Omon-Omon Kredit Dua Digit dan Bahaya Utang Negara

Omon-Omon Kredit Dua Digit dan Bahaya Utang Negara

Oleh Karnoto Mohamad

Jakarta – Joko Widodo (Jokowi) akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden tahun ini. Rakyat masih menunggu pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) siapa yang akan menjadi penggantinya. Sementara, pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sudah mengklaim kemenangannya berdasarkan hasil quick count.

Kemenangan Prabowo-Gibran tak lepas dari cawe-cawe Presiden Jokowi, selain berkat “rayuan” makan siang gratis dari Prabowo. Sementara, sejumlah elemen bangsa termasuk pihak paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menilai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 penuh dengan kecurangan, dimulai dari otak-atik konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan Gibran yang baru berusia 36 tahun.

Dalam dunia ekonomi dan politik tidak ada makan siang gratis. No free for lunch, kata Milton Friedman, peraih nobel ekonomi tahun 1976. Ada biaya atau kompensasi dari apa yang dinikmati. Biaya politik makan siang dan susu gratis pastinya dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang notabene dibiayai oleh pajak rakyat.

Defisit APBN yang pada 2024 dipatok 2,29% atau Rp522,8 triliun akan membengkak menjadi Rp922,8 triliun kalau ditambah anggaran makan siang dan susu gratis yang hampir Rp400 triliun.

Baca juga: Tantangan Perbankan 2024 Kian Tajam

Untuk mencegah defisit maksimal 3%, muncul wacana memangkas belanja rutin, seperti subsidi yang pada 2024 dipatok Rp286 triliun dan Rp189,1 triliun di antaranya subsidi energi. Jika subsidi energi seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan gas diambil, maka masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam untuk kebutuhan sehari-hari. Inflasi bisa merangkak. Sementara, sejak awal tahun harga beras sudah melambung akibat kelangkaan yang salah satu penyebabnya adalah masifnya belanja bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah untuk kepentingan politik menjelang pilpres.

Berbeda dengan pemberian subsidi, seperti bunga, energi, dan pupuk yang mendorong para petani untuk menghasilkan bahan pangan. Program makan siang dan susu gratis malah bisa meningkatkan impor pangan. Padahal, enam dari sembilan barang kebutuhan pokok (sembako) masih harus dicukupi dari negara lain, seperti tepung, kedelai, buah dan sayuran, garam, bahkan beras.

Menurut data Kementerian Perdagangan, sepanjang 2023, Indonesia mengimpor sejumlah bahan pangan, seperti gandum senilai US$5,95 miliar, susu telur mentega senilai US$1,47 miliar, buah-buahan US$1,44 miliar, sayuran US$1,01 miliar, daging hewan US$1,02 miliar, dan garam US$1,33 miliar.

Impor beras pun terus berlanjut, dari 444 ribu ton pada 2019, lalu 356 ribu ton pada 2020, 407,7 ribu ton pada 2021, 429 ribu ton pada 2022, dan 3,06 juta ton pada 2023. Pemerintah telah mengumumkan impor beras kembali dengan kuota 3 juta ton pada 2024, di mana 2 juta ton di antaranya ditargetkan datang pada Januari hingga Maret.

Padahal, pada 2014 Jokowi berjanji Indonesia akan swasembada pangan mulai 2017 dan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 7%. Sepanjang pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi dari 2014 hingga 2023 rata-rata hanya 4,11% per tahun. Upaya peningkatan daya saing dan program hilirisasi pun tak mampu mengembalikan kekuatan industri manufaktur. Deindustrialisasi juga berlanjut.

Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus menyusut, dari 22,04% pada 2010, lalu 21,08% pada 2014, 20,99% pada 2015, 20,52% pada 2016, 20,16% pada 2017, 19,86% pada 2018, 19,70% pada 2019, 19,87% pada 2020, 19,24% pada 2021, 18,34% pada 2022, dan 18,67% pada 2023.

Di tengah keterbatasan fiskal, pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur melalui utang, baik langsung maupun lewat badan usaha milik negara (BUMN).

Utang sektor publik terus membengkak, termasuk BUMN karya yang kedodoran karena mengerjakan proyek penugasan pemerintah dengan mencari pinjaman di pasar.

Menurut data Biro Riset Infobank (birI), perkembangan utang sektor publik yang pada 2013 sebesar Rp3.431 triliun atau 35,95% dari PDB melonjak menjadi 54,68% pada 2014 dan terus meningkat setiap tahunnya hingga Rp14.444,46 triliun atau 73,73% dari PDB 2022, dan diperkirakan mencapai Rp15.500 triliun atau 74,19% dari PDB 2023. Khusus utang pemerintah selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi naik dari Rp2.608 triliun menjadi Rp4.514 triliun pada 2019, dan menjadi Rp8.041,01 triliun pada 2023.

Utang yang membesar itu untuk biaya pembangunan infrastruktur jalan tol, bendungan, beli alutsista, hingga bagi-bagi bansos. Sungguh mengerikan sekali, jika bunga utang jauh lebih besar daripada biaya kesehatan. Tahun 2023 biaya kesehatan senilai Rp172,5 triliun. Lebih kecil dibandingkan dengan biaya pembayaran bunga utang yang sebesar Rp437,4 triliun. Tahun 2024 ini biaya kesehatan direncanakan Rp187,5 triliun, sementara biaya bunga utang tahun 2024 sebesar Rp437,4 triliun.

Artinya, pertumbuhan ekonomi sepanjang masa pemerintahan Jokowi banyak dibiayai dengan utang, yang masif dilakukan sejak 2015. Sedangkan, sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor tergantung cuaca komoditas tidak berkelanjutan, dan investasi yang diharapkan lebih besar tidak terjadi karena “plin-plan” kebijakan dan banyak “hantu” biaya tinggi di lapangan.

Sementara, bicara atau “omon-omon” kredit perbankan yang sering didorong-dorong oleh Jokowi untuk mengucur lebih besar pun hanya mencatat pertumbuhan rata-rata 8,11% per tahun selama 2014 hingga 2023. Sebelum 2015, kredit perbankan masih mendorong perekonomian. Pertumbuhan kredit mulai melambat sejak 2015 dan perannya digantikan oleh APBN. Pertumbuhan kredit 2014 masih sebesar 11,65%, dan 2015 kredit merosot menjadi 10,40%.

Sementara, pada 2017 kredit tumbuh 8,35% dan 12,05% di 2018, lalu melambat menjadi 6,08% pada 2019. Selama COVID-19 kredit landai, bahkan 2020 kredit terkontraksi minus 2,4% dan 2021 kredit tumbuh 4,92%. Akhir 2022 kredit tumbuh 11,63%. Pertumbuhan kredit 2023 sebesar 10,61%.

Di tengah keterbatasan anggaran negara, Jokowi sering menyampaikan kepada para bankir untuk giat meningkatkan penyaluran kreditnya untuk mendorong perekonomian.

“Saya ajak perbankan. Memang harus prudent, hati-hati. Tapi, tolong lebih didorong lagi kreditnya, terutama bagi UMKM. Jangan semuanya ramai-ramai membeli ke BI atau SBN,” ujarnya dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2023, pada akhir tahun lalu.

Namun, para bankir bekerja sesuai dengan mekanisme bisnis. Mereka tidak perlu disuruh-suruh mengucurkan kredit, karena hidup matinya bank dari kredit. Kalau bank tidak bernafsu mengucurkan kredit berarti kondisi ekonomi tidak mendukung. Bank memiliki strategi yang disesuaikan dengan risk appetite dan rencana bisnisnya masing-masing, termasuk dalam penempatan portofolio atau asset liquidity management.

Sebagian besar aset produktif perbankan masih berupa kredit. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 2023, jumlah kredit bank umum yang mencapai Rp7.186,93 triliun itu rasionya sebesar 61,08% dari total aset yang mencapai Rp11.765,84 triliun. Meningkat dari posisi 2022 yang 58,72% dari total aset. Sedangkan, porsi surat berharga hanya senilai 16,89% dari total aset atau hampir tidak berubah dari rasio pada 2022 yang sebesar 16,84% dari aset bank yang mencapai Rp11.065,74 triliun.

Yang menjadi isu justru ketimpangan keuangan yang terindikasi dari struktur dana pihak ketiga (DPK) yang timpang. Jumlah simpanan di perbankan didominasi duit-duit orang superkaya. Lihat saja data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Oktober 2023. Dari DPK perbankan sebesar Rp8.269 triliun, 61% dimiliki oleh 348.536 pemilik rekening atau 0,064% dari jumlah rekening yang mencapai 546.991.010 rekening. Itu adalah rekening simpanan senilai Rp2 miliar ke atas, yang mencapai Rp5.065 triliun atau 61%.

Rata-rata mereka memiliki simpanan Rp14.532.214.749,69 per orang. Sementara, ada 540.347.322 rekening dengan nilai simpanan di bawah Rp100 juta dengan jumlah nilai simpanannya Rp1.007 triliun, sehingga rata-rata simpanannya Rp1,86 juta. Kelompok ini berlapis-lapis dan ratusan juta orang yang saldo simpanannya di bawah Rp1 juta. Namun, yang lebih menderita lagi adalah 90 juta orang yang tidak punya rekening bank dan tidak punya masa depan finansial.

Struktur DPK perbankan tersebut segaris dengan apa yang disampaikan Garibaldi Thohir, salah seorang crazy rich Indonesia, yang mengklaim bahwa sepertiga ekonomi Indonesia disumbang oleh jumlah orang yang sedikit seperti dirinya.

Sebelumnya, Global Wealth Report dari Credit Suisse 2022 juga melaporkan bahwa 1% orang terkaya menguasai hampir 37,6% dari total kekayaan di Indonesia. Sepuluh tahun lalu, Bank Dunia (World Bank) bahkan menyebutkan 10% orang terkaya Indonesia menguasai 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini, dan 1% di antaranya menguasai separuh kekayaan yang ada.

Baca juga: Bos LPS Titip Pesan Penting Ini ke Perbankan

Hampir genap 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi tak sesuai yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye tahun 2014 lalu. Janji tinggal janji. Tapi, itulah yang namanya kampanye. Yang penting masyarakat merasa senang. Pertumbuhan ekonomi 7% tak terealisasi. Boleh jadi, bahkan mungkin oleh presiden berikutnya jika penyakit-penyakit ekonomi tidak diatasi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyuburkan rente ekonomi.

Masalahnya, jika presiden terpilih menetapkan dirinya sebagai suksesor keberlanjutan yang akan terus “haus” utang untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Dalam laporan International Debt 2023, Bank Dunia memperingatkan negara-negara berkembang yang tengah dibebani utang di tengah ekonomi global yang tidak stabil.

Bank Dunia mengungkapkan, selama dekade terakhir, pembayaran bunga oleh negara-negara ini meningkat empat kali lipat. Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah mengeluarkan dana hingga US$443,5 miliar untuk membayar utang dan harus memangkas anggaran lain dari sektor kesehatan, pendidikan, hingga kebutuhan penting lainnya.

Bunga utang sebesar Rp437,4 triliun yang harus dibayar pemerintah Indonesia pada 2024, atau lebih besar daripada biaya kesehatan yang hanya Rp187,5 triliun, juga harus dicermati. Dan, ketika utang pemerintah Indonesia terus menggunung sementara ruang fiskal makin sempit karena belanja-belanja yang populis seperti program makan siang gratis, jangan sampai presiden mendatang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengajak para bankir menggenjot kredit sembarangan. Uang yang ada di brankas perbankan adalah uang masyarakat. Bukan uang “nenek moyang” atau warisan Nabi Sulaiman yang superkaya di zaman dulu. (*)

Related Posts

News Update

Top News