Jakarta – Presiden RI terpilih Prabowo Subianto berencana mendanai janji-janji kampanyenya dengan meningkatkan rasio utang ke level tertinggi dalam dua dekade terakhir. Prabowo menargetkan peningkatan utang terhadap rasio GDP sebesar 2 persen poin secara tahunan selama lima tahun ke depan, sebagaimana diinformasikan oleh orang-orang yang mengetahui hal ini.
Ketimbang menaikkan rasio utang secara signifikan dalam waktu singkat, kenaikan rasio utang secara berkala itu dikatakan bakal memberikan tim ekonominya ruang untuk beradaptasi dengan berbagai rintangan yang ada. Begitulah ujar orang-orang yang tak mau dicantumkan namanya itu, sebagaimana dikutip Bloomberg, Jumat, 14 Juni 2024.
Hal ini akan membawa level utang nasional sebesar 50 persen dari GDP pada akhir periode jabatan 5 tahunannya. Saat ini saja, rasio utang terhadap GDP sudah sekitar 39 persen, berpotensi menyentuh level tertingginya sejak 2004. Sebelumnya, meskipun Prabowo telah membuka pembicaraan seputar meningkatkan rasio utang selama kampanye, tak ada yang tahu seberapa besar komitmen dan bagaimana ia bakal melakukannya.
Bila benar dilakukan, maka kebijakan peningkatan rasio utang ala Prabowo itu akan mengubah perekonomian Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yang selama ini bergantung pada kebijakan fiskal konservatif untuk menjaga kepercayaan investor.
Baca juga: Utang Luar Negeri RI Turun, Sisanya Tinggal Segini
Pemerintah Indonesia telah menetapkan angka 3 persen sebagai batas defisit budget GDP dan maksimum 60 persen untuk besaran rasio utang terhadap GDP sejak krisis keuangan Asia terjadi pada 1997, kecuali selama pandemi. Mekanisme itu membantu Indonesia memperoleh kembali peringkat nilai investasi, sekalipun pendapatan negara melemah secara terus-menerus.
Rasio utang sebesar 50 persen dipandang sebagai tingkat optimal karena akan meyakinkan investor akan komitmen Indonesia terhadap kehati-hatian fiskal, sementara rasio utang yang lebih tinggi dari 60 persen dapat menimbulkan kekhawatiran pasar, begitu ucap orang-orang tersebut. Meskipun ini rencana yang berpotensi diterapkan, diskusi terus berlangsung dan mereka katakan, strategi itu mungkin saja berubah.
Obligasi pemerintah Indonesia merosot, dengan imbal hasil obligasi 5 tahun naik 13 basis poin menjadi 7,05 persen pada hari Jumat, lonjakan terbesar dalam dua bulan. Rupiah melemah 0,7 persen menjadi 16.375 per dolar pada pukul 11.35 WIB, level terlemah sejak tahun 2020.
“Prabowo fokus pada bagaimana menyesuaikan program-programnya, terutama terkait pangan dan gizi, ke dalam anggaran tahun 2025 agar sejalan dengan target yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini sambil memastikan kehati-hatian fiskal,” ucap Thomas Djiwandono, anggota tim transisi ekonomi presiden terpilih.
“Obrolan apa pun di luar itu hanyalah opini dan bukan posisi formal kami,” tambahnya.
Mantan jenderal tersebut mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg bulan lalu bahwa Indonesia bisa “lebih berani” dengan belanja pemerintah.
“Kita merupakan salah satu negara dengan rasio utang terhadap PDB terendah di dunia, jadi sekarang saya pikir inilah saatnya untuk lebih berani dalam menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.
Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), jumlah utang RI hingga kini tembus Rp8.338 triliun. Sedangkan utang jatuh tempo tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun, naik nyaris 2 kali lipat sebesar Rp434,29 triliun.
Sementara itu, tahun 2024 ini beban APBN untuk membayar bunga utang Rp434,29 triliun. Jika defisit diperlebar 2,45 sampai 2,82 persen, beban bunga utang bisa tembus Rp600 triliun. Jika demikian halnya, maka bunga utang dibayar dengan utang baru.
Makan Siang dan Susu Gratis
Prabowo, yang akan dilantik sebagai presiden pada bulan Oktober, membutuhkan dana untuk memenuhi janji kampanyenya seperti makan siang gratis untuk anak-anak di antara rencana kesejahteraan lainnya yang diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp460 triliun (USD28 miliar) per tahun, lebih besar dari total defisit anggaran 2023.
Sekalipun ia menaikkan rasio utang Indonesia menjadi 50 persen, utang Indonesia memang masih berada di bawah negara tetangga Malaysia, Thailand, dan Singapura yang melampaui 60 persen.
“Menaikkan rasio ini bukannya tanpa biaya. Lingkungan suku bunga yang tinggi akan membuat pinjaman menjadi mahal, baik dilakukan secara lokal maupun global,” sebut Josua Pardede selaku Kepala Ekonom Bank Permata.
Selain itu, Josua katakan, volatilitas mata uang dapat membuat penetapan harga tidak dapat diandalkan, mengingat rupiah baru-baru ini menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir.
“Peningkatan rasio utang secara perlahan akan lebih baik ketimbang lonjakan tajam, karena anda tidak ingin menakuti investor atau lembaga pemeringkat,” tambah Ekonom Bloomberg Economics, Tamara Henderson.
“Selain itu, anda ingin memastikan uang tersebut dimanfaatkan dengan baik, kontrak diberikan kepada penyedia pekerjaan terbaik, dan tidak berakhir di rekening bank pribadi seseorang,” sambungnya.
Rupiah dan Dana Investasi Asing Melemah
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau terus mengalami pelemahan. Pada penutupan perdagangan hari ini, dolar AS bergerak menguat kencang dan sesaat sempat menembus level Rp16.400, sebelum akhirnya penguatan terpangkas dan ditutup menguat 0,80 persen ke Rp 16.375.
Baca juga: Rupiah Tembus Rp16.300, Bos BI: Masih Stabil
Mengutip data Refinitiv, sekitar setengah jam sebelum pasar tutup, dolar yang dibuka di level Rp16.375 sempat diperdagangkan di posisi Rp 16.415 di level terendah. Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) akhirnya mampu membawa rupiah balik ke level di bawah Rp16.400. Pelemahan ini terus menjadi level terendah rupiah sejak awal pandemi Covid-19.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergerus makin dalam menuju 6.700, sementara di pasar surat utang semua kurva terlihat mencatat kenaikan imbal hasil, mencerminkan tekanan harga. Yield SUN 10Y kembali naik ke 7,021 persen, sedangkan tenor 2Y saat ini di 6,667 persen. Tenor 5Y kini sudah mencapai 7,039 persen.
Sejak awal April saja, investor asing sudah melepas USD2,2 miliar saham dari bursa Indonesia. Sementara di pasar surat utang, berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) berkurang tinggal Rp804,78 triliun per 12 Juni lalu.
Pada hari itu, investor asing mencatat penjualan bersih di SBN senilai Rp802,43 miliar yang menjadi nilai penjualan tertinggi obligasi negara oleh investor nonresiden selama tiga bulan terakhir. (*) Steven Widjaja