PARA bankir terus sibuk memutar otak. Setelah restrukturisasi kredit macet mulai membuahkan hasil, mereka harus berpikir bagaimana memproduktifkan kelebihan modal banknya. Dengan capital adequacy ratio (CAR) di kisaran 23%, industri perbankan memiliki kuda-kuda yang cukup kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Jika ekspansi kredit masih terbatas seperti lima tahun terakhir, yang rata-rata hanya tumbuh 10%, permodalan perbankan makin gendut. Tentu tidak ada salahnya modal besar, tapi para pemilik bank bisa saja menagih para pengelola bank bermodal besar untuk mencetak rentabilitas yang tinggi sebagai indikator seberapa produktif modal yang ditanamkan oleh pemilik bank. Return on equity (ROE) yang pada 2011 masih di atas 20% kemudian menunjukkan tren menurun hingga menjadi 11,99% pada 2018.
Yang menjadi tantangan bagi para bankir adalah kredit yang menyumbang 75% pendapatan perbankan belum bisa dipacu kencang karena mempertimbangkan kondisi likuiditas yang mengetat. Loan to deposit ratio (LDR) sudah melewati ambang batas bank sentral sebesar 85% hingga 94%. Menurut Biro Riset Infobank (birI), LDR industri perbankan per April 2019 sudah mencapai 94,25%, dan ada 45 bank yang memiliki LDR di atas 95%. Bahkan, 35 bank di antaranya mencatat LDR di atas 100%, yang sebagian besar di antaranya adalah bank asing dan campuran. Yang memiliki ruang paling longgar adalah bank pembangunan daerah (BPD) karena LDR-nya 81,26%. Namun, itu tidak signifikan melonggarkan likuiditas industri karena pangsa aset bank daerah yang hanya 8% terhadap industri perbankan.
Begitu juga dari sisi permintaan. Daya serap kredit dipengaruhi oleh perang dagang AS dan Tiongkok yang membuat asumsi ekonomi makro menjadi tak pasti bahkan telah menimbulkan indikator yang rawan, seperti buruknya kinerja ekspor impor hingga defisit transaksi berjalan yang membengkak dari 2,5% ke 2,5%-3%. Pasar modal sudah lebih dulu terkena imbas dengan rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan mengempisnya kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) lebih dari Rp400 triliun. Ditambah lagi kondisi politik yang tidak mendukung untuk meredam guncangan ekonomi karena banyak pengusaha maupun investor yang lebih memilih wait and see.
Lalu apa jurus para bankir yang modal banknya makin kuat, tapi ekspansi kreditnya lambat? Semua diulas tuntas di majalah Infobank edisi Juli 2019. (*)