Mewaspadai Risiko Geopolitik Terhadap Perekonomian Global

Mewaspadai Risiko Geopolitik Terhadap Perekonomian Global

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia

MENJELANG akhir 2023 perekonomian dunia kembali dihadapkan pada risiko geopolitik yang meningkat. Di saat perang Rusia dengan Ukraina belum menemukan solusi, kini pecah perang Hamas (Palestina) dengan Israel yang mengguncang dunia. 

Setidaknya, sampai saat ini, ketegangan tampaknya akan berkembang menjadi konflik berkepanjangan meskipun relatif terkendali, konon dengan probabilitas sebesar 75%. Dampak terhadap harga komoditas global dan inflasi tetap terkendali karena kondisi awal sudah sangat ketat. Secara keseluruhan, diperkirakan sedikit efek perang terhadap stagflasi pada ekonomi global, dengan sedikit dampak pada pasar modal. 

Dalam skenario penurunan eskalasi parah menjadi konflik regional atau kawasan dengan intervensi langsung Iran dan Amerika Serikat (AS), negara-negara OPEC+ berpeluang memutuskan pengurangan produksi minyak secara drastis, menggemakan kembali embargo minyak seperti periode 1973-1974, dan melonjaknya kekhawatiran terhadap gangguan perdagangan minyak di Selat Hormuz. 

Semua itu akan menyebabkan rekor harga minyak yang tinggi dan menyebabkan terkuaknya resesi ekonomi global. Pasar keuangan akan terdampak secara negatif, dengan risiko tertinggi pada pasar modal, dengan indeks ekuitas berpeluang turun sekitar 7% di AS dan 9% di Zona Euro, di samping melebarnya spread kredit.

Baca juga: Geopolitik Bakal Memanas, Tantangan Ekonomi Makin Berat

Konsentrasi negara-negara di dunia – utamanya negara-negara maju – untuk menyelamatkan perekonomian dari ancaman krisis dan resesi tanpa disadari akan menekan semangat untuk mendukung pencapaian target perubahan iklim. Buktinya, pemerintah Eropa menunda-nunda tujuan iklim mereka. Inggris dan Swedia telah mengumumkan kemunduran pada tujuan iklim, sementara resistensi dan skeptisisme terhadap target tujuan iklim mulai tumbuh di negara-negara Eropa lainnya. 

Krisis biaya hidup yang sedang berlangsung di negara-negara maju Eropa dan AS sebagai dampak inflasi tinggi dan populisme iklim dapat menjelaskan gerakan yang tidak menguntungkan ini. Sektor energi, transportasi, dan perumahan menghadapi tekanan paling besar karena berdampak langsung pada kehidupan masyarakat konsumen. 

Tak kalah mengkhawatirkan adalah berlanjutnya resesi perdagangan di Terusan Panama karena membesarnya kekeringan di kawasan tersebut. Jumlah kapal yang dapat melewati Terusan Panama akan dikurangi setengahnya menjadi 18 kapal per hari mulai Februari 2024 nanti, terutama yang memengaruhi ekspor AS. 

Setelah perdagangan global mencapai titik terendah, gangguan tersebut dapat memicu kekhawatiran inflasi impor yang lebih tinggi. Kekeringan juga mengisyaratkan yang ada di depan ketika kini suhu global meningkat tajam. Konon pada 2030, kenaikan suhu dapat menyebabkan penurunan sebesar 38% dalam kapasitas transportasi, mengurangi potensi pertumbuhan perdagangan barang global dalam volume sebesar 5% per tahun. Biaya logistik yang melonjak akibat perubahan iklim menjadi nyata.

Efek Lanjutan

Skenario ekonomi sebagai dampak konflik Israel dengan Hamas tampaknya akan berkembang menjadi konflik berkepanjangan, meskipun tetap dalam kendali. Pertikaian mereka kemungkinan akan bertahan hingga tahun depan tetapi terbatas di dalam dan sekitar perbatasan Israel. Upaya dunia internasional untuk meredakan konflik sepertinya membuahkan hasil di mana isu gencatan senjata terus dirundingkan.

Baca juga: Waspadai Geopolitik Global, Sri Mulyani Ajak Negara ASEAN Lakukan Ini

Hanya saja, dampak perang terbaru ini masih dirasakan, yang terindikasi dari gangguan bisnis, dengan beberapa penerbangan dan operasi logistik dihentikan atau dialihkan. Perusahaan minyak besar juga telah menangguhkan produksi dari ladang gas alam Tamar di lepas pantai utara Israel. Selain itu, beberapa kargo dialihkan dari pelabuhan Ashdod ke Haifa, jantung koridor potensial India-Saudi-Arab-Israel, menyebabkan backlog moderat dan seruan untuk kondisi force majeure pada para operator. 

Ke depan, konflik kedua pihak diperkirakan tetap terkonsentrasi di wilayah sekitar Israel, terutama bagian utara Jalur Gaza. Pasukan Israel kemungkinan akan terus menduduki Kota Gaza dan negara-negara tetangga akan mengambil langkah-langkah untuk mendukung para pengungsi. Israel terkena peningkatan risiko pembiayaan dan risiko pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang turun sekitar 2,5%, dari 3,2% menjadi 0,7% pada 2024, dengan level inflasi tetap di atas 4%.

Konflik terbuka juga telah menekan perekonomian Israel dari sektor pariwisata dan konsumsi swasta di mana juga ada kendala tambahan karena memburuknya hubungan bilateral, regional dan internasional tetap menjadi masalah utama negara ini. 

Jika kondisi geopolitik terus memburuk, kemungkinan ancaman resesi ekonomi di Israel bakal terjadi pada 2024, disebabkan oleh berkurangnya aktivitas ekonomi, kurangnya pekerja, potensi gangguan pada jaringan komputer dan listrik, tidak adanya penerimaan dari sektor pariwisata dan konsumsi swasta yang lebih rendah. 

Konflik di kawasan Jalur Gaza antara Hamas (Palestina) dan Israel berpotensi menyeret negara-negara lain – di antaranya Qatar, Suriah, Iran, Uni Emirat Arab, dan Mesir – untuk terlibat dengan segala risiko negatifnya bagi perekonomian kawasan Timur Tengah. Namun, pada akhirnya kabar baik berkembang, di mana Mesir dan negara-negara Arab tetangga akan terus mendukung gencatan senjata dan tetap menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh karena mereka fokus pada tantangan ekonomi domestik dan kelemahan keuangan. 

Baca juga: Inflasi Global 2024 Diramal Tetap Tinggi, Bos BI Wanti-Wanti Hal Ini

Dikabarkan negara-negara yang paling vokal (yakni Iran dan Suriah) diperkirakan tidak akan mendukung eskalasi lebih lanjut dalam konflik, namun lebih memilih pendekatan pragmatis dalam menghadapi kapasitas ekonomi dan militer domestik yang terbatas. Di luar kawasan Timur Tengah, juga ada kabar baik di mana negara-negara G7 akan terus mendukung upaya gencatan senjata, meskipun konflik tersebut dapat menarik perhatian dan dukungan militer mereka dari Ukraina. 

Uni Eropa dan AS terus bekerja untuk menciptakan koridor kemanusian yang efisien di Timur Tengah. Uni Eropa mendukung gencatan senjata dan pembentukan dua negara. Sementara, negara-negara G7 terus mendukung Ukraina, meskipun Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, telah menyuarakan kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah dapat mengalihkan perhatian dari perang di Ukraina. Suatu kekhawatiran yang masuk akal jika menilik data pencarian Google yang mengonfirmasi pergeseran fokus perhatian negara-negara G7.

Pandangan yang positif dan konstruktif itu memberikan ketenangan pada keajegan harga komoditas global dengan inflasi tetap terkendali, bahkan menunjukkan tanda-tanda pelandaian. Volatilitas yang terkait dengan konflik memiliki dampak terbatas pada biaya transportasi dan komoditas, dengan perkiraan kenaikan hanya 5%. 

Meskipun harga minyak mentah Brent meningkat moderat sekitar US$5 per barel segera setelah pecahnya konflik, namun kini harga minyak telah kembali menuju level normal berkisar US$80 per barel (8 November 2023). Hal ini terutama didorong oleh ekspektasi permintaan global yang lebih rendah. Meskipun mendukung Israel, pemerintah AS telah mengambil pendekatan hati-hati terhadap pasar minyak, bahkan mengurangi sanksi terhadap minyak mentah Venezuela. 

Proyeksi Perekonomian 2024

Pada pekan pertama Oktober lalu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) telah merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari sekitar 3% tahun ini lalu turun tipis menjadi 2,9% pada 2024 karena eskalasi risiko geopolitik terus berlanjut dengan pemulihan ekonomi Tiongkok yang lambat. IMF mengatakan bahwa India (dengan perkiraan pertumbuhan berkisar 6%) dan Tiongkok/China (dengan perkiraan pertumbuhan 5%) menyumbang separuh dari pertumbuhan ekonomi global pada 2023 dan 2024. 

Baca juga: Waspada! Sri Mulyani: Gejolak Global Bertubi-Tubi, Ekonomi Terus Melemah

IMF juga menegaskan bahwa kawasan Asia dan Pasifik tetap akan menjadi kawasan paling dinamis tahun ini dan tahun depan. Dalam laporan berjudul Regional Economic Outlook for Asia and Pacific, IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan di Asia Pasifik diperkirakan akan meningkat dari 3,9% pada 2022 menjadi 4,6% pada 2023. Staf IMF memperkirakan pertumbuhan Asia akan melambat menjadi 4,2% pada 2024 dan menjadi 3,9% dalam jangka menengah atau terendah dalam dua dekade terakhir kecuali untuk 2020. 

IMF pun merevisi ke atas estimasi pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,3% pada 2024, karena permintaan domestik yang tangguh dan arus masuk investasi yang kuat. Sementara itu, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan tumbuh 5% pada 2023 dan 4,2% pada 2024, masing-masing lebih rendah dari 5,2% dan 4,5%, yang diperkirakan pada April lalu. 

Di negara maju Asia, kondisi keuangan yang ketat akan menahan permintaan, sementara prospek ekspor akan tergantung pada pergerakan harga komoditas global (terutama di Australia dan Selandia Baru) dan siklus teknologi (utamanya di Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan). Di pasar negara berkembang Asia, kondisi keuangan yang relatif akomodatif akan membantu permintaan domestik meskipun ada pengetatan kebijakan moneter, permintaan eksternal dan investasi yang lamban yang masih menjadi tantangan. 

Prospek pertumbuhan ekonomi jangka pendek Tiongkok yang lebih lemah tersebut tentu akan membebani pertumbuhan ekonomi regional Asia. Untuk itu, kekuatan konsumsi domestik menjadi tumpuan bagi negara-negara berkembang Asia untuk tetap dapat memacu pertumbuhannya. Indonesia menjadi role model atau panutan untuk tetap mampu tumbuh stabil secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 5% dari 2022 dan 2023 ini karena tetap kuatnya permintaan domestik dengan tumpuan konsumsi rumah tangga yang tumbuh rata-rata sebesar 5% secara tahunan.

Di tengah pergolakan politik global akhir-akhir ini di Ukraina dan Jalur Gaza, posisi geografis yang strategis yang dimiliki Indonesia menjadikan negara ini relatif terisolasi dari gesekan geopolitik tersebut. Itulah sebabnya roda perekonomian tetap dapat digerakkan dengan optimal, ditandai dengan pertumbuhan kredit yang cukup baik (berkisar 8%) dan dana pihak ketiga yang juga cukup baik (berkisar 6%). Cadangan devisa juga terjaga cukup tinggi di posisi US$133,1 miliar yang mampu memenuhi kewajiban internasional dan impor selama 5,9 bulan atau di atas ambang batas yang tiga bulan.

Namun demikian, berbagai lembaga internasional (termasuk IMF dan Bank Dunia) melaporkan bahwa latar belakang ekonomi global tetap menantang bagi ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik, dengan bank sentral masing-masing masih condong mempertahankan kebijakan moneter ketat. Dengan turunnya harga komoditas global dari puncaknya pada 2022 telah mendukung disinflasi yang berlanjut sehingga memberikan ruang terbuka bagi bank-bank sentral untuk melandaikan suku bunga acuan. 

Baca juga: BI Perkirakan Ekonomi dan Inflasi Domestik Segini di 2024

Khusus untuk Tiongkok, inflasi Tiongkok tetap rendah dan jauh di bawah target, mencerminkan penurunan harga makanan dan bahan bakar yang mengindikasikan aktivitas ekonomi belum kuat. Kondisi ini berdampak pada ekonomi pasar negara berkembang Asia Tenggara (ASEAN) yang diperkirakan oleh IMF akan mengalami pertumbuhan 4,2% pada 2023 dan 4,6% pada 2024 – revisi turun 0,3 poin persentase terhadap perkiraan April silam. Penurunan pertumbuhan ekonomi mencerminkan permintaan eksternal yang lebih lemah, meskipun permintaan domestik relatif masih terjaga di tengah penerapan kebijakan moneter ketat.

Catatan Penutup

Yang perlu dicatat, eskalasi risiko geopolitk yang bergeser ke 2024 tetap harus dicermati. Potensi gejolak sektor keuangan di Timur Tengah tetap tinggi. Credit default swaps (CDS) Israel telah meningkat secara signifikan sejak serangan Hamas dan shekel (mata uang resmi Israel) kehilangan lebih dari 5% terhadap dolar AS sebelum Bank of Israel melakukan intervensi dengan menjual cadangan mata uang asing. 

Mesir juga sudah bergulat dengan kondisi ekonomi yang parah sebelum serangan Hamas dan sangat bergantung pada dukungan IMF, menjadi negara debitur terbesar kedua setelah Argentina yang menjadikannya sebagai “pasien” IMF. Bank sentralnya kemungkinan akan mendevaluasi mata uang lagi dalam beberapa bulan mendatang dan CDS-nya berada pada level sangat tinggi –meskipun tidak meningkat lebih lanjut. 

Pada 3 November, lembaga pemeringkat Fitch menurunkan peringkat mata uang asing Mesir satu tingkat menjadi B-, mengutip risiko penurunan terhadap sektor pariwisata dan stabilitas sosial karena konflik Hamas-Israel, di atas berbagai masalah ekonomi domestik. Maka, sikap hati-hati dan waspada menjadi jurus jitu para pengambil kebijakan di seluruh dunia – termasuk Indonesia – dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global 2024 karena rembetan risiko geopolitik yang bertahan. (*)

Related Posts

News Update

Top News