Oleh: Mikail Mo, Penulis dari The Asian Institute for Economic and Capital Market
MESKI sama-sama tidak lulus uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test), direksi dari Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mendapat perlakuan yang berbeda. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk BNI terkait dengan perombakan direksi, sementara untuk BRI memberhentikan sementara direksi yang tak lulus fit & proper test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Padahal, sebenarnya hal itu bisa diselesaikan dengan dua cara, yaitu mengganti dengan RUPSLB atau mengajukan kembali tes ke OJK, jika ketidaklulusannya hanya menyangkut masalah kemampuan. Namun, yang dilakukan justru berbeda. Inilah yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Ada “bisik-bisik”, jika dilakukan RUPSLB di BRI, bisa saja RUPSLB-nya “masuk angin” seperti di BNI yang semula hanya ingin mengganti posisi Anggoro E. Cahyo yang tidak lulus uji kelayakan, tapi yang terjadi justru malah merombak direksi secara besar-besaran, meski direksi baru berumur tujuh bulan. Apakah tidak dilakukannya RUPSLB di BRI ini merupakan jawaban agar tidak bernasib seperti direksi BNI yang diganti total?
Tulisan ini tidak bertendensi – soal perombakan direksi. Namun, bagaimana sebaiknya jika ada direksi bank BUMN yang tidak lulus fit & proper test.
Ada baiknya melihat beberapa fakta yang sudah ditulis media sebagai berikut. Ada yang berpendapat, BRI tidak mematuhi peraturan SE OJK 39/SEOJK.03/2016 dan Anggaran Dasar (AD) BRI Nomor 5 Tahun 2018, pasal 11, ayat 5.
Simak! SE OJK 39/2016 pada intinya, bank wajib menyelenggarakan RUPS untuk membatalkan pengangkatan calon direktur yang tidak disetujui oleh OJK paling lama tiga bulan sejak tanggal ditetapkan tidak disetujui. AD BRI Nomor 5 Tahun 2018, pasal 11, ayat 5, pada intinya juga menyebut hal yang sama bahwa perseroan wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan pergantian anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan.
Seperti dikutip dari media, OJK tidak menyetujui pengangkatan Wisto Prihadi sebagai direktur kepatuhan BRI pada 14 Agustus 2020, dan surat pemberitahuan disampaikan kepada Direktur Utama BRI pada 19 Agustus 2020.
Nah, jika sesuai dengan surat keputusan OJK, BRI seharusnya wajib melakukan RUPS paling lama tiga bulan sejak tanggal ditetapkan, atau paling lama 14 November 2020. Faktanya, BRI belum juga melakukan RUPS. Bahkan, menurut penelusuran penulis, BRI tidak pernah mengumumkan penolakan OJK terhadap Direktur Kepatuhan BRI, padahal perusahaan terbuka harus memberitahukan ke PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bagian dari transparansi.
Namun, hingga satu hari sebelum batas waktu (tenggat) yang diminta oleh peraturan OJK untuk melakukan RUPS (13 November 2020), BRI baru memberikan surat pemberitahuan ke publik lewat PT BEI tentang pemberhentian sementara direktur kepatuhan BRI.
Ada yang berpendapat, pemberhentian Wisto Prihadi, calon direktur kepatuhan, tidak sesuai dengan peraturan OJK (SE OJK 39/2016). Pemberhentian semestinya lewat RUPS yang harusnya dilaksanakan paling lambat 14 November 2020.
Pemberhentian sementara juga tidak pas jika menggunakan POJK No. 33/POJK.02/2014 tanggal 8 Desember 2014. Ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota direksi perusahaan emiten yang sudah mendapatkan persetujuan regulator. Sedangkan Wisto Prihadi statusnya baru calon direksi (tidak lulus uji kepatutan) atau belum definitif. Jadi, aturan yang berlaku seharusnya SE OJK 39 Tahun 2016 – pemberhentian hanya bisa dilakukan lewat RUPS.
Deputi Komisioner OJK, Anto Prabowo, buka suara soal polemik pemberhentian Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Wisto Prihadi, yang dilakukan tanpa mekanisme RUPS.
Anto Prabowo menjelaskan, BRI telah menjalankan proses pemberhentian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan perundangan yang berlaku. Anto mengutip pasal 10 dan pasal 11 POJK 33/2020 tentang Direksi dan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik yang mengatur soal pemberhentian sementara.
Pernyataan Anto Prabowo tidak keliru, jika Wisto Prihadi sudah resmi jadi direksi yang sudah lulus uji kepatutan oleh OJK. Seperti surat OJK ke Dirut BRI yang menyatakan Wisto Prihadi tidak lulus uji kepatutan. Jadi, belum resmi menjabat sebagai direksi, yang tidak seharusnya menggunakan POJK 33/POJK/2014. Lebih tepatnya menggunakan SE POJK 39/2016.
Sejalan dengan itu, ada surat komisaris BRI Nomor SR.37-KOM/11/2020 tanggal 11 November 2020 yang menyebutkan bahwa pemberhentian Wisto Prihadi secara definitif akan dilakukan pada RUPS terdekat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut penulis, surat tersebut terasa aneh dan tidak tepat. Harusnya pemberhentian Wisto Prihadi lewat RUPS BRI paling lambat dilakukan pada 14 November 2020. Apa bedanya melakukan RUPS terdekat dengan RUPS 14 November 2020? Padahal, BNI melakukannya sesuai dengan ketentuan, tapi kenapa BRI yang bulan ini genap berusia 125 tahun tidak melaksanakan RUPS?
Apakah jika dilakukan RUPSLB pada 14 November 2020 RUPSLB-nya akan masuk angin seperti BNI? Entahlah. Apalagi RUPSLB belum dijadwalkan. Lalu, bahwa RUPSLB akan dilakukan dalam waktu dekat, kapan? Bisa juga bersamaan dengan RUPST pada Maret 2021, atau Januari 2021? Memang disayangkan, BRI yang saat ini loan at risk (LAR)-nya sebesar 29% tidak punya direktur kepatuhan.
Sungguh pelajaran menarik dari Kementerian BUMN. Sama kasusnya, yaitu direksinya sama-sama tidak lulus fit & proper test, tapi beda perlakuannya. BNI melaksanakan RUPSLB, sedangkan BRI melakukan pemberhentian sementara. Aneh. Dan, tidak ada yang tahu jawabannya. Jadi ingat lirik lagu Ebiet G. Ade, “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Kabar terakhir, menurut Kartika Wiryoatmodjo, Wamen BUMN, mengatakan, BRI akan menggelar RUPSLB tanggal 21 Januari 2021. Agendanya pergantian pengurus dan aksi korporasi dengan holdingisasi mikro dengan Pegadaian dan PNM. Padahal, Kementerian BUMN bisa memaksa BRI untuk melalukan RUPSLB di November 2020 seperti yang dilakukan Bank BNI. (*)