OJK: Pengawasan Terintegrasi Jaga Risiko Stabilitas Sistem Keuangan

OJK: Pengawasan Terintegrasi Jaga Risiko Stabilitas Sistem Keuangan

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi antara sektor perbankan, industri keuangan non bank (IKNB) dan pasar modal sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.

Ketua Dewan Komisioner Wimboh Santoso mengatakan, berkembangnya produk dan layanan transaksi keuangan yang semakin tak terbatas serta memiliki keterkaitan yang tinggi antarsektoral produk perbankan, pasar modal, dan IKNB, menekankan bahwa semakin dibutuhkannya pengawasan terintegrasi.

“Ini dalam rangka menjaga stabilitas keuangan serta melindungi konsumen keuangan terutama di masa pandemi ini,” ujar Wimboh dalam jumpa pers virtual di Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2020.

Menurutnya, dalam melakukan pengawasan terintegrasi, OJK memiliki Komite Pengawas Terintegrasi yang beranggotakan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Kepala Eksekutif PM dan Kepala Eksekutif IKNB termasuk Deputi Komisioner dari masing-masing kompartemen untuk berbagai kebijakan strategis konglomerasi keuangan terutama yang bersifat lintas sektor jasa keuangan.

Selain itu, OJK juga memiliki unit Perizinan dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi yang bertugas untuk memproses perizinan lintas sektoral dan memformulasikan kebijakan yang bersifat lintas sektoral.

“Dengan adanya pengawasan terintegrasi, OJK dapat melakukan pengawasan lebih efektif terhadap transaksi dan produk keuangan yang melibatkan intragroup dan lintas sectoral untuk mengidentifikasi lebih dini risiko terhadap stabilitas sektor jasa keuangan. Sehingga pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional dapat dilakukan lebih terintegrasi,” katanya.

Sejak tahun 2014, OJK telah menerbitkan serangkaian pengaturan pengawasan terintegrasi mencakup Manajemen Risiko, Tata Kelola dan Permodalan Terintegrasi dan proses pengawasan terintegrasi.

Sementara itu, untuk memitigasi dampak lebih lanjut pandemi Covid-19 terhadap perekonomian serta mendorong pemulihan ekonomi, OJK telah mengerahkan semua kebijakan dan instrumen untuk meringankan beban masyarakat, sektor informal, UMKM dan pelaku usaha. Kebijakan yang diterbitkan sifatnya pre-emptive untuk mencegah terjadinya pemburukan yang lebih dalam maupun berupa insentif atau relaksasi.

Ia menjelaskan, di masa pandemi ini, sudah 11 POJK di sektor perbankan, IKNB dan Pasar Modal yang diterbitkan untuk memitigasi dampak Covid-19 dan meredam volatilitas pasar keuangan serta menjaga stabilitas sektor jasa keuangan.

Sejak diluncurkan 16 Maret 2020, program restrukturisasi kredit perbankan hingga 10 Agustus telah mencapai nilai Rp837,64 triliun dari 7,18 juta debitur. Jumlah tersebut berasal dari restrukturisasi kredit untuk sektor UMKM yang mencapai Rp353,17 triliun berasal dari 5,73 juta debitur. Sedangkan untuk non UMKM, realisasi restrukturisasi kredit mencapai Rp484,47 triliun dengan jumlah debitur 1,44 juta.

Untuk perusahaan pembiayaan, per 19 Agustus 2020, OJK mencatat sebanyak 182 perusahaan pembiayaan sudah menjalankan restrukturisasi pinjaman tersebut. Realisasinya sudah disetujui sebanyak 4,34 juta debitur dengan total nilai mencapai Rp162,34 triliun.

OJK juga mengeluarkan kebijakan untuk restrukturisasi pinjaman usaha mikro yang terhimpun di Lembaga Keuangan Mikro dengan nilai realisasi Rp20,79 miliar dari 32 LKM. Selain itu, restrukturisasi juga diberikan untuk pinjaman di Bank Wakaf Mikro (BWM) dengan nilai Rp1,73 miliar untuk 13 BWM.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto pun mengatakan, pengawasan yang terintegrasi masih sangat diperlukan bagi pelaku sektor keuangan. “Penguatan efektivitas pengawasan terintegrasi di antara entitas pelaku sektor keuangan itu masih perlu, karena antar entitas (bank, IKNB, pasar modal) makin mengait satu sama lain. Tujuannya untuk meminimalisir risiko dampak sistemik,” jelasnya.

Meski demikian, kata dia, masing-masing sektor tersebut perlu adanya standar minimal berazaskan kehati-hatian yang setara. Menurut Eko, dari sisi bank selama ini ada standar internasional berupa BASEL, sementara industri IKNB dinilai masih perlu banyak pembenahan. (*) Bagus Kasanjanu

Related Posts

News Update

Top News