Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ketahanan industri perbankan nasional tetap terjaga di tengah penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan tekanan geopolitik global.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, berdasarkan hasil uji ketahanan (stress test) yang dilakukan pihaknya, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini relatif tidak signifikan berpengaruh langsung terhadap permodalan bank.
“Hal ini mengingat posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia yang masih jauh di bawah threshold dan secara umum dalam posisi PDN “long” (aset valas lebih besar dari kewajiban valas),” katanya, dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 April 2024.
Ia menyebut, bantalan permodalan perbankan yang cukup besar (CAR yang tinggi) diyakini mampu menyerap fluktuasi nilai tukar rupiah maupun suku bunga yang masih tertahan relatif tinggi.
Baca juga : OJK Cermati Dampak Konflik Timur Tengah bagi Sektor Jasa Keuangan
Adapun, porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk valuta asing saat ini sekitar 15 persen dari total DPK Perbankan. Sampai akhir Maret 2024, DPK valas masih tumbuh cukup baik secara tahunan (yoy) maupun dibandingkan dengan awal tahun 2024 (ytd).
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini juga dapat memberikan efek positif terhadap ekspor komoditas dan turunannya.
Diharapkannya, hal tersebut dapat mengimbangi penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri dalam proses produksinya.
Lebih lanjut, OJK juga melakukan uji ketahanan (stress test) secara rutin terhadap perbankan dengan menggunakan beberapa variabel skenario makroekonomi dan mempertimbangkan faktor risiko utama yaitu risiko kredit dan risiko pasar.
“OJK senantiasa melakukan pengawasan secara optimal untuk memastikan bahwa berbagai risiko akibat pelemahan nilai tukar maupun suku bunga yang relatif tinggi terhadap masing-masing bank termitigasi dengan baik,” jelasnya.
Tak lupa, OJK juga meminta bank untuk selalu melakukan pemantauan terkait potensi dampak transmisi dari perkembangan perekonomian global dan domestik terhadap kondisi bank dan melakukan langkah mitigasi yang diperlukan.
Koordinasi dengan Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga terus dilakukan disertai komitmen untuk terus mengeluarkan kebijakan yang dibutuhkan secara tepat guna dan tepat waktu.
Dian mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi dampak guncangan (shock) geopolitik global yang saat ini terjadi.
“Ketenangan dan rasionalitas dari masyarakat, serta koordinasi antar-otoritas terkait, merupakan faktor kunci dalam menghadapi dinamika perekonomian global yang saat ini terjadi,” terangnya.
Sejauh ini, kata dia, penguatan dolar AS terjadi terhadap seluruh mata uang secara global, tercermin dari Dollar Index yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024.
Beberapa faktor yang memengaruhi penguatan dolar AS antara lain adalah kebijakan suku bunga high for longer yang masih berlanjut di tengah kuatnya perekonomian AS, namun bersamaan dengan laju inflasi AS yang masih cukup jauh dari target 2 persen.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan The Fed yang menyatakan belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan terus melihat perkembangan data- data perekonomian ke depan.
Baca juga : Iran-Israel Memanas, BI Pastikan Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah
Sementara itu, tensi geopolitik yang meningkat di Timur Tengah setelah konflik langsung Iran dengan Israel menyebabkan kekhawatiran akan terjadinya perang yang makin meluas.
Kondisi ini dapat membebani perekonomian dunia terutama dari kenaikan harga komoditas energi dan mineral utama serta kenaikan biaya logistik seiring terganggunya jalur perdagangan utama akibat konflik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina.
“Peningkatan tensi geopolitik dan ketidakpastian global ini menyebabkan dolar AS yang merupakan salah satu safe haven asset terus diburu para pelaku pasar dan mendorong penguatannya lebih lanjut,” tambahnya.
Di sisi lain, perekonomian domestik juga terpengaruh oleh situasi geopolitik eksternal sebagaimana terlihat dari data inflasi Indonesia Maret 2024 yang tercatat sebesar 0,52 persen (mtm) atau 3,05 persen (yoy) atau meningkat dibandingkan 2,75 persen (yoy) pada Februari 2024, meskipun masih tetap dalam rentang target yang ditetapkan. (*)