Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
DALAM situasi ekonomi, sosial, dan politik yang normal di suatu negara, setiap pelaku industri jasa keuangan (IJK) – khususnya perbankan – dituntut untuk selalu melakukan asesmen terhadap dinamika yang terjadi, baik di dalam negeri (domestik) maupun di luar negeri (global/regional).
Ambil contoh, saat terjadi peningkatan risiko karena krisis geopolitik pasca-agresi militer Rusia ke Ukraina (Februari 2022 lalu) dan perang terbuka tentara Hamas (Palestina) melawan Israel di Oktober tahun ini, pasti semua pelaku IJK melakukan asesmen ulang (re-assessment) terhadap potensi risiko yang menyertainya, misalnya risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
Jika tendensi hasil re-assessment ternyata mengarah ke kesimpulan negatif atau kurang kondusif, maka bisa diterima akal sehat jika sikap dan respons yang ditempuh kalangan IJK cenderung pasif, yakni menahan diri atau wait and see dalam menggenjot ekspansi kredit/pembiayaannya.
Secara de facto, kalangan pelaku IJK – terutama perbankan – sedang dihadapkan pada situasi dan kondisi yang belum kondusif, di antaranya hadirnya inovasi digital dan pesaing baru, juga suku bunga acuan global yang tinggi karena posisi inflasi yang lebih tinggi sehingga harus diturunkan secepatnya.
Baca juga: Bos BNI Pede Perbankan Nasional Siap Hadapi Ketidakpastian Global
Pandangan kuat para pengambil kebijakan ekonomi moneter dan kalangan pelaku IJK saat ini tertuju kepada sikap ketat (hawkish) yang diterapkan oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang terus menaikkan suku bunga acuannya secara agresif ke level 5,25%-5,50% saat ini dan berpeluang naik satu kali lagi sebesar 25 basis points (bps) di November atau Desember nanti menjadi 5,50%-5,75%.
Arah Suku Bunga
Memang tidak setiap kebijakan The Fed direspons dan diikuti oleh bank-bank sentral negara lain. Namun, setidaknya hal itu tetap dijadikan salah satu referensi utama sebelum bank-bank sentral mengambil sikap terkait penetapan suku bunga acuan.
Sikap The Fed yang hawkish selama setahun terakhir ini telah menekan sektor keuangan dan perbankan AS. Beberapa bank yang gagal secara cepat dan tepat dalam merespons langkah The Fed jatuh bertumbangan satu demi satu, di antaranya Silvergate Bank, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank.
Tak terhitung banyaknya korporasi yang juga bertumbangan karena ketidakmampuannya menyikapi dinamika lingkungan ekonomi, terutama terkait kenaikan suku bunga acuan yang agresif. Program restrukturisasi korporasi skala menengah dan besar menjadi pekerjaan rumah pemerintahan di negara-negara maju yang dihadapkan pada ancaman resesi keras (hard landing) hingga resesi lunak (soft landing).
Kebijakan keringanan pajak di berbagai area juga digelontorkan untuk menyokong dunia usaha dapat secara berangsur-angsur pulih dan sehat kembali seperti sebelum masa pandemi COVID-19 dan setelahnya (masa endemi). Baik AS maupun negara-negara Uni Eropa boleh dibilang gagap, bahkan gagal, dalam pengambilan kebijakan ekonomi, moneter, dan fiskal menyikapi pandemi COVID-19 dan risiko geopolitik karena perang Rusia-Ukraina.
Baca juga: Tingkatkan Pengalaman Nasabah, Perbankan Disarankan Manfaatkan Solusi Teknologi Berbasis AI
Kegagapan itu terlihat dari resep kebijakan yang diambil, di mana bank-bank sentral condong menomorsatukan pengendalian inflasi dengan menomorduakan potensi pertumbuhan ekonomi. Hasilnya memang terlihat sampai saat ini, di mana laju inflasi dapat dikendalikan. Inflasi di Uni Eropa yang tahun lalu mencapai 10% kini turun ke kisaran 6,9% dan inflasi di AS yang sempat menyentuh level 9,1% (Juni 2021) kini mencapai 3,4%.
Namun, pelandaian inflasi tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, yang terjadi pelemahan ekonomi yang cukup ekstrem. Ambil contoh AS, Inggris, dan Jerman yang tahun lalu mengalami resesi ringan (pertumbuhan ekonomi minus hingga di bawah 1%). Rusia juga termasuk dalam kategori negara yang terpuruk ekonominya lantaran ekses perangnya dengan Ukraina dan juga imbas boikot negara-negara Eropa dan AS terhadap Rusia, termasuk boikot di sektor keuangan secara global.
Sebaliknya di negara-negara berkembang Asia, secara rerata inflasi relatif terkendali (berkisar 4%) dengan pertumbuhan ekonomi agregat mencapai 4,5%. Bahkan, dua negara besar di Asia, yaitu India dan Indonesia, mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 7% dan 5% di 2022 dan tahun ini.
Sementara, satu negara ekonomi terbesar di Asia, yakni Tiongkok, justru mengalami tekanan yang dahsyat karena pilihan kebijakan pengendalian pandemi yang justru “over-killed” melalui kebijakan total lockdown (penguncian total) selama masa pandemi terjadi di negara tersebut.
Kebijakan tersebut berdampak pada penyusutan aktivitas ekonomi, bisnis dan investasi di negara Tirai Bambu itu. Mengingat ukuran ekonomi negara ini sangat besar, tepatnya kedua terbesar di dunia setelah AS, maka pemulihan ekonominya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Baca juga: Sektor Keuangan Stabil, OJK: Ketidakpastian Global Masih Bisa di Mitigasi
Proses pemulihan menjadi makin sulit karena beban kerusakan sektor properti yang amat besar, terutama dipicu oleh jatuhnya dua perusahaan pengembang properti terbesar di negara itu, yaitu Evergrande Group dan Country Garden. Restrukturisasi dua pengembang utama di Tiongkok itu tentu saja membebani proses pemulihan ekonomi Tiongkok secara menyeluruh.
Diyakini, mengendurnya perekonomian Tiongkok menjadi faktor pengurang pertumbuhan ekonomi global, regional atau kawasan maupun per individu negara (termasuk Indonesia).
Serangkaian kebijakan pelonggaran yang agresif di sektor keuangan dirilis oleh bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China (PBOC), di antaranya menurunkan suku bunga acuan hingga mencapai 2,5% disertai dengan pelonggaran pemenuhan kewajiban rasio giro wajib minimum (GWM) serendah-rendahnya.
Namun, sinyal pemulihan ekonomi domestik belum terlihat nyata karena begitu dalam dan kompleksnya persoalan ekonomi Tiongkok. Apalagi di saat ketegangan geopolitik AS-Tiongkok menguat disertai relasi bilateralnya yang merenggang serta diperparah dengan kebijakan penguncian total, ternyata jalur perdagangan global menuju AS diambil alih oleh negara-negara kompetitornya, terutama Vietnam. Ini yang menjelaskan kenapa ekspor Tiongkok ke AS dan hampir ke seluruh dunia merosot drastis selama masa pandemi lalu.
Itu jugalah yang menjelaskan kenapa sekarang ini kebijakan ekonomi internasional AS sedikit bergeser dari sebelumnya dengan Tiongkok kini beralih ke Meksiko yang perekonomiannya mampu tumbuh relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya.
Baca juga: Global Makin Tak Pasti, Sri Mulyani Beberkan Dampaknya ke RI
Gejala divergensi dan fragmentasi ekonomi global yang pada akhirnya ditengarai oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) ini tentu berpengaruh pada kinerja ekonomi dan keuangan di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Perubahan lanskap atau konstelasi ekonomi global ini tentu harus menjadi perhatian semua pelaku ekonomi dan sektor keuangan di mana pun mereka beroperasi.
Cara Membacanya
Dari penjelasan di atas, maka cara membaca prospek ke depan bagi seuruh pelaku IJK di Indonesia setidaknya akan terkait dengan empat tren global berikut ini. Pertama, lingkungan makro-ekonomi telah bergeser secara substansial, dengan suku bunga yang lebih tinggi dan angka inflasi di banyak bagian dunia, serta kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang berlanjut.
Kedua, kemajuan teknologi dan digitalisasi yang terus meningkat, diwarnai dengan konsumen yang makin nyaman dengan pengalaman berbasis teknologi canggih dan digitalisasi. Secara khusus, berkembang pesatnya kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) bisa menjadi pengubah permainan, mendongkrak level produktivitas sebesar 3% hingga 5% sehingga memungkinkan pengurangan pengeluaran operasional.
Ketiga, pemerintah memperluas dan memperdalam pengawasan peraturan terhadap lembaga keuangan nontradisional dan perantara karena sistem ekonomi makro berada di bawah tekanan dan teknologi, pemain, dan risiko baru muncul. Normalisasi kebijakan di sektor keuangan harus menjadi catatan khusus bagi para pelaku IJK di dalam negeri karena era kelonggaran kebijakan akan selesai dengan sendirinya.
Juga masih ada regulasi internasional – seperti pemenuhan Basel III terkait pemenuhan persyaratan modal yang lebih tinggi untuk bank-bank besar dan menengah – yang harus dipenuhi. Perencanaan permodalan menjadi salah satu isu penting dalam menjaga level kesehatan bank sebagaimana dipersyaratkan oleh otoritas karena terkait langsung dengan kapasitas bank dalam menanggung risiko (risks taking capacity).
Keempat, sifat potensi risiko sistemik bergeser karena meningkatnya kembali ketegangan geopolitik yang meningkatkan volatilitas dan memacu pembatasan perdagangan dan investasi dalam ekonomi riil. Alur distribusi global terdisrupsi karena ekses perang yang berkelanjutan dengan risiko multidimensi yang meluas membayangi.
Baca juga: Industri Perbankan Harus Siapkan 3 Hal Ini Hadapi Perkembangan Teknologi 2024
Pada akhirnya, kemampuan korporasi dalam menghasilkan keuntungan berpotensi terganggu sehingga bisa menghambat kelancaran pemenuhan kewajibannya kepada lembaga kreditur. Ancaman pinjaman bermasalah (non performing loan/NPL) mencuat yang mendorong bank-bank menaikkan rasio cadangan kerugian penyusutan nilai (CKPN). Ini berujung pada tekanan aspek profitabilitas bank yang menjadi going concern investor dan pemegang saham.
Jika demikian skenarionya, maka pilihan sikap dan kebijakan yang konservatif, berhati-hati, dan senantiasa selaras dengan tata kelola yang baik menjadi kunci sukses bagi setiap IJK dalam mempertahankan kinerjanya.
Di tengah periode jelang pemilihan presiden (pilpres) dan legislatif (pileg) di 2024 nanti, maka penting bagi setiap pelaku IJK untuk senantiasa mengoptimalkan segenap panca indranya supaya mampu menangkap sinyal positif maupun negatif yang paling lemah hingga paling kuat sekalipun sehingga mampu meresponsnya secara tepat waktu, tepat guna, dan tepat sasaran.
Angka-angka proyeksi keuangan beserta asumsi makro-ekonominya yang sudah dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank 2023-2025 maupun Business Plan 2024 yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbuka ruangnya untuk dilakukan penyesuaian (baca: revisi) sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini.
Akhirnya, dibutuhkan sikap tenang penuh kewaspadaan dalam menyikapi perkembangan internal dan eksternal dengan menempatkan ujung tiang antene setinggi mungkin sehingga memiliki alarm kepekaan yang tinggi dalam membaca sinyal-sinyal yang berbaur dan berseliweran di tengah arus dan trafik informasi yang begitu masif dan liar. (*)