Merawat Kemanusiaan

Merawat Kemanusiaan

oleh Paul Sutaryono

KEMANUSIAAN seolah berada di awang-awang padahal ada di sekitar kita. Kemanusiaan bisa berbentuk kemiskinan, kekerasan terhadap anak dan anak kerdil atau tengkes (stunting) karena kurang gizi. Bagaimana mengatasinya? 

Masalah anak tengkes pernah mencuat di permukaan dalam 3 tahun terakhir ini. Tetapi kemudian tenggelam. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan ada sekitar 30,8% atau 7 juta anak balita mengalami stunting atau tercatat satu dari tiga anak balita bermasalah. Indonesia berada di ranking kelima di dunia. Mengapa stunting begitu penting untuk diatasi?

Stunting adalah masalah gizi kronis pada anak balita karena kurang mendapat asupa makan yang cukup dalam waktu yang lama atau karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak sehingga membuat tinggi anak usia 0-59 bulan di bawah mereka yang sehat. Gejala stunting bisa dilihat dengan jelas setelah anak berusia 2 tahun yaitu anak berbadan lebih pendek atau kerdil untuk anak seusianya.

Persoalannya bukan sekedar masalah fisik seperti tinggi badan dan pertumbuhan yang terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang berkurang serta prestasi sekolah yang buruk (hal 164).

Lantas, bagaimana mengatasinya? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa di Brasil, kunci sukses melawan malnutrisi adalah peningkatan daya beli keluarga melalui perbaikan upah minimum dan program bantuan tunai langsung (BLT), peningkatan pendidikan dan literasi perempuan, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak serta program air bersih dan sanitasi.

Di Peru, program melawan stunting didukung oleh adanya koordinasi dan sinergi antarkementerian dan pelaksanaan program BLT bersyarat yang dipusatkan pada daerah yang termiskin untuk meningkatkan pendapatan dan pendidikan keluarga. Di India, pemerintah memprioritaskan kampanye dan advokasi pentingnya memastikan kesehatan anak di 100 hari pertama, mengembangkan kebijakan yang berdasarkan bukti-bukti ilmiah. 

Bagaimana di Indonesia? Pada 2017, Kantor Wakil Presiden meluncurkan dokumen National Strategy to Accelerate Stunting Prevention. Strategi yang ambisius dengan anggaran US$ 14,6 miliar yang akan memberi manfaat kepada lebih dari 48 juta ibu hamil dan anak-anak di bawah 2 tahun dalam 5 tahun mendatang. Investasi itu diharapkan memperbaiki pelayanan dasar kesehatan, air bersih, sanitasi dan pendidikan yang berkualitas.

Jika berhasil, diperkirakan setiap US$ 1 investasi ini akan memberikan manfaat ekonomi US$ 48. Artinya, dana investasi itu menghasilkan dampak ekonomi dan kesejahteraan bagi bangsa. Apa tantangannya?

Pelaksanaan itu membutuhkan disiplin dan monitoring dan evaluasi dan kerjasama antarlembaga terutama antara pusat dan daerah. Sayangnya, daerah bisa memiliki prioritas yang berbeda sehingga koordinasi dan sinergi sulit dilakukan secara nasional. Kemanusiaan seringkali tersekat-sekat karena menipisnya penghormatan pada keberagaman. Bahkan, kemanusiaan terancam terpecah-pecah karena politisasi identitas dan atas nama agama. Akhirnya kemanusiaan bisa menjadi proyek untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Sebagai pekerja kemanusiaan selama 30 tahun di lembaga kemanusiaan World Vision (WV), Trihadi Saptoadi penulis buku Langkah-Langkah Kemanusiaan di Tengah Krisis ini menegaskan bahwa sikap menerima pluralisme dalam arti menghormati realitas perbedaan adalah nilai dasar bagi pekerja kemanusiaan. Hal itu lebih ditegaskan dalam Kata Pengantar oleh Maria Hartiningsih mantan wartawan senior Kompas, Itulah yang membuatnya mampu tegak melihat kejernihan di antara karut-marut persoalan yang membutuhkan kekuatan moral kekerabatan, tanpa pamrih, simpati dan empati kepada sesama manusia tanpa sekat-sekat yang diciptakan kultur dan struktur.

Melalui buku ini, Trihadi mengantar kita untuk memahami tugas kemanusiaan yang sarat onak duri dalam membela liyan. Trihadi pun membuka mata hati kita akan kepedulian pekerja kemanusiaan dalam membantu korban bencana alam seperti tsunami di Aceh, gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Juga ketika mereka mendidik penghuni lokalisasi Dolly, Surabaya dan Sentani, Papua tentang bahaya virus HIV/AIDS.

Tugas kemanusiaan itu membutuhkan donasi. Tetapi donasi dapat menciptakan ketergantungan dan belum tentu memberikan dampak sosial positif dan manfaat bagi individu dan keluarganya. Bagaimana solusinya?

Jimmy Nadapdap pekerja kemanusiaan WV Filipina menyatakan ada 3 hal yang perlu ditanyakan. Pertama, apakan bantuan sampai dan diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan dan terkena dampak bencana. Kedua, apakah bantuan yang diberikan benar-benar menjawab dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, apakan bantuan diberikan dengan cara yang menghormati dan menjaga harga diri masyarakat yang menerima bantuan. Butir ketiga itulah yang amat penting untuk diperhatikan dalam memberikan bantuan.

Kiat yang disarankan adalah mendaftar semua korban dan membagi kupon dengan catatan jumlah bantuan yang akan diterima dan kapan bisa diambil di lokasi distribusi. Alhasil, masyarakat tetap bisa melakukan aktivitas tanpa membuang waktu untuk antre lama yang melelahkan. Kiat itu telah dilakukan dalam tanggap darurat Typhoon Haiyan di Filipna.

Itulah tantangan sejati. Pengalaman Trihadi dapat menjadi inspirasi dan pembelajaran luar biasa bagi kita. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca siapa pun! (*)

@@@

Data Buku

Judul: Langkah-Langkah Kemanusiaan di Tengah Krisis

Penulis: Trihadi Saptoadi

Penerbit: PT Indeks, Cetakan ke-1, Jakarta, 2019

Percetakan: PT Macanan Jaya Cemerlang, Jakarta

Ukuran: 294 halaman, 14 x 21 cm

ISBN: 978-979-062-675-1

Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, pengamat perbankan dan mantan Assistant Vice President di salah satu bank BUMN.

Related Posts

News Update

Top News