INDUSTRI multifinance sedang berada di wilayah mimpi buruk. Kisruh penjualan saham Arjuna Finance yang membuat kinerja perusahaan pembiayaan ini memerah dan merembet ke Bima Finance membuat para bankir yang memiliki portofolio kredit di perusahaan pembiayaan sulit tidur nyenyak.
Terlebih bankir dari 24 bank yang pengembalian kreditnya tergantung dari keberhasilan Bima Finance mendapatkan investor strategis dan penjualan aset-asetnya untuk menutupi pembayaran utang. Jika pengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dilakukan Bima Finance mengandung motif menghindari pembayaran utang, maka bank-bank akan tidak nyaman melempar kreditnya ke multinance. Padahal, kredit perbankan merupakan “darah” utama yang sangat dibutuhkan industri multinance.
Jika perbankan menyetop kreditnya ke industri multifinance, tentu bisa berakibat buruk kepada multifinance dan dampak sistemiknya juga akan memukul bank-bank.
Yang jelas bank-bank akan lebih berhati-hati setelah terkuaknya masalah yang membelit sejumlah perusahaan pembiayaan setahun terakhir, mulai dari Kembang 88 Multifinance dan Intensif Multi Finance yang terkena pembekuan kegiatan usaha akhir tahun lalu. Ditambah kasus Arjuna Finance dan Bima Finance.
Sejumlah bank yang menjadi kreditor perusahaan-perusahaan multifinance yang mengibarkan “bendera putih” dengan mengajukan PKPU pun sudah dihantui kredit macet.
Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terbilang lebih longgar ke industri multifinance daripada ke industri perbankan bisa menjadi salah satu pemicunya. Bahkan Arjuna Finance tak “diawasi” selama lebih dari enam tahun.
Apakah perbankan kini menyetop kucuran kreditnya ke perusahaan-perusahaan multifinance? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Edisi 467 Agustus 2017. (*)