Oleh Ida Bagus Kade Perdana
DALAM situasi normal para bankir perbankan nasional sudah sejak lama menerapkan rezim suku bunga tinggi dengan memanen dan menikmati pendapatan bunga kredit secara berlebihan sebagai satu satunya sumber pendapatan utama perbankan nasional dengan melaksanakan fungsi intermediasi keuangan. Selama itu hingga kini para bankir berpesta pora dividend dan tantiem sesungguhnya tidaklah menjadi masalah asalkan tidak menerapkan rezim suku bunga tinggi. Dengan berkemampuan dalam melaksanakan fungsi intermediasinya memberikan manfaat dan berkontribusi tinggi dalam memajukan perekonomian nasional. Namun tidak demikian yang terjadi akan tetapi berbeda dalam kenyataannya. Terjadi kecenderungan dimana dalam melaksanakan intermediasi keuangan sebagai fungsi utamanya masih belum berjalan dengan baik, positif dan kondusif dengan mamfaat (benefit) nya yang masih jauh dari harapan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam upaya memberdayakan para pengusaha kecil (UMKM) dan mendukung pertumbuhan ekonomi pada level 7% sebagaimana yang dijanjikan presiden Joko Widodo pada masa masa kampanye pilpres yang lalu.
Dengan demikian masih sangat disayangkan dirasakan masih benar-benar kurang memuaskan dan mengecewakan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam melaksanakan fungsi intermediasinya sebagai fungsi utamanya bank. Apalagi dalam musim pandemi ini nyaris tidak bergerak. Dikutip dari InfoBank yang menginformasikan bahwa pertumbuhan kredit perbankan merupakan yang terendah sejak krisis moneter 1998/1999. Dana perbankan tumbuh sekitar 10% – 11%, tapi pertumbuhan kredit tak lebih dari 2% – 3%. Bahkan per November 2020, kredit bank sudah minus 0,49%. Benar benar bank sudah menderita disfungsi intermediasi. Bagaikan para bankir sudah sesak napas terjangkiti wabah virus covid-19 membuat perekonomian nasional terkena virus ikut menjadi tambah sesak napas. Melihat kenyataan ini, sesungguhnya justru para bankir sudah melepaskan ketiga fungsi khusus sehingga bank kehilangan fungsi intermediasinya yang merupakan fungsi utama bank. Dikutip dari InfoBank bahwa bank-bank justru menyembunyikan wajah “bopeng-bopeng” dengan bedak restrukturisasi kredit.
Sepertinya itu benar adanya para bankir sudah ketakutan layaknya bagaikan sudah terkena dan terjangkiti virus wabah penyakit covid-19 membuatnya tidak berdaya bahkan tidak berkutik nyaris lumpuh cenderung tidak mencerminkan sikap dan tanggung jawabnya sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of serve sehingga dapat diduga telah kehilangan jati dirinya sebagai bankir profesional sejati yang mengemban tugas luhur dan mulia tidak mampu berselancar disegala derunya ombak yang menggila deburannya. Semestinya semakin menantang semakin mengasikan kemungkinan masih kurang jam terbangnya sebagai bankir profesional sejati yang tangguh. Namun bukan menuntut para bankir agar melakukan hara kiri sebagaimana tindakan heroik yang dilakukan orang Jepang pada masa perang dunia kedua. Sepertinya benefit dan kenikmatan hanya dirasakan sendiri oleh para bankir. Kemungkinan masih terbelenggu dengan pola dasar berpikirnya yang feodalistik yang cenderung masih tidak banyak berbeda dengan para pelepas uang pada umumnya. Mohon maaf bukan bermaksud saling menyalahkan dan bukan tidak memahami situasinya kendatipun kemungkinan tidak sempurna. Namun demikian jangan dibawa ke arus alergi atas setiap masukan yang positif dan kondusif dengan niatan yang luhur agar memiliki rasa tanggung jawab yang semakin kuat dan tinggi sebagai agent of trust, agent of development dan agent of serve.
Sehingga sebagai bankir profesional sejati yang tangguh mampu melakukan intropeksi diri dengan mutlak dan legowo dalam upaya berusaha sedini mungkin melakukan penyempurnaan kualitas dan penyempurnaan kinerja dalam siatuasi apapun bisa melaksanakan fungsi intermediasi dengan lebik baik, ideal dan sempurna sesuai tuntutan para pihak yang berkepentingan (stakeholders). Layaknya para bankir sebagai peselancar agar supaya tetap bisa berselancar sebagai peselancar profesional makin besar ombaknya makin menantang dan bisa berselancar dengan lebih baik dan elegan. Dengan pengalaman dan penguasaan teknik yang membuat semakin merasakan kenikmatannya dalam berselancar. Mampu menciptakan tidak saja benefit namun juga manfaat yang positif dan kondusif bagi kemajuan pengembangan dunia usaha dan juga keberpihakan semakin dominan terhadap UMKM serta berkontribusi signifikan demi terciptanya pertumbuhan perekonomian nasional yang tinggi sehat dan berketahanan.
Dengan adanya kecenderungan demikian tegasnya, sepertinya para bankir sudah mengabaikan tiga fungsi khusus bank sebagai agent of development, agent of trust dan agent of serve bila benar demikian, tentu sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup bank itu sendiri. Semestinya ketiga fungsi khusus ini selalu menjadi pegangan dan pedomannya didalam melaksanakan semua aktivitas bisnis banknya. Dengan demikian, bila ketiga fungsi khusus dimaksud diabaikan, akan membuat para bankir kehilangan komitmen dan jati dirinya. Pada akhirnya, fungsi intermediasi bank tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan yang membuat para pihak yang berkepentingan (stakeholders) akan tidak puas atas kinerja yang perbankan nasional. Padahal Bank Indonesia (BI) dengan Gubernurnya Perry Warjiyo yang telah membuka ruang yang sangat terbuka lebar dan longgar. Dengan meluncurkan quantitative easing moneter policy merupakan pelonggaran likuiditas bentuk kebijakan moneter yang tidak konvensional dimana BI selaku bank sentral membeli surat berharga jangka panjang dari pasar terbuka untuk meningkatkan jumlah uang beredar dan mendorong pinjaman dan investasi yang akan dipertahankan nya sampai tahun depan. Dengan menerapkan kebijakan moneter yang lunak melalui disconto policy merupakan kebijakan penurunan suku bunga acuan BI. Dengan terus menurunkan suku bunga acuan menjadi berada pada level 3,75% merupakan terendah hingga saat ini.
Juga dengan menerapkan cash ratio policy dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) secara berulang kali. Didukung dengan inflasi yang terkendali rendah dimana inflasi tahun kalender (Januari – Juni ) 2020 sebesar 1,09% dan pada bulan November 2020 terjadi inflasi sebesar 0,28% dengan tingkat inflasi tahun kalender (Januari – November) 2020 sebesar 1,23%. Gubernur BI Perry Warjiyo yakin inflasi sepanjang tahun 2020 tidak akan melenceng dari target dengan memperkirakan inflasi di tahun yang berat ekonomi nasional terpuruk terjun ke jurang resesi berada pada kisaran 3% plus minus 1%. Dengan kebijakan moneter yang dilaunching BI tersebut telah mengucurkan secara deras likuiditas perekonomian mencapai Rp700 triliun membuat para bankir sepertinya kaget kesedak dan tidak mampu untuk memuntahkan kembali likuiditas yang demikian banyaknya.
Dengan demikian, sepertinya para bankir menghadapi mental block merasa kesulitan bahkan telah kehilangan nyali dan akal sehatnya menjadi tumpul tidak kreatif dan inovatif. Tidak bisa keluar dari aura dan bayang bayang kesulitan akibat dampak dari wabah penyakit covid-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan tuntas dan sirna. Membuatnya tidak mampu menyalurkan likuiditas yang demikian besarnya kembali kepada masyarakat. Dalam bentuk pinjaman untuk melaksanakan intermediasi keuangan sebagai fungsi utamanya yang ditunggu oleh para pengusaha yang usaha dalam keadaan megap megap perlu injeksi vaksin likuiditas yang telah disediakan BI. Kuat dugaan para bankir dengan kondisi terpuruk seperti ini menjadikannya menerapkan prinsip kehati-hatian secara berlebihan dan kebablasan penuh kekhawatiran dan ketakutan membuat para pengusaha yang lagi megap megap memerlukan injeksi vaksin likuditas menjadi kesulitan dalam menggerakkan usahanya yang menjadi keluhan besar dari para pelaku bisnis. Mengharapkan agar para bankir memiliki sense of crisis dengan menjalankan prinsip “Pang Pade Payu” saling memberdayakan dan saling menguntungkan dimasa sulit ini bisa dikedepankan, demikian harapan dari para pengusaha sebagai pelaku bisnis yang merupakan bagian terpenting juga sebagai sistem keuangan nasional.
Penyediaan likuiditas yang demikian besar jangan dibiarkan idle yang tentu akan merugikan banyak pihak harus mampu disalurkan kedalam masyarakat dalam bentuk pinjaman sebagai amunisi menggerakkan perekonomian yang lagi lesu dirundung resesi ekonomi. Dengan demikian, pada masa sulit dengan terjadinya kelesuan ekonomi perekonomian nasional terjun kejurang resesi membuat para bankir sepertinya ketakutan yang amat sangat sehingga kebablasan dan membabi buta menerapkan prinsip ke hati hatian yang menghambat dan menyulitkan pergerakan kegiatan usaha bisnis para pengusaha utamanya para pengusaha umkm yang perlu segera perlu diselamatkan diberikan ruang untuk bangkit kembali sebagaimana yang dikeluhkan para pelaku bisnis ditanah air.
Kebijakan Gubernur BI tersebut sesungguhnya merupakan suatu jembatan mas bagi para bankir nasional untuk segera mengambil momentum melakukan pergeseran (shifting) dengan menerapkan kebijakan rezim suku bunga rendah (murah). Dengan meninggalkan rezim suku bunga tinggi yang menghambat jalannya intermediasi keuangan perbankan nasional sebagai fungsi utamanya. Mampukah para bankir perbankan nasional beralih ke rezim suku bunga rendah dengan meninggalkan budaya rezim suku bunga tinggi. Mengingat para bankir nasional sepertinya sudah terlalu nikmat, nyaman, mengasikan bermain pada rezim suku bunga tinggi. Seolah olah para bankir nasional telah melepaskan fungsinya sebagai agent of development. Sudah demikian lama berpesta pora dengan menjalankan rezim suku bunga tinggi yang kemungkinan sudah menjadi budaya hidupnya. Dengan sedikit kerja dan merasa lebih bergengsi membeayai bisnis korporasi milik para konglomerat, namun mereka sepertinya lupa sama risiko yang dihadapinya semua ada hukum karmanya sebagaimana pengalaman krisis keuangan yang berubah menjadi krisis perbankan pada tahun 1998/1999. Banyak bank yang bertumbangan menjadi bangkrut dan ditutup akibat keberpihakan perbankan yang terlalu dominan kala itu pada bisnis konglomerasi.
Ketimbang menyalurkan kredit dalam jumlah kecil kecil kepada golongan ekonomi lemah UMKM yang dipandang banyak kerja kurang efisien dan tidak bergengsi mungkin demikian pikirnya. Namun lupa bila membiayai UMKM terjadi penyebaran tingkat risiko sehingga bisa mendapatkan karma baik menjadi lebih rendah tingkat risikonya dan juga manfaatnya bagi penguatan fundamental perekonomian nasional juga benefit dan profit sepertinya tidak akan kalah yang bisa diraihnya. Sudah demikian banyak profit yang diraih para bankir dengan menerapkan rezim suku bunga tinggi dengan kecenderungan memberikan mamfaat yang lebih rendah. Belum sejalan sebagaimana tujuan bank itu sendiri untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kisaran level 7% sebagaimana yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo dalam masa kampanye pilpres yang lalu. Dalam upaya menciptakan kesempatan kerja mengentaskan kemiskinan, terciptanya pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat secara adil, terjaganya stabilitas, ketahanan menuju Negara Indonesia maju.
Mengingat selama kondisi normal sudah demikian banyak menikmati profit berupa pendapatan bunga dengan kebijakannya menerapkan rezim suku bunga tinggi yang dirasakan cenderung manfaatnya masih sangat rendah dirasakan bagi kemajuan perekonomian nasional. Maka sekarang dalam situasi extraordinary suatu kondisi yang luar biasa atau yang tidak biasa dan tidak normal perekonomian nasional terjerembab lesu terjun ke dalam jurang resesi dampak dari wabah penyakit covid-19 yang belum diketahui dengan pasti kapan akan sirna dan berakhir. Merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Namun demikian kita tidak boleh terus larut dalam keprihatinan dan para bankir harus keluar dari mental block. Dengan memperkuat rasa tanggung jawab dan komitmen sebagai bankir profesional sejati yang tangguh kuatkan ketiga fungsi khusus bank sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of serve. Dengan kesediaan likuiditas perbankan yang berlimpah jangan dibiarkan mubazir dan tersia siakan tentu akan berbalik menjadi beban bagi perbankan dan akan kehilangan opportunity dalam meningkatkan peran dalam meraih profit dan benefit. Utamanya dalam upaya memberikan kontribusi yang maksimal dalam merealisasikan fungsi intermediasi. Sehingga kontribusi perbankan nasional menjadi signifikan dalam mewujudkan pencapaian pertumbuhan ekonomi pada level 7% sebagai mana yang digadang gadang pemerintahan Joko Widodo ke depan untuk memenuhi janji kampanyenya pada waktu pilpres.
Dengan demikian tidaklah terlalu sulit dan menurut hemat kami sangat mudah untuk melaksanakan fungsi intermediasi bila berkemampuan menerapkan azas fleksibilitas bank teknis, prinsip kehati-hatian, azas selektivitas, azas pengendalian risiko, prinsip good corporate governance dengan baik dan benar. Dengan tindakan proaktif menjemput bola layaknya bermain sepak secara total football yang telah dibekali dengan tehnik tehnik mengeksekusi dalam menciptakan gol gol kemenangan. Maka dengan demikian para bankir harus mampu menjadi eksekutor dengan mengeksekusi likuiditas menjadi efektif efisien positif dan kondusif sampai ke sasaran sasaran yang tepat melaksanakan fungsi intermediasi. Dengan melaksanakan fungsi intermediasi agar supaya banknya tumbuh sehat dan kuat. Maka sebagai bankir dalam melaksanakan fungsi intermediasi harus selalu diingat pegangan hidup bahwa baik yang ditanam baik yang dipanen. apalagi dalam pandemi banyak pelaku usaha khususnya UMKM yang potensial dan menjanjikan perlu bantuan untuk diberdayakan kembali agar perekonomian nasional bergerak dan segera pulih kembali. Maka para bankir dituntut bila hal yang baik ditanam dirawat dengan semestinya maka diyakini hal yang baik akan dipanen oleh para bankir maka bank sebagai sistem keuangan terpenting dan utama akan terjaga dan terapresiasi stabilitasnya. Bravo para bankir dan perbankan nasional on ward no retreat.
*) Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).