Menuju Titik Terlemah Rupiah

Menuju Titik Terlemah Rupiah

Jakarta – Nilai tukar rupiah semakin tak berdaya menahan gempuran mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan hari ini (20/7) rupiah dibuka melemah 35 poin ke level Rp14.477 per dolar AS. Bahkan rupiah terus terperosok hingga menembus level Rp15.545 per dolar AS pada siang hari pukul 11.18 WIB.

Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin (19/7) dianggap menjadi pemicu melemahnya nilai tukar rupiah. Statement Gubernur BI tersebut telah memberikan sentimen negatif di pasar keuangan. BI yang biasanya selalu menjaga ekspektasi pasar, namun saat RDG kemarin pernyataan BI justru malah sebaliknya.

Asal tahu saja, saat pengumuman RDG BI, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2018 akan dikisaran 5,1 persen atau berada dibatas bawah dari proyeksi BI yang berada kisaran 5,1-5,5 persen. Pernyataan tersebut, telah memicu laju rupiah terjun bebas dan menyentuh level Rp14.500 an per dolar AS.

Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, melihat kondisi rupiah saat ini, diprediksi mata uang garuda bisa saja menyentuh level terlemahnya sejak krisis 2008 silam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, selain harus mengetatkan kebijakan moneternya dan juga intervensi lewat cadangan devisa, BI juga harus menempuh bauran kebijakan lainnya.

“Diprediksi dolar akan naik ke titik tertinggi sejak krisis 2008 pada bulan September atau Oktober. Saat itulah tekanan pada kurs rupiah akan membesar,” ujar Bhima kepada Infobank di Jakarta, Jumat, 20 Juli 2018.

Namun demikian, kata dia, Bank Sentral tidak akan diam menyikapi pelemahan rupiah yang sudah begitu dalam. Kemungkinan, lanjut dia, BI sedang menunggu dolar AS berada dititik puncak penguatannya. Setelah itu, Bank Sentral baru akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 25 basis points (bps) ke level 5,50 persen.

Baca juga: Kebijakan Moneter BI Masih Tetap “Hawkish”

“Ruang pengetatan moneter masih ada setidaknya satu kali lagi ditahun ini. Kemungkinan BI sedang menunggu fenomena super dolar memuncak sehingga dinaikan lagi 25 bps,” ucapnya.

Stance kebijakan BI yang sepertinya tidak lagi menaikkan suku bunga acuannya sampai dengan akhir tahun, tambah dia, juga telah membuat investor cenderung menahan diri. Pada RDG kemarin, Bank Sentral menahan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 5,25 persen, setelah di periode Mei-Juni 2018 menaikkan sebanyak 100 bps.

Sementara dari faktor global sendiri, tambah dia, kondisi perang dagang antara AS dan China yang diprediksi semakin memburuk juga menjadi sentimen tersendiri bagi nilai tukar rupiah. Dolar index yang saat ini masih bertahan di angka tertinggi 95,2 menguat dibandingkan demgam mata uang dominan paska ketidakjelasan Brexit.

“Diprediksi dolar akan naik ke titik tertinggi sejak krisis 2008 pada bulan September atau Oktober. Saat itulah tekanan pada kurs rupiah akan membesar,” paparnya.

Saat RDG kemarin, Perry menjelaskan, tekanan terhadap rupiah kembali meningkat seiring kuatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang memicu penguatan dolar AS secara meluas. BI mengklaim pelemahan rupiah lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara berkembang lain seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brasil dan Turki.

Ke depan, kata dia, BI terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.

Kebijakan BI tetap ditopang oleh strategi intervensi ganda dan strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan pasar swap antarbank. BI juga menegaskan arah kebijakan moneter akan tetap “hawkish” atau cenderung menaikkan suku bunga acuan guna membuat imbal hasil instrumen keuangan domestik tetap atraktif dan mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. (*)

Related Posts

News Update

Top News