Jakarta – Komisaris Utama (Komut) Bank Syariah Indonesia (BSI), Muliaman D. Hadad mengenang masa-masa ketika dirinya diangkat menjadi Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Swiss pada 2018 silam. Berbagai kisah yang terjadi kala Muliaman bertugas ke sana dituangkan ke dalam buku berjudul “Diplomasi Ekonomi dari Pendidikan Vokasi Hingga Provokasi Sawit”.
Masa-masa Muliaman sebagai dubes, mulai dari 2018 hingga 2023, dipenuhi beragam tantangan. Ia bercerita kalau banyak kegiatan antara Swiss dan Indonesia yang belum sepenuhnya selesai, dan wajib diselesaikan di periodenya.
“Selama saya menjadi duta besar, banyak sekali kegiatan, terutama karena mandat yang diberikan kepada saya sejak awal dipanggil. Banyak pekerjaan yang belum selesai, kemudian akhirnya diselesaikan,“ kenang Muliaman dalam acara Infobank bertemakan Digital Brand Sharing Session and Recognition 2024: BEYOND BANKING, Senin, 1 April 2024.
Baca juga: Lebih Rendah dari Target Pemerintah, Himbara Prediksi Ekonomi RI Tumbuh Segini
Salah satunya adalah penentangan ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia untuk Swiss dan negara-negara Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) lainnya. Terdapat berbagai alasan kenapa negara-negara Eropa menolak komoditas ini.
Misalnya, minyak kelapa sawit yang mengancam komoditas minyak dari benua biru seperti minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari. Ada pula yang menentang karena minyak kelapa sawit diproses dengan cara yang merusak lingkungan. Pengalaman Muliaman menangani peristiwa panas antara kedua negara membuat ia mendapat banyak pelajaran, khususnya mengenai diplomasi ekonomi.
“Pelajaran yang paling berharga buat saya yang berlatar belakang keuangan, kalau ini adalah peristiwa yang menurut saya menarik, karena kemudian saya banyak belajar terkait dengan diplomasi ekonomi. Saya membaca teori diplomasi ekonomi, dan saya mempraktikannya. Ternyata, praktiknya itu membutuhkan pendekatan baru,” papar pria yang juga pernah menjabat sebagai ketua dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini.
Menurutnya, pendekatan diplomasi ekonomi harus lebih fleksibel, lantaran lingkungannya lebih kompleks dan dinamis. Dan ini amat berlaku ketika Muliaman harus bertugas saat pandemi Covid-19 berlangsung.
Muliaman sendiri percaya bahwa diplomasi ekonomi bisa membantu mengatasi dampak dari pandemi. Diplomasi ekonomi juga penting untuk mengembalikan stabilitas pertumbuhan di negara yang terdampak.
“Pasca pandemi, banyak perubahan-perubahan fundamental. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hubungan antar negara. Gangguan suplai global, geopolitik, dan konflik yang berkembang, dan lain sebagainya, ini tempat diplomasi ekonomi hidup,” ujar Muliaman.
Baca juga: Tangkal Ketidakpastian Ekonomi Global, BI Siapkan 3 Pilar Ini
Lebih lanjut, Muliaman menjelaskan setidaknya ada enam alasan pentingnya diplomasi ekonomi pasca pandemi. Alasan-alasan yang dimaksud meliputi pemulihan ekonomi, meningkatkan akses pasar, mendorong investasi, stabilisasi ekonomi global, inovasi dan transformasi ekonomi, serta penguatan kerja sama ekonomi global.
“Jadi, diplomasi pada umumnya tidak hanya untuk diri kita. Tetapi, kita contribute kepada semangat multilateralisme, terutama di dalam meningkatkan penguatan kerja sama. Karena, kita ingin tidak hanya kita yang sejahtera dan lepas dari pandemi. Tetapi, negara lain dengan pendekatan multilateral yang efektif, kita bisa sama-sama keluar dari krisis ini,” tukasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso