Oleh: Bayu Krisnamurthi, Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Wakil Menteri Pertanian 2010-2011, Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014
JIKA Zoltan B. Simon menulis buku “History in Times of Unprecedented Change” pada tahun 2020, maka pastilah Covid19 akan menjadi ‘bintang’ dalam buku tersebut. Hanya saja buku Simon diterbitkan Bloombury Academic, London, pada tahun 2019. Covid19 belum ada dalam tulisannya.
Pesan Simon sangat jelas, sejarah manusia adalah kumpulan catatan perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya (unprecedented change). Perubahan-perubahan itu dalam jangka panjang adalah faktor penyebab kemajuan, baik dalam bentuk lompatan peradaban maupun dalam proses yang berjalan perlahan. Lalu, bagaimana sejarah akan memandang perubahan yang disebabkan oleh Covid19?
Untuk menelaah hal tersebut, dapatlah digunakan teori Disruptive Innovation yang dikembangkan sejak 1995 oleh Clayton Christensen, Guru Besar Harvard Business School, penulis banyak buku best-sellers.
Secara singkat pemikiran Christensen menyatakan bahwa inovasi disruptif itu akan membuka pasar-pasar baru, dan ‘mengganggu’ (to disrupt) pasar lama.
Menarik cara Christensen menjelaskan apa yang memang bersifat disruptif dan mana yang tidak, meskipun mungkin bersifat revolusioner. Penemuan mobil dianggapnya revolusioner tetapi tidak disruptif, karena pada awalnya mobil adalah barang yang mahal dan benar-benar hanya bentuk ‘kereta’ yang menggantikan kuda dengan mesin. Akibatnya pasar kereta kuda dan mobil ada bersama-sama, jalan dijalanan yang sama.
Disrupsi baru terjadi saat Ford memproduksi mobil “Model-T” secara masal, dan menjualnya dengan harga murah. Inovasi proses produksi “ban-berjalan” dalam pabrik mobil Ford telah merubah pasar kendaraan. Kereta kuda hilang dari jalanan dan mobil menjadi raja jalanan baru. Hal ini kemudian didukung oleh pembangunan infrastruktur jalan yang masif dan menjangkau tempat-tempat yang jauh.
Balik ke Covid19, tidak perlu berdebat apakah virus itu dibuat (yang berarti ada unsur inovasi didalamnya) atau sesuatu yang terjadi karena mutasi yang tidak terkontrol (yang artinya tidak ada unsur inovasi-manusianya). Yang jelas, manusia telah mendaya-gunakan dan mengembangkan berbagai “energi-inovatif”nya saat Covid datang.
Lihatlah bagaimana hebatnya pembangunan fasilitas kesehatan yang mampu menampung ribuan pasien dalam waktu singkat. Atau lahirnya ‘karya seni’ digital yang dibuat oleh sekian banyak orang via internet. Entah berapa ribu seni video, lagu, musik, ‘mime’, atau infografis yang lahir dalam 2-3 bulan terakhir. Kolaborasi hebat dari berbagai pihak, yang beberapa diantara mereka bahkan tidak saling kenal. Juga begitu kreatifnya para dosen dan pengajar mencoba terus menghantarkan materi pendidikan langsung kepada murid-murid dirumah mereka masing-masing. Atau para analis yang membuat sekian banyak permodelan dan algoritma untuk menganalisa jutaan data kasus dan pasien. Belum lagi sekian banyak kue dan bakery yang tercipta sebagai penyaluran energi #dirumahsaja. Atau sekian banyak ramuan dan paduan makanan, minuman, plus aktivitas fisik yang dilakukan atau dikembangkan karena keinginan masyarakat meningkatkan daya tahan dan imunitas.
Dan menariknya, kegiatan-kegiatan itu tidak dilakukan melalui sesuatu yang terorganisir atau terstruktur, tetapi melalui sesuatu kekuatan yang bersifat massal, berjejaring dan tanpa sekat. Kekuatan yang oleh Timms and Heimans dalam buku #NewPower (2018, Picador-McMillan, London) digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat informal, networked base, collaborative, crowd wisdom, radical transparency, ‘do-it-our-selves’ ethic, dan dengan short-term affiliation. Atau secara singkat disebut sebagai produk dari ‘the age of mass participation’.
Intinya, Covid sebagai sebuah ‘global pandemic’ merupakan faktor tunggal yang sedemikian besar sehingga mampu menjangkau dan mempengaruhi seluruh dunia, dan kemudian ternyata telah melahirkan jutaan inovasi dan kreativitas dalam sebuah partisipasi masal tanpa sekat itu. Dan tampaknya orientasi digital-internet dan sanitasi-higienis-kesehatan merupakan dua ‘kelompok’ perhatian utama dimana energi inovatif itu disalurkan.
Hipotesanya adalah bahwa kesadaran mungkin juga ‘keasyikan’ mendayagunakan berbagai kemudahan digital-internet, serta pemahaman mungkin juga fanatisme atas gaya hidup bersanitasi tinggi, higienis dan sehat, akan “tetap tinggal” bahkan jika sudah ditemukan vaksin atau obat menghadapi Covid. Apalagi ketika virus itu masih bertebaran disekitar tempat kehidupan dan kegiatan manusia seperti saat ini.
Virusnya masih ada, manusia belum aman dari penyakit yang disebabkan virus itu, tetapi manusia harus bisa kembali berkegiatan ekonomi, karena butuh makan dan penghasilan. Dalam situasi itu, digitalisasi kegiatan dan keinginan untuk bersih dan sehat menjadi sangat menonjol.
Dengan demikian, jika hipotesa itu terbukti benar, yang terjadi adalah normal yang berbeda. Kalaupun mau disebut sebagai normal baru (new normal), maka baru yang berbeda, yang belum pernah ada sebelumnya (unprecedented). Kehidupan manusia setelah kehadiran Covid telah dan akan berbeda. Lingkungan kehidupan telah berbeda, dan manusianyapun berbeda. Normal yang berbeda.
Mungkin inilah situasi yang digambarkan secara agak puitis oleh Heraclitus, seorang filsuf jaman Yunani Kuno, sekitar 2500 tahun yang lalu, No man ever step in the same river twice, for its not the same river, and he’s not the same man. (*)