Karnoto Mohamad
PARA direksi perusahaan pelat merah harus selalu siap mengemas barang-barangnya yang ada di ruang kerjanya. Itu biasa mereka lakukan begitu ada perintah dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham baik tahunan maupun luar biasa (RUPS atau RUPSLB). Menjadi direksi BUMN memang tidak pasti, terlebih lagi dalam lima tahun terakhir. Pergantian atau rotasi di perusahaan BUMN bisa dilakukan tanpa selalu mempertimbangkan kinerja direksi bagus atau tidak. Lagi-lagi, kementerian BUMN memerintahkan sejumlah perusahaan BUMN untuk menggelar RUPSLB pada minggu ketiga sampai akhir bulan Agustus. Bagi bank BUMN ini adalah RUPS yang ketiga sejak Januari 2019. Ada agenda pergantian pengurus, seperti dikonfirmasi pihak kementerian BUMN. Yang menjadi pertanyaan, apa tujuan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mengganti direksi?
Kementerian BUMN menepis dugaan adanya motif politik di balik agenda perubahan pengurus. Alasannya lebih untuk mengoptimalkan kinerja. Alasan tersebut mengkonfirmasi adanya masalah yang ada di sejumlah perusahaan BUMN seperti Jiwasraya, Pertamina, Krakatau Steel, dan Garuda Indonesia. Namun empat bank BUMN yang notabene kinerjanya moncer ternyata masuk dalam daftar untuk diadakan RUPSLB. Bahkan, kementerian BUMN sudah meminta data profil dan pencapaian semua direksi bank BUMN.
Kementerian BUMN yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham memang memiliki kewenangan untuk merombak direksi. Namun, apa yang akan dilakukan kementerian BUMN dilihat market secara tidak positif. Terbukti, harga saham bank BUMN menurun begitu ada pemberitaan di media massa mengenai RUPSLB yang salah satu agendanya mengganti pengurus. Ambil contoh nilai saham BRI yang menembus rekor baru Rp4.560 per saham pada 15/7/19, namun beberapa hari kemudian menurun karena ramainya pemberitaan mengenai RUPSLB.
Pasar melihat bahwa bank-bank BUMN memiliki kinerja fundamental yang sangat sehat dan menjadi lokomotif pertumbuhan industri perbankan di tanah air. Selain mampu menjalankan perannya sebagai agen pembangunan, chief executive officer (CEO) bank-bank BUMN sedang sibuk memimpin transformasi untuk mempertahankan pertumbuhan dan merealisasikan visinya. Namun, dugaan adanya motif politik di balik rencana pergantian pengurus diintepretasi pasar itu akan menganggu program-program kerja dan proses transformasi yang ada di bank BUMN.
Di perusahaan yang kinerjanya sehat dan sedang melaksanakan transformasi, justru pemegang saham seharusnya memberi trust dan otoritas yang lebih tinggi kepada top leader-nya. Sama halnya dalam kepemimpinan politik, ketika presiden atau kepala pemerintahan memiliki program-program pembangunan yang jelas untuk memperbaiki perekonomian nasional, maka dibutuhkan trust dari berbagai elemen masyarakat agar pemerintah bisa merealisasikan program-programnya secara efektif, bukan terus diganggu secara politik.
Gonta-ganti direksi di perusahaan BUMN yang berkinerja sehat dan sedang melakukan transformasi tidak diperlukan, apalagi menempatkan orang dari eksternal yang belum tentu lebih mengerti. Kondisi perusahaan yang sedang tumbuh berbeda dengan perusahaan yang merugi, dimana itu termasuk dalam kondisi krisis dan perlu segera diatasi, baik dalam perubahan manajemen maupun strategi usahanya. Kalau apa yang direksi lakukan sudah searah dengan tujuan BUMN dan pencapaian kinerjanya sesuai kontrak kerjanya, maka pemegang saham tinggal mengawasi.
Tentunya, akan lebih bagus lagi jika pemerintah menempatkan komisaris yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pengalaman dan keahlian di satu bidang tertentu melebihi kemampuan direksinya. Penempatan politisi di jajaran komisaris di perusahaan BUMN yang sudah terbuka bisa dinilai negatif oleh pasar.
Selain tidak memiliki keahlian khusus yang diperlukan perusahaan, figur politisi di bangku komisaris acapkali memiliki keinginan yang jika tidak dipenuhi atau dilayani oleh direksi maka mereka bisa ikut “berpolitik” menggalang opini untuk mendorong pergantian direksi.
Empat bank BUMN sudah berstatus terbuka dan figur-figur yang duduk di jajaran direksi maupun komisaris dinilai oleh market. Karena perusahaan BUMN go public harus berkompetisi di pasar, para direksinya pun seyogyanya lebih sering berada di market, bukan mengikuti kegiatan-kegiatan birokrasi pemegang saham mayoritas terlebih lagi itu yang hanya bersifat seremonial. Ketika BUMN tidak lagi disubsidi dan diproteksi seperti pada era sentralistik, maka pasar menjadi tempat yang menentukan arah hidupnya BUMN. Karena itu, pemegang saham harus mendukung pengelolaan BUMN yang sangat professional dan mengikuti dinamika pasar yang kian kompetitif dan mengglobal.
Perusahaan public tidak seharusnya dipaksa untuk menjalankan bisnis hanya untuk memenuhi kepentingan pemegang saham mayoritas saja, yang akibatnya dipandang negatif oleh market karena khawatir diminta untuk menjalankan bisnis yang tidak proper dan tidak feasible.
Jangan sampai agen pembangunan itu hanya menjadi bahasa halus untuk melindungi bentuk-bentuk intervensi. Tanpa intervensi birokrasi, BUMN sesungguhnya sudah menjalankan peran agen pembangunan melalui pembayaran deviden dan pajak, penyerapan tenaga kerja, menghidupkan supply chain, dan khusus untuk bidang perbankan memberikan kredit kepada masyarakat di pelosok yang tak terjangkau oleh bank swasta. Meskipun untuk tujuan pembangunan, intervensi ini tidak ada dasarnya dalam praktek di public company. Di perusahaan publik, pemegang saham minoritas seharusnya diperlakukan sama dengan pemegang saham mayoritas.
Bongkar pasar direksi terlebih lagi CEO atas keinginan pemegang saham mayoritas di perusahaan BUMN yang sedang tumbuh cenderung tidak menghasilkan market trust dan tidak memberikan motivasi di internal organisasi, sehingga produktivitasnya tidak berjalan optimal. Bagi para profesional yang bekerja di BUMN pun merasa bekerja di perusahaan pelat merah menjadi tidak pasti. Padahal, perlu diketahui bahwa trust dan otoritas yang dimiliki sangat penting untuk memotivasi para profesional, terlebih lagi level CEO. Motivasi tertinggi bagi seorang CEO adalah trust yang diberikan kepadanya untuk membawa ke mana perusahaan sesuai dengan visi dia. Apalagi bank-bank BUMN saat ini sedang melakukan transformasi dan agar berjalan sustainable dibutuhkan waktu minimal lima sampai delapan tahun bagi seorang leader untuk memimpin transformasi di perusahaan. Adalah wajar jika publik kemudian bertanya-tanya mengapa bank bank BUMN harus melakukan RUPS sampai tiga kali dalam tujuh bulan terakhir dengan agenda merombak direksi meski bank-banknya berkinerja kinclong? Apakah ini juga menjadi agenda penting Presiden Jokowi pada periode kepemimpinan kedua? Jawabannya ada di Kementerian BUMN. (*)
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Infobank