Obituari: Kwik Kian Gie, “Bankir Kelontong” dan Burgernomic

Obituari: Kwik Kian Gie, “Bankir Kelontong” dan Burgernomic

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman InfoBank Media Group

“Kebenaran mungkin pahit, tetapi lebih pahit lagi hidup dalam kebohongan.” — Kwik Kian Gie

ITULAH kalimat yang pernah diungkapkan oleh Kwik Kian Gie kepada penulis ketika menanyakan tentang keterusterangan dalam memberi pendapat. Kwik Kian Gie, dicatat sebagai ekonom nasionalis, pejuang integritas, dan suara rakyat Indonesia berduka.

Dunia pemikiran ekonomi kehilangan salah satu tokohnya yang paling gigih dan konsisten. Wafatnya sang ekonom senior, di Senin, 28 Juli 2025 di usia 90 tahun ini, meninggalkan luka yang dalam, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi bangsa yang ia cintai dengan sepenuh hati. Kwik Kian Gie bukan sekadar ahli ekonomi; ia adalah pejuang yang tak kenal lelah melawan ketidakadilan, oligarki, dan hegemoni asing.

Penulis dan beberapa ekonom seperti Dradjat H. Wibowo, Dandosi Matram serta beberapa nama seperti (Alm) Ito Warsito pernah menjadi tim ahli Menteri Koordinator  Perekonomian RI. Waktu itu di zaman Megawati Soekarno Putri, Presiden RI, Kwik Kian Gie menjadi Menko Perekonomian RI. Tim ahli itu oleh kawan-kawan diberi nama “Tim Kelengkeng” – karena sajiannya buah kelengkeng,  hampir tiap hari ketika sedang diskusi dan menulis kajian selalu ada buah kelengkeng.

Tugasnya adalah kajian untuk mengembalikan obligasi rekapitalisasi yang berlebih, dan menjadi beban keuangan negara karena harus membayar bunga obligasi. Namun ide besar itu kandas, karena pemerintah lebih memilih menjual bank-bank rekap, meski masih banjir obligasi di bukunya. Padahal, idenya waktu itu, bank-bank yang kelebihan rekap dapat membeli bank-bank yang sudah direkapitalisasi, sehingga mengurangi beban bunga obligasi.

Lahir di Juwana, Jawa Tengah, pada 11 Desember 1935, Kwik Kian Gie menempuh pendidikan tinggi di Nederlands Economische Hogeschool (kini Erasmus Universiteit Rotterdam) sebelum melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Indonesia. Namun, gelar akademis bukanlah yang membuatnya besar—melainkan keberaniannya menyuarakan kebenaran, bahkan ketika harus berdiri sendirian.

Kwik Kian Gie dikenal dengan pemikiran yang membara, yaitu nasionalisme ekonomi & perlawanan terhadap neoliberalisme. Kwik dikenal sebagai ekonom nasionalis yang keras menentang neoliberalisme. Ia percaya bahwa ekonomi Indonesia harus dikelola untuk rakyat, bukan untuk segelintir konglomerat atau kepentingan asing.

Satu, kritik terhadap IMF, Bank Dunia, dan WTO: Kwik sering menyatakan bahwa lembaga-lembaga ini adalah alat negara maju untuk mengendalikan ekonomi negara berkembang.

“IMF bukanlah dewa penolong, melainkan bankir yang melindungi kepentingan negara-negara kaya,” tegasnya.

Dua, penolakan privatisasi BUMN strategis: Ia menentang penjualan aset negara kepada korporasi asing, yang ia anggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi modern. Tiga, pembelaan terhadap UMKM & Koperasi: Kwik percaya bahwa ekonomi kerakyatan—bukan trickle-down economics—adalah jalan menuju keadilan sosial. Artikel-artikelnya menggebrak dengan judul “Mimpi Menjadi Konglomerat” dengan sepak terjangnnya yang membahayakan tentang keadilann ekonomi.

Kritik pedasnya tentang sepak terjang Bankir Kelontong – yang menjadi cover Infobank pada edisi awal tahun 2000-an. Menurutnya bank-bank rusak akibat kebijakan Pakto-88 yang memperbolekan siapa saja punya bank, termasuk pedagang kelontong yang menggunakan uang bank untuk ekspansi bisnisnya tak terkendali, maka lahirlah krisis perbankan tahun 1998. Salah satu sebabnya adalah praktik buruk bankir kelontong ini.

Integritas Kwik Kian Gie tak tergoyahkan. Di tengah dunia politik yang sarat transaksi dan korupsi, Kwik Kian Gie adalah figur langka yang menolak bermain “proyek”. Saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian (1999–2000) dan Kepala Bappenas (2001–2004), ia kerap berselisih dengan koleganya sendiri karena menolak kebijakan yang ia nilai merugikan rakyat.

Tidak banyak yang mengetahui. Kwik Kian Gie juga sebagai pendidik yang baik. Kwik Kian Gie mampu dengan mudah menjelaskan tentang nilai tukar, mengapa suatu negara mata uangnya lebih tinggi, dan lebih rendah dari negara lain.

Waktu itu, kepada Infobank, Kwik Kian Gie menjelaskan tentang Burgernomics. Menurutnya, konsep ekonomi populer yang dikembangkan oleh majalah The Economist pada tahun 1986 sebagai cara yang sederhana dan menarik untuk membandingkan daya beli mata uang antarnegara menggunakan harga Big Mac dari McDonald’s sebagai acuan.

Apa itu Burgernomics? Burgernomics adalah istilah informal untuk “Big Mac Index”, sebuah alat yang mengukur paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) dengan membandingkan harga Big Mac di berbagai negara. Ide dasarnya: Jika teori PPP berlaku sempurna, harga Big Mac (produk yang sama di seluruh dunia) seharusnya setara setelah dikonversi ke satu mata uang (biasanya dolar AS).

Kwik Kian Gie menjelaskan, jika harga Big Mac di suatu negara lebih murah setelah dikonversi ke USD, mata uangnya dianggap terundervalue; jika lebih mahal, mata uangnya terovervalue. Misalnya, harga Big Mac di AS = USD5,50. Sementara harga Big Mac di Indonesia = Rp35.000. Taruh saja kurs USD/IDR resmi = Rp16.000. Lalu, konversi harga Big Mac Indonesia ke USD35.000 ÷ Rp16.000 = USD2,19.

Implikasinya, rupiah terlihat terundervalue karena harga Big Mac di Indonesia lebih murah dibandingkan AS. Demikian mudahnya Kwik Kian Gie menjelaskan tentang nilai tukar. Burgernomics (Indeks Big Mac) adalah alat yang kreatif dan mudah dipahami untuk menjelaskan konsep ekonomi paritas daya beli (PPP). Meskipun tidak sepenuhnya akurat, indeks ini tetap populer sebagai pengantar diskusi tentang nilai tukar dan daya beli global.

Kwik Kian Gie sudah mendahului. Warisan yang abadi — Kwik meninggalkan pemikiran yang tetap relevan, seperti ekonomi harus berdaulat , tidak tergantung pada utang dan investasi asing. Juga, Negara wajib melindungi rakyat kecil dari keserakahan oligarki. “Perselingkuhan” antara politik, konglomerat dan hukum akan mengakibatkan kesenjangan dan krisis sosial sebagai buah dari “perselingkuhan” itu

Paling penting, kata Kwik pada suatu kesempatan, integritas adalah harga mati dalam kebijakan publik. Meski beberapa pihak menganggap gagasannya “terlalu idealis”, sejarah membuktikan bahwa kritik-kritiknya sering kali benar—seperti bahaya liberalisasi perbankan dan dominasi asing di sektor strategis.

Selamat jalan, rest in peace, pejuang rakyat Kwik Kian Gie telah pergi, tetapi semangatnya, kejujurannya, dan perlawanannya terhadap ketidakadilan akan terus hidup. Semoga damai menyertai beliau, dan semoga generasi penerus melanjutkan perjuangannya untuk Indonesia yang lebih adil dan mandiri.

“Kebenaran mungkin pahit, tetapi lebih pahit lagi hidup dalam kebohongan.” — Kwik Kian Gie

Related Posts

News Update

Netizen +62