Jakarta – Tak bisa dipungkiri, serangan siber dan pencurian data kini makin masif. Sudah banyak deretan lembaga pemerintahan serta swasta yang menjadi korban pencurian data. Di sektor perbankan, misalnya, 74 GB data Bank Indonesia pernah dibobol. Ada juga 6 juta data pasien rumah sakit, 1,3 juta data electronic-Health Alert Card (eHAC), 34 juta data paspor, dan 1,3 triliun data registrasi sim card dicuri.
Kemudian, lembaga pemerintahan juga jadi sasaran empuk para hacker melancarkan aksinya. Beberapa yang jadi korban adalah Ditjen Pajak, sebanyak 40 ribu data penggunanya diduga bocor. Selanjutnya, 17 juta data pelanggan PLN, 2,3 juta data Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2014, 38 MB data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 272 juta data BPJS Kesehatan, dan 19 juta data BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, 186 juta data Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga pernah dibobol. Lalu, 1 triliun data Kemendesa PDTT, 337 juta data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), dan 204,8 juta data DPT KPU. Bahkan, ironisnya kasus pencurian data dialami oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Sebanyak 1,64 TB data dicuri dari situs resmi kementerian yang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini.
Teranyar, adalah pencurian 380 ribu data pelanggan Biznet dan 154 ribu pelanggan Biznet Gio yang disinyalir dilakukan oleh oknum orang dalam perusahaan sendiri.
Baca juga: Ngeri! Negara Bisa Rugi Rp2,96 Miliar per Detik Akibat Serangan Siber
Menurut Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, kasus “nyolong” data yang terjadi di ruang siber lembaga pemerintahan dan swasta tersebut jadi bukti bahwa ancaman siber berkembang dengan cepat dan sering kali bersifat tak terlihat. Ruang siber telah menjadi arena yang dinamis dan tak terduga.
“Dari serangan siber yang bertujuan merusak infrastruktur kritis hingga pencurian data dan penyebaran disinformasi, tantangan yang dihadapi dalam ruang siber semakin kompleks dan meresahkan,” jelas Pratama dalam momen perayaan Hari Persandian Indonesia yang diperingati pada 4 April 2024 ini.
Dalam menghadapi tantangan ini, kata Pratama, persandian Indonesia dihadapkan pada tugas yang tidak mudah. Persandian memainkan peran yang sangat vital sebagai benteng terakhir dalam menjaga keamanan siber.
“Sebab, tidak ada sistem yang betul-betul kuat, sehingga persandian berupa enkripsi akan memastikan bahwa data yang dikirimkan dan disimpan di lingkungan digital dilindungi dari pelaku pencurian data,” tambah Pratama.
Selain enkripsi, lanjut Pratama, salah satu bentuk persandian yang perlu dimanfaatkan adalah digital signature yang dapat disematkan pada dokumen digital yang akan menjamin otentitas dari dokumen digital.
“Dokumen digital yang sudah disematkan digital signature akan dapat diketahui dengan mudah jika dilakukan perubahan pada dokumen setelah dokumen disematkan digital signature,” ujarnya.
Baca juga: MyBATICloud dan Acronis Berkolaborasi Antisipasi Serangan Siber
Namun, kata Pratama, dalam era digital yang semakin kompleks ini, ruang siber menjadi medan perang yang tak terlihat, tapi sangat berpengaruh. Di balik layar, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia menjalankan peran krusial dalam menjaga keamanan dan kedaulatan dalam ranah siber.
“BSSN memerlukan pemimpin serta personel yang memahami secara mendalam berbagai aspek keamanan siber termasuk ancaman yang berkembang, teknologi terbaru, dan regulasi terkait,” ujarnya.
Kepemimpinan dan personel yang kompeten dan efektif di BSSN akan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam melindungi warga dan infrastruktur dari ancaman siber. (*)