Poin Penting
- Perbanas memproyeksikan pertumbuhan kredit 2026 hanya 9–11 persen, tertahan oleh lemahnya permintaan dari dunia usaha dan konsumen, meski likuiditas longgar.
- LDR industri turun ke 84 persen, jauh di bawah batas regulasi, menunjukkan ruang ekspansi besar. Pemerintah dan BI sudah menggelontorkan injeksi likuiditas lebih dari Rp276 triliun
- CAR tinggi di 26 persen dan NPL terjaga di 2,2–2,4 persen, namun penarikan kredit masih lambat akibat undisbursed loan yang besar dan konsumsi masyarakat yang belum pulih.
Jakarta – Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) memproyeksikan pertumbuhan kredit industri perbankan kembali tertahan di level single digit pada 2026, meski pemerintah dan otoritas telah menggelontorkan berbagai kebijakan pro-growth dan injeksi likuiditas “jumbo” sepanjang 2025.
Ketua Umum Perbanas, Hery Gunardi menuturkan pihaknya memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2026 berada di rentang 9 persen hingga 11 persen, atau high single digit hingga low double digit.
“Harapannya, di 2026 pertumbuhan ekonomi akan lebih baik dibanding 2025. Kredit perbankan diperkirakan tumbuh 9 persen sampai 11 persen, sebagian lembaga memproyeksikan tetap tumbuh single digit tinggi,” ujar Hery, dalam Press Conference CEO Forum Economic Outlook 2026: Navigating Slower Demand for credits in a changing Economy, yang diselenggarakan Perbanas, di Ballroom Menara BRILiaN, Jakarta, Rabu, 10 Desember 2025.
Baca juga: Bank Mandiri Beberkan Alasan Kredit Masih Lesu Meski Likuiditas Membaik
Hery menambahkan, angka proyeksi ini disebabkan oleh masih lemahnya permintaan kredit baik dari dunia usaha dan konsumen, bukan dari sisi supply of credits (perbankan).
“Dari sisi perbankan, posisi likuiditas saat ini sangat baik. Loan to Deposit Ratio (LDR) terus turun. Regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mengatur batas bawah di sekitar 92 persen, dan saat ini industri berada di sekitar 84 persen, artinya perbankan punya ruang likuiditas yang sangat luas untuk ekspansi kredit,” tambahnya.
Sementara itu, berdasarkan Riset Office of Chief Economist (OCE) Perbanas, kredit perbankan turun signifikan dari puncaknya sebesar 13 persen pada April 2024 menjadi hanya 7,36 persen pada Oktober 2025.
Di sisi lain, sejak awal 2025 pemerintah telah menurunkan GWM, memotong suku bunga, serta menyuntikkan likuiditas mencapai Rp200 triliun, ditambah Rp76 triliun injeksi tambahan menjelang akhir tahun.
“Pemerintah dan BI sangat aktif menjalankan kebijakan pro-growth. BI menjalankan beberapa kebijakan yang memberikan relaksasi likuiditas, antara lain penurunan GWM, menjaga suku bunga secara stabil, dan sejak 2023 ada instrumen SRBI yang pada saat awal memberikan yield tinggi sehingga menyerap likuiditas. Namun dengan kondisi likuiditas yang semakin longgar, perbankan kini mampu menekan cost of fund lebih rendah dibanding 2024,” tuturnya.
Baca juga: Efek Dana Pemerintah di Himbara Tak Bisa Instan Dorong Kredit, Ini Penjelasan Ekonom
Di sisi lain, Hery mengungkapkan bahwa undisbursed loan masih tinggi. Banyak debitur yang sudah memperoleh kredit namun belum menarik dananya, baik karena faktor kehati-hatian maupun menunggu momentum ekspansi bisnis. Ditambah lagi, konsumsi masyarakat masih tertahan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi permodalan, industri perbankan sangat kuat. Per September 2025, CAR industri berada di sekitar 26 persen. Non Performing Loan atau NPL juga terjaga di kisaran 2,2 persen hingga 2,4 persen. Artinya kondisi perbankan cukup solid meski pertumbuhan masih moderat.
“Ke depan, dengan adanya kebijakan fiskal, monetary policy, serta konsistensi kebijakan pemerintah melalui APBN, kami berharap sektor riil bergerak lebih kuat. Ketika sektor riil bergerak, perbankan siap mendukung melalui pembiayaan,” pungkasnya. (*) Ayu Utami










