Jakarta – Status dana dalam Sub Rekening Efek (SRE) WanaArtha yang disita Kejaksaan Agung harus diperjelas. Pemisahan antara dana yang dicurigai terkait kejahatan pidana dengan dana nasabah harus dilakukan. Kejaksaan seharusnya tak membekukan rekening korporasi WanaArtha begitu saja, agar tak makin membuat masyarakat dirugikan akibat dana investasinya tersandera.
Pengamat Pasar Modal Hans Kwee memahami, tujuan penyitaan dan pembekuan rekening yang dilakukan oleh Kejagung adalah untuk mengamankan pengembalian kerugian negara akibat kasus Jiwasraya. Tapi, kata dia, bukan berarti semua dana dalam rekening, di luar jumlah kerugian negara juga ikut dibekukan. Ia memandang, seharusnya tak semua orang harus jadi korban dan dilibatkan dengan kasus yang terjadi, hanya karena membeli saham yang kebetulan sama dengan yang dimiliki Jiwasraya atau dimainkan group tertentu.
“Merekakan tidak terlibat itu. Sehingga bisa beroperasi kembali dengan normal. Jika ternyata memang mereka terlibat konspirasi dan merugikan negara, maka harus ditegakan secara hukum, dibuktikan mereka terlibat dan dihukum,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Dirinya bahkan menyesalkan berlarutnya kasus ini dan pembekuan rekening yang terjadi. Karena jikapun rekening efek tersebut dibuka sekarang, WanaArtha Life punya masalah tersendiri karena nilai investasinya sudah turun. “Belum lagi gara-gara kasus ini kepercayaan mereka turun. Sebaiknya segera dirapikan. Rekening yang difreeze banyak loh. Yaa mereka juga dirugikan. Jadi kalau sudah selesai, lebih baik blokirnya dibuka saja,” ucapnya.
Untuk diketahui, 13 SRE dan 42 IFUA (Investor Fund Unit Account) WanaArtha mulai diblokir Kustodian Sentra Efek (KSEI) per 21 Januari 2020 atas instruksi OJK yang diminta oleh Kejagung. Jika dihitung, nilai efek yang diblokir KSEI waktu itu sekitar Rp3 triliun. Terdiri dari nilai aset investasi WanaArtha di saham sebesar Rp1,44 triliun dan di reksadana sebesar Rp1,54 triliun. Sumber lain menyebutkan dana di rekening WanaArtha yang dibekukan mencapai Rp4,1 triliun.
Karena pemblokiran ini WanaArtha pun kesulitan membayar manfaat klaim pemegang polis. Kemudian mulai gagar bayar pada bulan-bulan berikutnya. Pemegang polis WanaArtha sendiri tercatat sebanyak 26 ribu polis, terdiri dari produk dwiguna dan unit link.
Menanggapi pembekuan rekening WanaArtha Life, Pengamat Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Ganarsih menilai, penegak hukum harus memberi status yang jelas kepada pihak ketiga apa keterkaitannya. “Sepengetahuan saya, WanaArtha sempat keberatan soal pembekuan rekening mereka, karena ada uang nasabah dan uang WanaArtha sendiri. Nah, kalau memang ada uang Benny Tjokro di sana, ya uang dia saja yang dibekukan,” ujar Ketua Panitia Seleksi Pimpinan KPK ini.
Ia menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti, uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir atau dibekukan. “Penyitaan di perusahaan harusnya penyidik hati-hati, kalau semuanya, bisa jadi collaps, bisa ada PHK, memang kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan,” jelas Yenti.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak, sebelumnya juga meminta majelis hakim melihat secara adil kasus tersebut. Fakta dan peristiwa hukum, termasuk keterangan para saksi meringankan dan memberatkan, serta pledio terdakwa dan penasihat hukum juga harus menjadi pertimbangan.
“Ini (penyitaan rekening WanaArtha dan lainnya.red) termasuk akan jadi bagian apa yang akan diputus. Karena pemblokiran atau yang dilihat langkah hukum kejaksaan, nanti akan dilihat hakim. Apakah itu betul uang negara atau Jiwasraya atau uang pihak lain ini akan jadi bagian yang akan diadili oleh hakim,” kata Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak.
Lebih lanjut dia mengatakan, Komisi Kejaksaan akan memonitor jalannya persidangan. Apalagi, diakui bahwa telah ada laporan para nasabah yang telah merasa diperlakukan dengan tidak adil atas pemblokiran SRE WanaArtha. Di mana ada “hak-hak” para nasabah dalam rekening tersebut.
Di persidangan sendiri, terdakwa Benny Tjokrosaputro mengaku tak berkaitan dengan WanaArtha. Pengaitan namanya dengan WanaArtha dengan adanya penyebutan nominee adalah hal yang sama sekali tak tepat oleh Kejaksaan Agung. Komisi Kejaksaan juga menilai, jaksa harus membuktikan sesuai dengan tuntutannya, termasuk apakah uang negara milik Jiwasraya atau uang siapa. (*)