Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
MINGGU lalu, seorang kawan mengirim pesan lewat WhatsApp. Isinya, meminta infobank menulis, atau membuat webinar tentang kerentanan dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Surat Utang Negara (SBN). ”Kalau ada bank bankrut gimana, kok numpuk di SBN, harusnya di tempatkan di bank-bank yang sehat. Jadi, sewaktu-waktu bisa diambil untuk menalangi bank dalam penyehatan,” demikian pesan pertanyaannya.
Lalu, sehari berikutnya, ada video viral yang juga mempertanyakan kesiapan LPS kalau ada bank bankrut, “Mau ambil talangan dari mana jika dananya sebagian besar ditaruh di SBN,” demikian pesan dari video yang sempat viral.
Kedua pertanyaanya itu, intinya mempertanyakan kesiapan LPS jika ada bank yang gagal. Ada bank yang butuh penyelamatan. Butuh likuiditas dengan cepat. Nah, mana bisa kalau 95% dananya di taruh di SBN. Harusnya di perbankan yang paling aman. Jadi sewaktu-waktu bisa diambil untuk menalangi bank dalam penyehatan.
Mudah menjawabnya — bagaimana kalau banknya bankrut juga? Lalu sebaiknya LPS dananya disimpan dimana? Apa perlu LPS membuat brankas besar untuk menyimpan uang iuran itu. Pas kalau butuh dana tinggal ambil di brankas. Seperti mengambil uang di toples warung. Tidak demikian tentunya.
Karena itu — jika LPS menyimpan dananya di bank juta tidak etis. Lha uangnya dari bank, kok disimpan di bank. Dan, bagaimana LPS menentukan — di simpan di bank mana. Bank mana yang bakal menerima “durian runtuh” dari hasil iuran premi LPS. Lha, uangnya bersumber dari seluruh bank. Lalu gimana governancenya? Jadi, soal penempatan dana dikembalikan ke UU No.24 Tahun 2004 tentang LPS.
Anehnya, penempatan di SBN yang sudah sesuai UU LPS pun dikritik, disalahkan secara tendensius dan dikonotasikan tidak aman. Sementara jika ditempatkan di brankas bank-bank juga tidak tepat. Penempatan di bank hanya untuk operasional lembaga, misalnya buat bayar gaji pegawai, dan operasional lainnya.
Suara-suara “miring” tentang tidak amannya dana LPS di instrumen SBN sejatinya jauh “panggang dari api”. Jika logika bahwa — SBN untuk pembiayaan infrastruktur yang belum menghasilkan “daging”, dikaitkan langsung dengan “kerentanan SBN, tentu tidak benar. LPS membeli SBN bukan membeli surat berharga proyek-proyek infrastruktur secara langsung.
Pembayaran imbal hasil SBN dibayar APBN, bukan dibayar dari uang jalan tol, atau proyek infrastruktur yang digambarkan para pengkritik tidak aman itu. Tidak demikian mekanismenya, dan terlalu berlebihan jika menggambarkan aman dan tidak likuidnya dana hanya kerena proyeknya tidak sesuai rencana.
Jika SBN Dibilang Tak Aman, Lalu Intrumen Apa yang Aman?
Menurut data LPS, jumlah dana pihak ketiga (DPK) perbankan per April 2021 mencapai Rp6.877 triliun, atau naik 10,8% (yoy). Jumlah DPK terus mendaki. Tahun 2017 DPK masih Rp5.363 triliun. Namun dana yang dijamin LPS tidak seluruhnya. Hanya simpanan di bawah Rp2 miliar yang dijamin.Itu jumlahnya 42% (full insured) dan 9% (partially insured) dari jumlah simpanan.
Dari DPK yang dihimpun perbankan, premi yang dikumpulkan LPS pada akhir tahun 2020 mencapai Rp13,08 triliun. Atau, setiap tahunnya mendaki sejalan dengan jumlah DPK. Tahun 2017 premi yang diterima Rp10,43 triliun. Hasil premi inilah yang ditempatkan di SBN, atau di bank-bank untuk biaya operasilan lembaga.
Instrumen SBN dijamin oleh Negara karena yang membayar adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bukan secara langsung ditaruh pada surat berharga dari proyek-proyek infrastruktur, seperti pelabuhan dan jalan tol. Atau, proyek infrastruktur lainnya. Tidak demikian logika berpikirnya.
Surat Berharga Negara diterbitkan dan dijamin oleh pemerintah Republik Indonesia. Dana yang terkumpul di SBN akan digunakan pemerintah untuk mendanai program-program prioritas dalam pemerataan pembangunan, pendidikan dan kesehatan di Indonesia.
Analogi mudahnya, pemegang SBN – berarti meminjamkan dananya ke pemerintah. Nah, begitu jatuh tempo akan kembali utuh, setiap bulannya mendapatkan imbal hasil. Aman karena dijamin pemerintah (Undang-Undang pula) dan menguntungkan. Risikonya nol atau sangat rendah.
Jadi, duit premi LPS atau dana kelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Juga, tak berbeda investasi dari BPJS-TK di SBN ini. Risiko investasi di SBN ini nol, alias aman. Bank-bank yang menempatkan kelebihan dananya juga di SBN – selain Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)-nya nol, tapi juga masih memberikan imbal hasil dari pada duitnya ngendon di brankas, ketika bank-bank susah “kencing kredit” di saat ini.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diolah Infobank Institute, per April 2021, aset LPS mencapai Rp149,5 triliun. Nah, dari dana itu dinvestasikan ke SBN sebesar Rp142,6 triliun. Atau, setara 95,3% dari total asetnya di SBN. Sepanjang lima tahun terkahir ini, porsi alokasi ke SBN setidaknya di atas 95%, bahkan tahun 2017 pernah mencapai 96,1%.
Selama ini dalam menempatkan dananya LPS juga mendapatkan imbal hasil yang relatif memadai. Tahun 2020 lalu, penerimaan hasil investasi Rp8,84 triliun. Naik terus, tahun 2017 baru mencapai Rp5,91 triliun. Tentu bukan itu tujuan LPS, karena itu pula jika penerimaan hasil investasi melebihi 2,5% dari DPK maka surplusnya untuk pemasukan Negara.
Tidak ada yang dilanggar. Itu sudah sesuai dengan Undang-Undang LPS No.24 Tahun 2004 pasal 82. Tidak diatur berapa besar porsi di SBN, tergantung analisa situasi pada saat ditentukan. Penempatan ke SBN juga bukan asal-asalan, tapi juga dihitung kebutuhan. Disiapkan cadangan jika terjadi kegoncangan pada bank.
Untuk itu pula, LPS ke depan diposisikan lebih berperan dalam menangani bank sakit. Tidak hanya menerima “pasien” bank saja, tapi sudah lebih dini.Tidak bisa disalahkan, karena UU LPS saat ini memposisikan LPS seperti sekarang ini. Sekedar penerima “pasien”bank saja dan tidak bisa berbuat banyak jika bank kesulitan likuiditas dan belum menjadi bank gagal.
Ke depan, dari sisi peran, LPS harus “dipersenjatai” Undang-undang yang lebih punya peran. Contohnya, jika ada bank kekurangan likuiditas, seperti tahun lalu yang menimpa Bukopin, LPS bisa membantu tanpa rasa takut. Jangan sampai LPS hanya berani menutup BPR saja. Itu dari sisi peran yang lebih nyata dari sekedar penjaminan dan lebih preventif.
Kembali pada penempatan LPS pada SBN itu lebih penting tidak melanggar UU. Justru jika tidak ditempatkan di SBN, sudah pasti LPS menabrak UU-nya sendiri. Penembatan aset ke Surat Berharga Negara (SBN) juga dilakukan oleh LPS-di berbagai Negara. Tengok saja LPS-nya Malaysia yang juga menempatkan asetnya 95% di surat berharganya Negara Malaysia. Sudah best practice. Bahkan, LPS-nya di seluruh dunia demikian.
Nah, bagaimana kalau ada bank gagal dan butuh penanganan cepat? Jangan gusar dan panik. Selama ini LPS punya perjanjian khusus dengan Bank Indonesia. Jadi dana LPS termasuk likuid juga. Sebab, jika tidak ada perjanjian dengan BI untuk repo SBN, memang akan membutukan waktu yang lebih lama.
Namun karena ada repo yang sewaktu-waktu SBN menjadi likuiditas, tentu tidak menjadi masalah. Menurut catatan Infobank Institute, beberapa waktu lalu, sudah pernah ditest teknis pelaksanaan repo-nya. Hasilnya lancar dan tidak perlu diragukan. Kerjama BI-LPS dalam penyediaan likuiditas ini sudah dilakukan sejak lama. Langkah antisipasi sudah dilakukan LPS.
Alangkah dangkalnya, jika Surat Berharga Negara yang dijamin Negara dan UU disebut tidak aman, lalu harus di simpan di mana? Jangan diasumsikan APBN tidak bisa membayar hanya karena proyek infrastruktur yang tidak sesuai rencana. Terlalu sempit, Mister! Cenderung berbau politis, dan membuat “gaduh” yang tak berdasar.
Sekali lagi, imbal hasil dan pencairan SBN itu dijamin Negara (APBN). Dan, sejauh ini, duit premi LPS itu aman dan likuid. Aman di SBN, likuid – sewaktu-waktu bisa repo ke Bank Indonesia (BI). Encer. Dan, justru — jika sebagian besar disimpan di bank-bank yang membayar premi, selain melanggar UU-LPS, tapi seperti “Jeruk Minum Jeruk”.
Jika SBN yang dijamin Negara disebut tidak aman, lalu instrumen apa yang aman, Mister?