Jakarta–Perbankan nasional akan mengalami lonjakan rasio kredit bermasalah menjadi 7,67% dari 2,47% jika terjadi prakrisis.
Kenaikan NPL perbankan itu bisa terjadi berdasarkan skenario jika Amerika menaikkan suku bunga acuan, nilai tukar Rupiah merosot menjadi Rp16.000, suku bunga mencapai 12%, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4%.
“Jadi sebenarnya kalau hanya nilai tukar saja yang merosost maka angka NPL tak akan sebesar itu,” kata Eko B. Supriyanto, Direktur Biro Riset Infobank dalam “Infobank Outlook 2016” di Jakarta, Kamis, 29 Oktober 2015.
Kenaikan NPL tersebut umumnya dipicu oleh kelompok bank persero, meski hanya terdiri atas empat bank yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN), namun membukukan NPL terbesar yakni 8,32% atau senilai Rp124,06 triliun. Disusul bank swasta nasional dengan NPL sebesar 7,79% atau Rp231,59 triliun dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan NPL sebesar 7,50% atau Rp24,14 triliun. Sementara bank asing dan campuran NPL nya hanya 4,99% atau Rp25,31 triliun.
Dalam paparannya Biro Riset Infobank juga memproyeksikan pertumbuhan kredit di tahun 2016 masih tetap moderat berkisar antara 10%-15%. Pertumbuhan diperkirakan disumbang oleh sektor infrastruktur dan sektor konsumsi. Sektor konsumsi tetap akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan kredit mengingat konsumsi domestik yang tetap besar. Saat ini ada 142,5 juta atau 59,96% penduduk Indonesia berusia produktif. Mereka membutuhkan produk-produk konsumer dengan dukungan perbankan dan sektor keuangan lainnya. (*) Ria Martati