Oleh Rio Christiawan, Associate Professor dan Pakar Carbon Trading Universitas Prasetiya Mulya
BURSA KARBON di Indonesia resmi memiliki payung hukum setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Secara spesifik bursa karbon disebut dalam Pasal 23 aturan tentang otoritas jasa keuangan (OJK) dan instrumen keuangan dalam UU PPSK yang menggunakan model omnibus law itu. Dengan adanya landasan hukum itu maka saat ini pemerintah perlu segera mempersiapkan dan merealisasikan bursa karbon.
Urgensi untuk segera mempersiapkan dan merealisasikan bursa karbon itu adalah karena pada 2030 negara-negara peserta konferensi perubahan iklim dunia (COP) yang berjumlah 196 negara harus mencapai target pengurangan emisinya. Sesuai hasil pencapaian pengurangan emisi tiap negara pada COP 26 di Glasgow pada 2021 dan COP pada 2022 di Mesir maka diperkirakan pada 2030 banyak negara yang masih belum mampu memenuhi kewajiban pemenuhan pengurangan emisi nasional (nationally determined contribution /NDC) yang menjadi target masing masing negara itu.
Persetujuan Paris (COP) yang bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities), termasuk dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi COP melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nation Framework Convention On Climate Change.
Dengan fakta bahwa Indonesia memiliki luasan hutan terluas ketiga di dunia dan Indonesia dalam COP hanya menargetkan pengurangan emisi karbon setara dengan 835 juta ton CO2 maka selain porsi NDC Indonesia yang logikanya sudah hampir pasti dapat dipenuhi juga di samping itu terdapat potensi ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia, yakni 125,9 juta hektar yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.
Sementara mengacu pada data KLHK per 2022, luas hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di dunia, yakni 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton. Dari data itu, maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan asumsi harga US$5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai US$565,9 miliar.
Pentingnya Bursa
Dengan melihat potensi ekonomi yang sangat besar maka setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres NEK) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 (Permen LHK) Tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon. Lahirnya Permen LHK tersebut dalam perspektif economic analysis of law merupakan hal yang positif guna memberikan stimulus bagi perdagangan karbon khususnya bagi pihak swasta maupun pemerintah itu sendiri demikian juga merupakan stimulus bagi perdagangan karbon baik dalam pasar mandatory maupun voluntary.
Dengan demikian maka pihak yang telah mendapatkan PBPH (Perizinan berusaha penguasaan hutan) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon dapat memperkirakan besaran volume karbon yang akan diperdagangkan di pasar voluntary. Pasal 7 Permen LHK 21/2022 telah memberi batasan yang jelas mengenai volume karbon yang dapat diperdagangkan beserta besaran bagi NDC Indonesia dan cadangannya. Demikian juga Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 21/2022 juga memberikan petunjuk yang jelas bagi penyisihan unit karbon bagi pencapaian NDC terkait komitmen NDC Indonesia pada 2030.
Dengan diterbitkannya Permen LHK 21/2022 maka menjadi jelas bahwa praktik perdagangan karbon dapat segera direalisasikan di 2023. Artinya pasca terbitnya aturan Permen LHK 21/2022 khususnya pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 maka perusahaan telah dapat memperhitungkan jumlah volume perdagangan karbonnya beserta nilai perdagangannya sehingga dalam hal ini lahirnya aturan bursa karbon melalui UU P2SK dipandang sebagai momentum yang tepat untuk segera direalisasikan.
Bursa karbon yang akan dibentuk setidaknya memiliki tiga tantangan, pertama adalah mekanisme penetapan harga acuan unit karbon yang akan diperdagangkan. Saat ini harga acuan dunia untuk karbon menggunakan index harga OPIS atau NGEO, penetapan index harga bursa karbon Indonesia yang tepat dan kompetitif penting karena salah satu dari esensi Perpres NEK adalah penetapan harga acuan (carbon pricing). Jika karbon ditetapkan sebagai komoditi yang diperdagangkan dalam bursa maka penting juga untuk melibatkan BAPEBTI untuk penyusunan harga. Penetapan harga yang akurat menjadi penting, mengingat harga bursa karbon akan menjadi acuan bagi perdagangan karbon non bursa (baik pasar mandatory dan pasar voluntary).
Tantangan kedua adalah mempercepat perizinan PBPH di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon sehingga ketika bursa karbon dibuka nantinya akan lebih didominasi oleh perdagangan karbon Indonesia yang dikelola baik oleh pemerintah maupun swasta pemegang PBPH dengan buyer domestic maupun Indonesia. Sebaliknya jika proses PBPH, registrasi dan otorisasi ‘berbelit-belit’ maka dikhawatirkan bursa karbon nantinya akan sepi perdagangan atau didominasi perusahaan asing yang menjual karbon yang bukan berasal dari Indonesia. Jika hal ini terjadi maka bursa karbon di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai buyer atau sebagai broker/ trader, bukan sebagai penjual karbon secara langsung melalui mekanisme bursa.
Tantangan Ketiga adalah segera menyelesaikan pembuatan aturan turunan dan aturan teknis mengenai bursa karbon di Indonesia, mengingat perdagangan karbon melalui bursa ini melibatkan berbagai otorisasi misalnya KLHK berkaitan dengan otorisasi perdagangan karbon sebagaimana dijelaskan dalam Permen LHK 21/2022, kemudian mengingat bursa karbon disebut dalam UU P2SK maka perlu aturan teknis OJK dan BAPEBTI dan juga perlu regulasi turunan yang jelas mengenai institusi yang berhak atas pengawasan dan institusi yang berhak menyelenggarakan perdagangan karbon itu sendiri. Saat ini di Indonesia terdapat dua bursa yakni BEI (IDX) dan bursa berjangka komoditi Indonesia (ICDX). (*)