Pasca Defisit, Neraca Dagang RI Surplus US$1,74 Miliar di Juni

Pasca Defisit, Neraca Dagang RI Surplus US$1,74 Miliar di Juni

Jakarta – Pasca mengalami defisit dibulan April dan Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia akhirnya mencatatkan surplus sebesar US$1,74 miliar di Juni 2018. Surplus neraca perdagangan ini juga sesuai dengan prediksi Bank Indonesia (BI) sebelumnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto di Jakarta, Senin, 16 Juli 2018 mengatakan, nilai ekspor yang tercatat sebesar US$13 miliar di Juni 2018 atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai impor yang mencapai US$11,26 miliar, telah mendorong neraca perdagangan RI surplus.

“Neraca perdagangan kita surplus US$1,74 miliar, kalau itu digabung semua,” ujar Suhariyanto.

Namun demikian, secara kumulatif, kata dia, neraca perdagangan Indonesia Januari–Juni 2018 tercatat masih mengalami defisit sebesar US$1,02 miliar. Hal ini sejalan dengan surplus neraca perdagangan Indonesia hanya terjadi dibulan Maret dan Juni 2018, sisanya mengalami defisit.

“Surplus hanya di Maret dan Juni saja. Untuk Januari-Juni 2018 kita masih defisit,” ucapnya.

Baca juga: BI Perkirakan, Juni 2018 Neraca Dagang RI Surplus US$900 Juta

Neraca perdagangan yang mengalami surplus sebesar US$1,74 miliar di Juni 2018 ini, lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkiraan BI yang surplus sebesar US$900 juta. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, membaiknya neraca perdagangan tersebut sejalan dengan sudah meredanya tren meningkatnya impor Indonesia.

Bank Sentral menyebut, kinerja neraca perdagangan Indonesia diperkirakan akan terus membaik seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi. Perkembangan tersebut akan mendukung perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi dan kinerja transaksi berjalan.

“Secara keseluruhan saya sampaikan, tidak usah kemudian khawatir bahwa triwulan II memang secara musimannya keseluruhan transaksi berjalannya itu devisanya agak lebih tinggi dari triwulan I. Tetapi kita perkirakan di triwulan III dan IV itu akan menurun sehingga secara keseluruhannya akan masih lebih rendah 2,5 persen dari PDB,” ucap Perry. (*)

Related Posts

News Update

Top News