Jakarta – Dewasa ini, masyarakat semakin dipermudah dengan hadirnya teknologi digital dalam bidang ekonomi. Sistem layanan keuangan misalnya, yang sebelumnya membutuhkan waktu lama dan proses panjang, sekarang sudah bisa ditempuh dalam proses yang singkat.
Efisiensi ini dapat dilihat pada jasa layanan financial technology (fintech) peer to peer lending yang semakin hari semakin dinikmati oleh masyarakat. Hingga kini, sudah ada 102 platform peer to peer lending berizin, dengan rincian 95 platform bersistem konvensional dan 7 platform bersistem syariah.
Serta akumulasi rekening borrower yang telah mencapai 86,37 juta dengan rekening aktif sebesar 16,22 juta, dan rekening lender yang mencapai 928,12 ribu dengan rekening aktif sebesar 142,79 ribu. Sementara akumulasi penyaluran pinjamannya ialah Rp416,86 triliun dengan nilai outstanding mencapai Rp45,73 triliun.
“Banyak orang mendapatkan manfaat dari peer to peer lending. Kehadiran industri ini jadi alternatif bagi orang yang ingin mencari pembiayaan. Kalau fintech kita kan bisa dapat biaya dalam waktu yang cepat misal saya butuh 10 juta sekarang, kalau fintech kan bisa. Kalau bank konvensional tidak bisa seperti itu kan,” ujar Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Munawar, pada sebuah webinar, Kamis, 1 September 2022.
“Dan OJK dorong pembiayaan peer to peer lending itu banyak pada usaha-usaha produktif. Menurut data kami, sasaran perusahaan ini adalah ibu-ibu di kampung. Jadi, pinjamannya itu 3 juta misalnya tanpa jaminan dan bunganya itu 11% sampai 12% per tahun. Jadi, nanti dikumpulkan beberapa orang lalu didanai,” tambahnya.
Namun demikian, ia tetap menghimbau masyarakat untuk cermat dalam memilih fintech peer to peer lending agar tidak terjebak ke dalam skema peer to peer lending bodong. Ia menyatakan, dari sekitar 100 peer to peer lending yang terdaftar dan legal, terdapat sekitar 4.000 peer to peer lending yang ilegal.
Di lain sisi, Chief Executive Officer (CEO) PT Bank Raya Indonesia, Kaspar Situmorang menuturkan bahwa fungsi digitalisasi pada layanan keuangan telah membawa banyak kemudahan bagi berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, seperti salah satunya kelompok pekerja informal.
“Pekerja informal ini kalau kita lihat secara statistik jumlahnya sangat besar di Indonesia. Ada 77,9 juta pekerja informal di Indonesia. Angka ini sama dengan 59,5% dari total populasi pekerja. Kita lihat mayoritas dari pekerja informal belum punya slip gaji, jadi para pekerja tanpa slip gaji ini sangat sulit masuk ke layanan lembaga keuangan karena mereka mau ada slip gaji. Lalu, para pekerja infornal ini juga tidak punya agunan, jadi ini tambah mempersulit mereka buat menerima pembiayaan dari perbankan konvensional,” jelas Kaspar.
Baca juga: Literasi dan Inklusi Keuangan Masih Rendah, Ini yang Dilakukan OJK
Melalui fitur-fitur digital yang dimiliki oleh lembaga-lembaga keuangan berbasis digital, maka problem-problem di atas dapat diselesaikan secara mudah dan efisien.
“Kami gunakan sebuah framework, kita coba bangun fitur-fitur yang sempurna dan solving problem utamanya. Sehingga, kita bisa menyalurkan Rp1,4 triliun dengan NPL yang hanya 0,05% hingga kini. Misalnya dari sisi fitur, bagaimana proses pembuatan itu sangat cepat, dan suku bunga yang kita sesuaikan dengan pendapatan masing-masing konsumen,” terangnya. (*) Steven Widjaja