Menyimak Diferensiasi Perekonomian Global Pasca Covid-19

Menyimak Diferensiasi Perekonomian Global Pasca Covid-19

Oleh Ryan Kiryanto

SELAMA dekade terakhir, dunia telah beralih dari era pasca perang dingin ke “persaingan kekuatan besar”, yakni dunia persaingan yang semakin intensif antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta antara Rusia dan Barat. Ke depan, kebuntuan politik, ekonomi, dan militer antara Barat dan Rusia diperkirakan akan bertahan hingga 2023, sementara ketegangan antara AS dan Tiongkok atas akses ke teknologi strategis, serta ancaman intervensi militer Tiongkok di Taiwan tidak mungkin mereda. 

Selain ketidakpastian geopolitik, kondisi ekonomi dan keuangan yang lebih ketat serta inflasi yang tinggi akan terus menekan pertumbuhan global pada 2022 dan 2023. Bank-bank sentral di negara-negara ekonomi utama akan tetap fokus pada pelandaian inflasi. Ketika ekonomi mulai melambat menjurus resesi dibarengi dengan munculnya kerapuhan keuangan, seruan untuk beralih dari kebijakan moneter (hawkish policy) ketat ke kebijakan moneter yang lebih longgar (dovish policy) pasti akan menjadi lebih keras. Dalam konteks ini, aktivitas ekonomi di negara maju akan tetap di bawah standar pada 2023 nanti.

Prospek ekonomi global menuju 2023 telah memburuk, karena perang di Ukraina terus membebani perdagangan, terutama di Eropa. Pada saat yang sama, pasar dunia menunggu pembukaan kembali ekonomi Tiongkok setelah berbulan-bulan penerapan kebijakan penguncian total (lockdown) akibat pandemi Covid-19. 

Di AS, tanda-tanda pengetatan pasar kerja dan perlambatan aktivitas bisnis memicu kekhawatiran resesi. Secara global, inflasi naik tajam, sementara aktivitas bisnis, terutama di zona Euro dan Inggris, terus menyusut. Stagnasi ekonomi disertai lonjakan inflasi tinggi menciptakan stagflasi. Lebih lanjut, resesi ekonomi disertai inflasi tinggi menciptakan reflasi.

Institute of International Finance (IIF) memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi global hanya 1,2% pada 2023, tingkat yang setara dengan 2009, ketika dunia baru memulai kemunculannya dari krisis keuangan global 2008. Sementara, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setuju dengan perkiraan pesimistis tersebut. Menurut OECD, saat ini negara-negara di dunia sedang menghadapi prospek ekonomi yang sangat sulit. Skenario utamanya bukanlah resesi global, melainkan perlambatan pertumbuhan yang signifikan untuk ekonomi dunia pada 2023, serta inflasi yang masih tinggi, meskipun melandai, di banyak negara. 

Sinyal pelemahan ekonomi sudah terlihat. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil global melambat dengan cepat, dari 5% pada kuartal ketiga 2021 menjadi 3,3% pada kuartal ketiga 2022. Karena angin sakal terhadap pertumbuhan ekonomi global semakin meningkat, OECD memperkirakan pertumbuhan PDB global akan moderat menjadi sekitar 2% pada kuartal keempat 2022 dan seterusnya. 

Sinyal lainnya adalah Conference Board Global Leading Economic Index telah mengalami kontraksi selama beberapa bulan terakhir, yang menunjukkan meningkatnya risiko penurunan. Pertumbuhan PDB global 2022 diperkirakan sebesar 3,2% pada 2022 dan 2,1% pada 2023, perkiraan yang lebih tinggi ketimbang ramalan IIF. 

Pertumbuhan global sebesar 2,1% tidak secara resmi merupakan resesi global, tetapi jika terealisasi akan menjadi level pertumbuhan terlemah sejak 2001 (di luar resesi global 2009 dan 2020). Lalu, pada 2024 ekonomi global kemungkinan akan mengalami kebangkitan sederhana hingga pertumbuhan 2,7% karena guncangan terkait pandemi, inflasi, dan pengetatan moneter memudar. Namun, tingkat pertumbuhan pada 2024 dan seterusnya kemungkinan berada di bawah tren prapandemi.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan masih melambat, dengan risiko resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk AS dan Eropa. Perlambatan ekonomi global tersebut dipengaruhi oleh fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi akibat ketegangan politik yang berlanjut, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju. 

Sementara itu, tekanan inflasi masih tinggi, yang mendorong kebijakan moneter global tetap ketat. The Fed diperkirakan akan menaikkan Fed Funds Rate (FFR) hingga awal 2023 dengan siklus pengetatan kebijakan moneter yang panjang, meskipun dengan besaran lebih rendah. Perkembangan ini mendorong tetap kuatnya dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian berdampak pada belum kuatnya aliran modal masuk ke negara berkembang.

Outlook Perekonomian AS

Di AS, upaya The Fed untuk memerangi inflasi tinggi (9,1% di Juni dan 7,7% di Oktober) telah menjadi faktor dominan dalam berbagai analisis kondisi ekonomi saat ini dan masa depan. AS telah mengalami level inflasi tertinggi dalam 40 tahun, yang memaksa The Fed menaikkan FFR secara agresif, kini di level 4,25%-4,5%. Tujuan The Fed adalah untuk mengendalikan inflasi tanpa menjerumuskan ekonomi ke dalam resesi yang merusak. Namun, disadari atau tidak, kebijakan moneter ketat itu justru mengarahkan ekonomi AS ke lembah resesi.

Buktinya aktivitas bisnis di AS mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut karena perusahaan bereaksi terhadap penurunan permintaan konsumen. Meskipun ekonomi terus menambah pekerjaan dalam beberapa bulan terakhir, namun aplikasi untuk tunjangan pengangguran meningkat, menunjukkan potensi pelemahan di pasar tenaga kerja. 

Terhadap kondisi ini, The Fed kemungkinan besar masih akan terus menaikkan suku bunga acuan meskipun berdampak pada kenaikan tingkat pengangguran berkisar 4,5%-5,0% dibandingkan saat ini yang 3,7%. Karena fokus The Fed  pada 2022-2023 adalah memerangi inflasi, maka The Fed diharapkan mulai memangkas suku bunga acuan pada 2024, dengan asumsi inflasi akan turun drastis pada saat itu. 

Pada pertemuan pengambil kebijakan The Fed November lalu muncul risalah yang mengungkap pandangan pesimistis tentang ekonomi AS di tahun mendatang. Di antaranya adalah bahwa The Fed memandang kemungkinan ekonomi akan memasuki resesi sekitar tahun depan hampir sama mungkinnya dengan baseline. Untuk menekan ancaman resesi, The Fed menaikkan FFR hanya 50 bps pada 14 Desember lalu, atau di bawah rata-rata kenaikan sebelumnya yang sebesar 75 bps.

Pada akhirnya muncul perkiraan terkini, bahwa AS akan mengalami resesi singkat dan relatif ringan, kemungkinan dimulai sekitar pergantian 2022 ke 2023 dan diperpanjang hingga kuartal ketiga 2023. Resesi ekonomi AS mencerminkan pengetatan kebijakan moneter The Fed yang agresif untuk mengembalikan inflasi ke target yang 2%. 

Kabar baik terkini, ekonomi AS tumbuh 3,2% pada kuartal ketiga tahun ini, merupakan revisi data lebih lanjut yang mencerminkan pengeluaran konsumen dan investasi yang lebih kuat dari perkiraan sebelumnya. Ekonomi terbesar di dunia itu tumbuh untuk pertama kalinya tahun ini pada periode Juli hingga September, setelah dua kuartal mengalami kontraksi yang memperburuk kekhawatiran resesi.

Outlook Perekonomian Eropa

Ketika perekonomian AS mampu tumbuh positif di kuartal ketiga 2022 lalu, negara-negara Eropa justru kemungkinan memasuki resesi pada kuartal keempat 2022 dan akan tetap demikian hingga awal 2023. Ekonomi Eropa yang diperkirakan akan mengalami resesi termasuk ekonomi besar seperti Italia, Jerman, dan Inggris, serta ekonomi yang lebih kecil seperti Republik Ceko, Denmark, Hongaria, Polandia, Rumania, Swedia, dan Swiss. 

Setelah ekonomi tumbuh berkisar 3,5% pada 2022, pertumbuhan PDB riil Eropa diperkirakan melambat menjadi 0,2%-0,5% untuk 2023 dan meningkat lagi pada 2024 dengan pertumbuhan berkisar 1,1%. Merosotnya ekonomi Eropa di 2023 merupakan imbas kenaikan berlanjut suku bunga acuan sebesar 75 bps menjadi 1,5% oleh Bank Sentral Eropa (ECB). Ini menjadi level tertinggi sejak 2009 sekaligus merupakan kenaikan ketiga secara berturut-turut pada tahun ini untuk melandaikan inflasi.  

Kenaikan suku bunga acuan yang tajam itu menghapus stimulus yang diberikan ECB selama bertahun-tahun untuk mendorong perekonomian di zona Euro ini. Sebelum kenaikan suku bunga acuan pertama pada Juli lalu, ECB telah mempertahankan suku bunga negatif sejak 2014. Kenaikan perdana pada Juli itu pun dinilai terlambat karena inflasi sudah telanjur melejit pascaembargo pasokan gas ke Eropa oleh Rusia yang memaksa kenaikan harga energi secara ekstrem. Christine Lagarde, Presiden ECB, mengatakan bahwa ECB “belum selesai” menaikkan suku bunga dan bahwa inflasi yang tinggi “masih mencari cara untuk pergi”.  

Bank of England (BoE) diperkirakan segera mengikuti langkah ECB, dengan kenaikan suku bunga lebih lanjut hingga 2023. Bauran krisis ekonomi dan krisis politik di Inggris membuat negara ini terpuruk lebih dalam dari yang diperkirakan sebelumnya di antara negara-negara Eropa. 

Confederation of Business Industry (CBI) pada awal Desember 2022 lalu memperingatkan pertumbuhan ekonomi Inggris bisa terperosok 0,4% pada tahun depan menyusul inflasi di Inggris yang masih tinggi. Perusahaan-perusahaan pun disarankan untuk menahan investasinya.

Laporan CBI menyebut Inggris sudah jatuh ke lubang resesi yang pendek dan dangkal yang akan membuat investasi di sektor bisnis turun 9% dan produktivitas sektor riil anjlok 2% di bawah periode prapandemi COVID-19. Kondisi ini diramalkan akan berakhir pada 2024. Ironisnya, inflasi di Inggris pada Oktober 2022 lalu menembus rekor tertinggi dalam 41 tahun, yakni 11,1%. Pada tahun depan, inflasi Inggris diperkirakan 6,7% dan melandai ke 2,9% pada 2024.

Alhasil, Inggris akan mengalami resesi terburuk kedua di antara negara-negara Eropa setelah Jerman. Inggris berada dalam stagflasi dengan meroketnya inflasi, pertumbuhan ekonomi negatif, anjloknya produktivitas dan investasi bisnis. Kalangan korporasi tidak percaya diri menghadapi tantangan ke depan sehingga menyebabkan mereka tidak mengucurkan atau menunda investasi pada 2023. 

Di antara negara-negara G7, Inggris adalah satu-satunya negara dengan output ekonomi belum kembali ke level prapandemi. OECD memproyeksikan ekonomi Inggris akan tumbuh hanya 0,3% pada 2023 dan 0,2% pada 2024.

Outlook Perekonomian Asia

Saat ini terindikasi investor global telah mengubah orientasi mereka untuk masuk ke pasar negara berkembang di Asia dengan lebih optimistis dibandingkan dengan periode prapandemi. Ini lantaran pasar negara berkembang di Asia terlihat menunjukkan perbaikan yang nyata dan konsisten. Dengan serangkaian kebijakan antisipatif yang diterapkan secara konsisten, kini investor global mengakui prospek pemulihan ekonomi jangka panjang di Asia sungguh menjanjikan. 

Optimisme itu juga terkonfirmasi dari pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi Asia akan pulih lebih cepat di tahun ini dan tumbuh lebih kuat di tahun depan dibandingkan dengan kawasan lain. Salah satu pusat ekonomi Asia adalah Tiongkok. Ekonomi negara ini telah dihantam oleh tantangan signifikan dari pandemi, perumahan, dan perdagangan eksternal pada 2022. Pelaku bisnis dan konsumen yang kecewa dengan kebijakan lockdown, kini boleh bernapas lega lantaran pemerintah telah merespons dengan melunakkan kebijakan nol-COVID-19.

Setelah tumbuh sekitar 2,7% pada 2022 (lebih rendah dari perkiraan awal yang 3,2%), ekonomi Tiongkok diperkirakan akan membaik ke level 4,2% (bahkan bisa lebih tinggi lagi) pada 2023, untuk menguat lagi ke 4,8% pada 2024. Tetap positifnya perekonomian Tiongkok (bersama India) menjadi katalis bagi perekonomian Asia, meskipun beberapa negara di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Vietnam juga berperan menjadi “penerang” perekonomian kawasan dan global.

Kinerja yang relatif kuat dari kelompok pasar negara berkembang Asia yang begitu luas dan berpendar tergantung pada dua faktor. Pertama, manajemen makroprudensial yang jauh lebih baik. Kini negara-negara Asia berani mengambil langkah berbeda dengan sebelumnya dalam menyikapi situasi ketidakpastian. Lebih percaya diri, berorientasi ke depan, dan selalu waspada terhadap dinamika lingkungan.

Kedua, telah terjadi pergeseran dalam lanskap perekonomian global di mana dominasi AS dan Tiongkok lambat laun akan tergerus oleh hadirnya kekuatan ekonomi baru di Asia (dimotori oleh India). Sementara, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia dan Vietnam tampaknya akan menjadi lokomotifnya. Kini negara-negara Asia Tenggara menjelma menjadi kekuatan konsumsi global yang baru dengan membaiknya daya beli masyarakatnya. Para pengambil kebijakan di negara-negara ini telah mampu belajar dari krisis keuangan 1997/1998 untuk bangkit, pulih dan tumbuh secara konsisten. 

Itulah setidaknya yang melandasi Bank Pembangunan Asia (ADB) meningkatkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2022 untuk Asia Tenggara dari 4,9% menjadi 5,1% dan perkiraan sebesar 5,0% untuk 2023 dari perkiraan sebelumnya yang 5,4%. ADB mencatat beberapa negara berkembang di Asia Tenggara tetap melanjutkan pemulihan, meskipun di tengah ancaman stagflasi dan resesi yang menghantui dunia. 

Permintaan domestik yang kuat di Indonesia dan Filipina berkontribusi besar pada prospek pertumbuhan tahun ini untuk Asia Tenggara. Filipina diproyeksi akan tumbuh 6,3% pada 2023. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5% pada 2023, turun dari proyeksi sebelumnya yang 5,2%, sejalan dengan kondisi eksternal yang penuh dengan ketidakpastian sehingga berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Kendati demikian, pemulihan ekonomi Indonesia dinilai masih sesuai dengan jalurnya.

Yang menarik, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Vietnam akan tumbuh 6,7% pada tahun depan karena pulihnya rantai pasokan pangan global akan meningkatkan produksi pertanian tahun ini, meskipun biaya input yang tinggi akan menghambat pemulihan sektor pertaniannya. Melemahnya permintaan global juga memperlambat sektor manufaktur Vietnam. Namun, prospek sektor ini tetap positif mengingat investasi asing langsung yang kuat di sektor ini.

Dalam ekonomi global yang menghadapi periode pertumbuhan lemah yang berlarut-larut dan inflasi yang tinggi, Asia Tenggara adalah alasan utama untuk sebuah optimisme, dengan fundamental ekonomi yang kuat, pertumbuhan yang semakin cepat, dan masa depan yang cerah. Kawasan ini siap tumbuh melaju relatif stabil pada kisaran 5% di 2023 nanti dengan tumpuan pada Indonesia (tumbuh 5,0%) dan Vietnam (tumbuh 6,7%) didukung Filipina (tumbuh 6,3%) dan Kamboja (tumbuh 6,2%).

Outlook Perekonomian Indonesia

Permintaan domestik tetap berdaya tahan dipengaruhi oleh terjaganya daya beli masyarakat dan keyakinan pelaku ekonomi yang tetap positif, serta kinerja ekspor yang diperkirakan juga tetap kuat, terutama ekspor batu bara, CPO, besi dan baja, serta ekspor jasa, menjadi katalis pertumbuhan ekonomi 2022 berkisar 5,3%. Untuk 2023, pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap kuat pada kisaran 4,8%-5,3% atau sedikit melambat karena faktor eksternal (perlambatan ekonomi global).

Sejauh ini ekspektasi inflasi masih cukup tinggi di atas jangkar yang 3%, namun dengan koordinasi yang baik antara bank sentral dan pemerintah (kementerian/lembaga), diyakini ekspektasi inflasi akan dapat diarahkan ke level sasaran 3,0±1%. Bauran kebijakan bank sentral yang pro stabilitas dan pro pertumbuhan diperkuat dengan kebijakan fiskal sebagai peredam kelesuan ekonomi akan menjadi stimulus momentum pertumbuhan ekonomi.

Dukungan sektor keuangan, mencakup perbankan, pasar modal, pembiayaan, dan nonperbankan akan mampu menyangga ruang pertumbuhan di tengah langkah normalisasi kebijakan oleh otoritas dan pemerintah. Khusus untuk perbankan, kredit diperkirakan akan tetap mampu tumbuh berkisar 10%-12% ditopang pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 7%-9%. Paralel dengan itu, secara rerata pertumbuhan sektor keuangan nonperbankan juga diperkirakan berkisar 5%-8% untuk 2023.

*) Penulis merupakan Ekonom, Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI)

Related Posts

News Update

Top News