Jakarta – Berkembangnya digitalisasi pada sektor keuangan bagaikan pedang bermata dua. Selain mempermudah transaksi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa digitalisasi juga meningkatkan probabilitas serangan siber hingga 86,70%. Angka ini menjadi yang tertinggi diantara sektor lainnya.
Deputi Direktur Basel & Perbankan Internasional, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Tony menjabarkan, serangan siber yang terjadi pada top 10 industri di 2021, 22,4% nya terjadi di sektor keuangan. Jika dirinci, ada 70% serangan yang ditujukan kepada bank, 16% perusahaan asuransi, 14% sektor keuangan lainnya.
“Probabilitas serangan siber di sektor keuangan ke depan diprediksi bisa mencapai 86,7% dan memang diprediksi akan successful apabila bank-bank tidak siap untuk melakukan mitigasi kepada keamanan siber,” jelas Tony dalam seminar Infobank bertema ‘Mengukur Percepatan Transformasi Digital Perbankan: Bagaimana Strategi Mitigasi dan Kesiapan Bank Menghadapi Cybercrime?’ Selasa, 17 Mei 2022.
Dalam penguatan regulasi digitalisasi perbankan, OJK menyadari bahwa terdapat disparitas atau perbedaan dalam ekosistem sektor keuangan Indonesia yang beragam. Untuk itu, regulator saat ini lebih menerapkan kebijakan-kebijakan prinsip atau principle based dibandingkan dengan mengatur teknis operasional sektor keuangan.
Dengan begitu, lanjut Tony, industri keuangan bisa lebih bebas dalam melakukan inovasi selama mematuhi prinsip dasar yang berlaku.
Regulasi principle based tersebut, tambah Tony, salah satunya tertuang dalam Blueprint Transformasi Digital Perbankan yang diterbitkan oleh OJK sebagai arah dan acuan dalam upaya mempercepat transformasi digital pada industri perbankan nasional agar lebih memiliki daya tahan (resilience), berdaya saing, dan kontributif.
Cetak Biru ini merupakan gambaran yang lebih konkret atas berbagai inisiatif dan komitmen OJK dalam mendorong akselerasi transformasi digital pada perbankan. Aturan ini mencakup lima pilar utama dalam digitalisasi, yaitu data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan tatanan institusi.
“Aturan ini pada akhirnya akan kembali ke customer. Bagaimana bank bisa menjaga keyakinan masyarakat terhadap sistem keuangan nasional,” ucap Tony. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra