Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Pubaya Yudhi Sadewa menyatakan Indonesia tidak boleh mengulang kembali krisis moneter 1998. Ia pun membeberkan penyebab krisis pada tahun tersebut agar Indonesia bisa belajar dan tak melakukan kesalahan fatal lagi.
Purbaya menjelaskan, krisis 1998 telah menghancurkan perekonomian Indonesia. Menurutnya, pada tahun 1997 awalnya krisis moneter melanda beberapa negara Asia atau dikenal sebagai Krisis Keuangan Asian 1997, saat itu negara yang mulai diserang adalah Thailand hingga Korea, namun Indonesia terkena dampak yang paling buruk.
“Jadi saya pelajari betul apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana cara mengatasi krisis kalau terjadi lagi,” kata Purbaya dalam Raker Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan, Rabu, 10 September 2025.
Dia pun mengacu pada krisis yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1930 untuk menganalisis dan mempelajari penyebabnnya. Di mana jika ingin mengetahui kebijakan moneter suatu negara ketat atau longgar, jangan hanya dilihat dari suku bunga melainkan juga dari laju pertumbuhan uang primer.
“Di buku Moneter, itu ada pemenang Nobel yang bilang bahwa dia mau pelajari krisis tahun 1930 di Amerika. Dia bilang waktu itu krisis, mereka debat, bunga di nol kan kok masih krisis. Rupanya pada waktu itu, walaupun suku bunga rendah, nol, tapi uang, vitamin yang di sistem perekonomian itu negatif. Jadi ekonominya dicekik,” jelasnya.
Baca juga: Investasi Danantara Ditargetkan Tembus Rp980 T pada 2029, Ini Kata Menkeu Purbaya
Dari analisa Purbaya, penyebab krisis moneter 1998 disebabkan oleh kesalahan fatal dalam pengambilan kebijakan moneter. Pada waktu itu, Bank Indonesia menaikan suku bunga sampai 60 persen lebih guna menjaga nilai tukar rupiah.
“Semua berpikir kita melakukan kebijakan uang ketat. Wah bunga tinggi. Bunga tinggi perasaan mana ada yang pinjem. Tapi kalau kita lihat di belakangnya, apa yang terjadi? Kita mencetak uang, base money itu tumbuhnya 100 persen. Jadi kebijakannya kacau balau. Mau apa? Mau ketat, mau longgar. Kalau kita melihat kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setannya dari kebijakan itu,” ungkapnya.
Bendahara negara ini menjelaskan, jika suku bunga tinggi maka akan menghancurkan sektor riil dan peredaran uang yang tumbuh tinggi mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok. Sehingga, menurutnya saat itu Indonesia tengah membiayai kehancuran ekonomi sendiri tanpa disadari.
“Ini bukan karena ekonom yang dulu bodoh atau bagaimana. Tapi memang kita belum pernah mengalami keadaan seperti itu. Jadi kita belum tahu ternyata seperti apa. Dan saya simpulkan kesalahan kita di situ,” bebernya.
Kemudian, saat krisis keuangan global tahun 2008, kebijakan ekonomi Indonesia diubah. Ia merekomendasikan kepada tim think tank Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyhono) jika ingin menjaga nilai tukar rupiah maka perlu menciptakan pertumbuhan ekonomi.
“Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, jaga kondisi likiditas di sistem ekonomi. Saya pikir dengan edukasi tahun 2008-2009 itu, semua orang sudah mengerti, banyak ekonom melihat. Rupanya lupa terus kita. Kita tuh cepat lupa. Makanya siklus ekonomi naik ekonomi turun, ekonomi naik ekonomi turun sepertinya setiap 7 tahun kita lupa,” tambahnya.
Setelah itu, di tahun 2015 ketika era kepemimpinan Jokowi, kondisi ekonomi tersebut hampir terulang. Purbaya pun ditugaskan di Kantor Staf Presiden (KSP) untuk memberikan masukan langsung agar kebijakan diubah.
“Dan itu kebijakannya diubah dan kita selamat. Itu jadi pembalikan ekonomi Indonesia bukan terjadi otomatis. Semua karena intervensi kebijakan, kebetulan Pak Jokowi cukup cepat mengambil langkah,” pungkas Purbaya.
Baca juga: Ekonom Ingatkan Bahaya Jika Menkeu Purbaya Salah Bicara
Begitu pun, saat Covid-19 melanda di tahun 2021 yang dinilai akan menghancurkan ekonomi Indonesia dan perbankan mulai hampir ‘berguguran’.
“Tapi setelah kita lihat, base money pertumbuhannya berapa di situ. Di bulan Maret 2000, pertumbuhannya minus 15,3 persen. Minus artinya ekonomi sedang dicekek padahal bunganya diturunkan. Ini salah kebijakan kita lagi. Jadi ekonominya turun hampir hancur. Saya dipanggil ke Istana, gimana? Yaudah Pak, dibalikin lagi aja. Gimana caranya? Yaudah, BI suruh kurangin penyerapannya ke sistem. Apa lagi? Tambah uang ke sistem dari sisi fiskal juga Pak,” bebernya.
Purbaya mencatat, uang yang berada di bank sentral saat itu sangat besar sekitar Rp500 triliun yang sebagian perlu dibalikkan ke sistem keuangan. Di Mei 2021 uang sebesar Rp300 triliun dari BI dipindahkan sistem perbankan.
“Setelah itu, laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit 11 persen, terus dijaga oleh Bank Sentral juga di atas 20 persen. Itu yang menyelamatkan ekonomi kita,” tukasnya. (*)
Editor: Galih Pratama










