Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mempertanyakan stress test yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perbankan yang menyebutkan bahwa perbankan Indonesia masih cukup kuat meski dolar AS tembus ke level Rp20.000.
“Kalian harus tanya, kalau dia (OJK) bilang stress test Rp20.000 itu bagaimana, masih oke?,” ujar Darmin di Jakarta, Jumat, 4 Mei 2018.
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sempat mengatakan, dengan tingkat permodalan (capital adequacy ratio/CAR) yang saat ini berada diatas 22 persen, maka perbankan nasional masih dapat bertahan dengan kondisi stress test apapun.
Namun demikian, kata Darmin, stress test OJK yang menyatakan bahwa perbankan Indonesia masih cukup kuat meski dolar AS tembus ke level Rp20.000, merupakan hal wajar. Pada dasarnya stress test digunakan untuk melihat titik lemah perbankan terhadap dampak dari pelemahan rupiah.
“Stress test boleh-boleh saja. Stress test itu sebenarnya guna melihat sampai berapa kita mulai bermasalah, tidak berarti dia kepingin segitukan,” ucap Darmin.
Dirinya meyakini, stress test yang dilakukan OJK terhadap perbankan dengan level dolar AS yang sebesar Rp20.000 ini tidak akan memicu pelemahan rupiah semakin dalam. Padahal, para ekonom menyebutkan, statement OJK tersebut bisa menggiring sentimen pasar terhadap dolar AS ke level Rp20.000.
“Nggak, namanya juga stress test. Stress test itu pasti bukan cuma Rp20 ribu yang dia bikin. Pasti ada yang lain lagi, bahkan mungkin lebih juga,” tegasnya.
Terkait dengan pelemahan rupiah yang saat ini mendekati level Rp14.000 per dolar AS, dirinya menghimbau agar masyarakat untuk tidak khawatir berlebihan. Hal ini sejalan dengan dolar AS yang memang menguat terhadap hampir seluruh mata uang negara lain di dunia.
“Kalau seluruh dunia kena, jangan terlalu dibahas-bahas bahwa kita bagaimana, dan melemahnya kan lebih kurang sama saja dalam sebulan terakhir. Kalau situasi sebulan terakhir, negara mana pun mengalaminya,” paparnya.
Sebelumnya Ekonom Indef Bhima Yudistira menilai, jika laju rupiah benar-benar menyentuh Rp20.000 per dolar AS maka dikhawatirkan akan memicu peningkatan kredit bermasalah (NPL) Bank. Merosotnya nilai tukar rupiah, secara langsung akan berdampak ke penyaluran kredit bank dan risiko kredit bermasalah.
Baca juga: BI: Stress Test Bank Harusnya Tak Dipublikasikan
Efek terberat adalah kondisi debitur yang tidak hanya tertekan merosotnya rupiah secara langsung. Namun, permintaan akan barang juga akan merosot karena harga-harga juga akan meningkat. Kelesuan permintaan akan meningkat akibat merosotnya nilai tukar rupiah. Rupiah yang anjlok tentu menurunkan permintaan akan barang karena semua harga barang impor mengacu pada dolar AS.
Contoh paling sederhana, harga mobil dan motor serta handphone dan tentu barang-barang impor lainnya. Efeknya, pembiayaan konsumen juga akan tertekan yang pada akhirnya bank juga akan terkena imbasnya lantaran selama ini pembiayaan berasal dari bank. Selain itu, debitur di industri pengolahan pun akan terkena dampak dari nilai tukar rupiah yang terus tertekan.
“Kalau benar rupiah melemah hingga Rp20.000 saya sanksi apakah sistem perbankan masih kuat? Debitur terutama industri pengolahan akan bleeding nyaris bangkrut karena besarnya ketergantungan bahan baku dan barang modal impor pasti naikkan biaya produksi,” katanya.
Posisi credit at risk perbankan yang masih 11 persen tentu akan menjadi soal yang serius. Tekanan terhadap kondisi debitur akan membuat ledakan pada kredit macet yang tentu membutuhkan penanganan dengan penambahan modal. Kredit kualitas rendah akan meningkat karena melihat posisi credit at risk masih tinggi. Bahkan, swasta yang memiliki utang luar negeri juga terancam gagal bayar, jika rupiah melemah hingga level Rp20.000 per dolar AS.
“Meskipun itu hanya stress test atau uji ketahanan sistem perbankan namun dampak psikologisnya mempengaruhi prilaku masyarakat, pengusaha dan spekulan,” tambahnya. (*)