Jakarta – Dalam Draft Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU-JPSK) disebutkan mengenai mekanisme bail-in bagi bank gagal berdampak sistemik. OJK berharap, hal tersebut sejalan dengan struktur dan sistem hukum di Indonesia.
“Saya pikir ini (wacana penerapan konsep bail-in) bukan hanya di Indonesia, tetapi konsep bail-in ini konsep global. Jadi memang, perlu disesuaikan dengan struktur hukum di Indonesia,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad di Jakarta, Selasa, 8 Maret 2016.
Menurutnya, rencana penghilangan mekanisme bail-out dan menggantinya dengan bail-in untuk bank gagal berdampak sistemik, merupakan langkah solutif dalam penanganan krisis. Jika nantinya UU JPSK menetapkan penerapan konsep bail-in untuk bank gagal berdampak sistemik, maka langkah lanjutan yang akan ditempuh OJK sebagai regulator pengawas industri keuangan adalah menerbitkan Peraturan OJK terkait mekanisme bail-in tersebut.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini pembahasan RUU JPSK di DPR sudah memasuki tahap finalisasi yang menekankan pentingnya proses bail-in bagi bank gagal berdampak sistemik. Diharapkan penerapan konsep bail-in ini bisa menentukan arah stabilitas sistem keuangan.
“Bail-in ini adalah lawan dari bail-out. Jadi lebih banyak menekankan bagaiamana proses penyelsaian bank (gagal) dari dalam, bukan di-bailout dari orang luar,” tukasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah menyampaikan, bahwa mekanisme bail-in akan dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menyuntikan dana ke bank gagal tanpa menerima anggaran langsung dari APBN.
Dia menjelaskan, ketika LPS membutuhkan dana untuk merestrukturisasi bank gagal berdampak sistemik, maka LPS harus mengajukan pinjaman ke pemerintah, selanjutnya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang hasilnya diberikan ke LPS. Selain itu, LPS juga bisa meminjam dana ke Bank Indonesia yang pemerintah sebagai jaminannya.
Menurut Bambang, konsep bail-in ini mewajibkan bank untuk mengembalikan pinjamannya. (*) Apr