Oleh Ryan Kiryanto, Chief Economist BNI
Harus kita pahami bersama, setiap krisis berbeda karakter, ciri dan dampaknya masing-masing. Selalu muncul pertanyaan di saat krisis, berapa lama dan berapa dalam dampak krisis itu? Dari perspektif ini, periode kerugian yang berkelanjutan dan substansial bisa dikategorikan ke dalam krisis. Hanya saja, jika masa kerugian itu terbilang pendek, katakanlah tidak lebih dari tiga bulan, ini masuk kategori koreksi belaka, untuk selanjutnya akan segera kembali ke jalur normal.
Kerugian besar pada saat terjadi gejolak moneter 1997/98 dan gejolak pasar keuangan global 2008 masuk ke dalam kategori krisis. Dari waktu kejadian, periode waktunya mengesankan adanya siklus krisis sepuluh tahunan. Hanya saja, faktor pendorong terjadinya krisis yang berbeda.
Kini, hampir dua dekade kemudian, kembali dunia digoncang oleh krisis yang menurut penilaian banyak ekonom masuk kategori lebih besar, serius dan berkepanjangan. Inilah krisis ekonomi dipicu oleh pandemi virus korona (COVID-19) yang telah menjangkiti lebih dari 210 negara di dunia.
Pandemi COVID-19 yang menyebar dengan cepat ke seantero dunia ini telah melumpuhkan hampir semua aktivitas ekonomi, bisnis dan investasi, menyusul dikeluarkannya berbagai “kebijakan ekstrim” seperti phicycal distancing, social distancing, work from home (WFH), split operations, karantina lokal/negara, bahkan lockdown kota/negara, yang selama ini hampir tidak pernah terjadi.
Alhasil, mobilitas orang, barang dan jasa dalam konteks global supply chains terganggu, yang berdampak pada macetnya roda perekonomian di berbagai negara, baik yang berstatus eksportir maupun importir maupun keduanya.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan sistem ekonomi terbuka, tak luput dari musibah pandemi COVID-19. Data terakhir saat analisis ini ditulis (Senin, 13 April 2020), terdapat 4.241 orang dengan kasus positif COVID-19, sebanyak 359 orang sembuh dan sebanyak 373 orang meninggal dunia.
Sebagaimana diberlakukan di negara-negara lain, pemerintah Indonesia pun menggelar sejumlah kebijakan untuk secepat mungkin dapat memutus rantai penularan COVID-19 ini. Pilihan sulit ini memang harus ditempuh, karena percuma saja pemerintah merilis sejumlah kemewahan berupa pelonggaran kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan, jika sumber masalah berupa penyebaran COVID-19 ini tidak dituntaskan terlebih dahulu. Pertanyaannya, sampai kapan pandemi COVID-19 ini akan menggelayuti Bumi Pertiwi kita?
Ramalan Roubini dan Peringatan Georgieva
Dari literatur dketahui bahwa sejak dua tahun lalu, Dr. Nouriel Roubini telah meramal adanya krisis finansial di tahun 2020. Padahal, waktu itu COVID-19 belum ada dan mengglobal seperti sekarang ini. Pada awal Maret tahun ini Dr. Roubini memperingatkan bahwa kombinasi COVID-19 dan perang harga minyak akan menyebabkan “badai risiko yang sempurna” dan menjadi “sinyal jelas resesi global”.
Pekan lalu (3/4/2020), Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan resesi yang lebih buruk daripada krisis keuangan global pada 2008. Itulah pernyataan Georgieva dalam konferensi pers bersama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Konferensi tersebut mencatat dua krisis yang disebabkan oleh wabah COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah IMF, yakni krisis kesehatan dan ekonomi yang berjalan bareng. Georgieva menekankan bahwa menyelamatkan nyawa dan melindungi mata pencaharian harus berjalan seiring ketika virus mematikan ini “menyapu” seluruh dunia.
Menurut WHO, lebih dari satu juta kasus COVID-19 dan lebih dari 50.000 kematian yang telah dikonfirmasi telah dilaporkan. Untuk mengakomodasi lonjakan ini, IMF mengerahkan total kapasitas keuangan satu triliun dolar AS, untuk menekankan pihaknya bertekad menggunakan sebanyak yang diperlukan dalam melindungi ekonomi.
Lebih dari 90 negara telah mengajukan permintaan kepada IMF untuk pembiayaan darurat, menyerukan negara-negara ini untuk memprioritaskan penggunaan pembiayaan guna membayar pekerja kesehatan, memastikan fasilitas kesehatan berfungsi dengan baik, serta mendukung orang-orang dan perusahaan yang rentan. Dia memperingatkan gelombang kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan membuat pemulihan semakin sulit.
Efek ke Pasar Keuangan
Dengan berbagai variabel yang berbeda, efek akumulatif pandemi COVID-19 diperkirakan melebihi efek krisis moneter 1998 dan krisis finansial global 2008, karena efek pandemi COVID-19 disertai dengan tindakan social and physical distancing, work from home, isolasi diri, karantina lokal, lockdown lokal hingga kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah/daerah. Kebijakan ini memang bertujuan baik untuk mempercepat terjadinya flattening the curve dari pandemi COVID-19 dimana kebijakan ini memang harus menjadi prioritas utama (yakni kesehatan dan keselamatan masyarakat).
Hanya saja, kebijakan tersebut memberikan “dampak negatif” pada kegiatan ekonomi secara luas dan masif. Masalahnya, tidak diketahui dengan pasti kapan penanganan pandemi COVID-19 ini akan selesai (how long) dan seberapa dalam (how deep) efeknya ke sendi-sendi perekonomian (how deep).
Memang Indonesia tidak mengalami musibah ini sendirian, banyak negara berkembang lainnya juga terpapar.
Itulah latar belakang yang menjelaskan pada Maret lalu terjadi kepanikan dan reaksi pasar yang berlebihan di pasar keuangan domestik ketika jumlah orang yang terinfeksi melonjak pesat dari yang mereka perkirakan. Sikap pelaku pasar ini tidak bisa disalahkan, karena itulah dinamika pasar. Yang bisa dilakukan adalah meredam kepanikan mereka melalui strategi komunikasi yang baik, terarah dan sistematis oleh seluruh perangkat pemerintahan yang terlibat dalam penanganan pandemi COVID-19 (utamanya adalah Satgas Penanganan COVID-19) dan seluruh otoritas keuangan (Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KKSK).
Dalam konteks ini, Bank Indonesia (BI) terlihat menjadi “garda depan” untuk meredam kepanikan pasar, terutama terkait dengan upaya menormalisasi volatilitas nilai tukar Rupiah yang menjadi domain bank sentral. Logis jika cadangan devisa di Maret lalu menyusut hingga 9 miliar dolar AS (dari 130 miliar dolar AS menjadi 121 miliar dolar AS) untuk keperluan pemenuhan kewajiban utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi pasar.
Kini kondisi pasar keuangan telah mereda dengan langkah taktis KKSK terus memberikan pemahaman yang baik kepada pelaku pasar. Arah pergerakan rupiah condong semakin menguat dan stabil ke kisaran Rp15.000 per dolar AS sesuai dengan fundamentalnya.
Namun, kewaspadaan tetap perlu dilakukan mengingat journey penanganan pandemi COVID-19 ini masih berlangsung mungkin hingga akhir semester pertama tahun ini sebagai skenario wajar.
Penjalaran ke Sektor Perbankan
Dr. Roubini juga memprediksi bakal terjadi tekanan yang hebat di sektor perkreditan. Dia mengacu dampak besar COVID-19, terbatasnya kemampuan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengatasi para pekerja yang sakit dan konsumen yang tetap tinggal di rumah serta tumpukan utang obligasi yang meningkat. Dia pun memperkirakan, krisis kredit 2020 akan lebih berat daripada krisis yang sama di tahun 2016 dan 2019 karena tingkat kompleksitasnya.
Kesimpulannya, resesi atau krisis di depan mata. Untunglah kekhawatiran Roubini sudah terjawab oleh kebijakan responsif pemerintah melalui KKSK yang segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Termasuk bagian dari Perppu No. 1/2020 adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (POJK Stimulus Dampak COVID-19) tertanggal 31 Maret 2020.
Menurut POJK ini, perkembangan penyebaran COVID-19 berdampak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dan kapasitas debitur termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sehingga berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, untuk mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan kebijakan stimulus perekonomian sebagai countercyclical dampak penyebaran COVID-19.
Dalam POJK No. 11/2020 ini diatur bahwa bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran COVID-19 termasuk debitur UMKM, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Debitur yang terkena dampak penyebaran COVID-19 termasuk debitur UMKM adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran COVID-19 baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Kebijakan stimulus dimaksud terdiri dari penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit/ pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon sampai dengan Rp10 miliar; dan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya POJK. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa melihat batasan plafon kredit/ pembiayaan atau jenis debitur.
Adapun cara restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan sebagaimana diatur dalam POJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara penurunan suku bunga; perpanjangan jangka waktu; pengurangan tunggakan pokok; pengurangan tunggakan bunga; penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS).
Bank dapat memberikan kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain yang baru kepada debitur yang telah memperoleh perlakuan khusus sesuai POJK ini dengan penetapan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain tersebut dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain sebelumnya.
Bank menyampaikan laporan berkala atas penerapan POJK ini untuk monitoring Pengawas sejak posisi data akhir bulan April 2020. Relaksasi ketentuan ini berlaku sejak diundangkan sampai dengan 31 Maret 2021. Dalam konteks ini, restrukturisisasi kredit yang terpapar COVID-19 harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian untuk mencegah moral hazard dan menjunjung tinggi asas keadilan.
POJK tersebut sudah secara spesifik mengatur bahwa restrukturisasi kredit diperuntukkan bagi sektor-sektor ekonomi atau lapangan usaha yang secara langsung/tidak langsung terdampak COVID-19 melalui jalur perdagangan, investasi dan keuangan. Sementara itu, bagi debitur yang bermasalah disebabkan bukan karena COVID-19 tetap direstrukturisasi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Di sinilah bank-bank harus cermat dan cerdas dalam memetakan debitur-debitur yang terpapar COVID-19 dan yang bukan karena COVID-19 supaya tidak ada moral hazard dan tidak ada “penumpang gelap” alias free rider.
Stimulus POJK ini cukup efektif membantu perbankan dan debitur dalam memulihkan usahanya. Bila operasi usaha nasabah kembali normal, cash flow akan kembali lancar, maka solvabilitas dan profitabilitas akan membaik dan stabil. Ini lantaran non performing loan (NPL) bisa ditekan lebih rendah, juga persentase Loan at Risks (LaR) juga dapat diturunkan, sehingga beban cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dapat diturunkan, yang pada akhirnya membantu profitabilitas bank.
Outlook Tahun 2020
Tahun 2020 menjadi tahun yang sulit, tak hanya bagi Indonesia tetapi juga untuk negara-negara lain di dunia baik yang terpapar pandemi COVID-19 maupun yang tidak. Harapan adanya perbaikan ekonomi pasca kesepakatan perdagangan fase satu antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang menghentikan sementara perang dagang antara kedua negara seketika tenggelam. Kini muncul ketidakpastian baru akibat pandemi COVID-19. Virus yang menyebar luas ke seantero dunia ini berhasil memporak-porandakan ekonomi dan memicu munculnya krisis baru.
Berbagai lembaga internasional telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini. IMF menyebutkan penyebaran virus terbilang cepat akan menghapus harapan pertumbuhan ekonomi tahun 2020. Akibat virus ini, sepertiga dari 189 negara anggota IMF akan terimbas. IMF saat ini memprediksi pertumbuhan ekonomi global 2020 akan berada di bawah level 2,9% dan perkiraan revisi akan dikeluarkan dalam beberapa pekan mendatang.
Perubahan pandangan ini akan merepresentasikan penurunan sebesar 0,4% dari proyeksi pertumbuhan 2020 sebesar 3,3% pada Januari silam pasca meredanya ketegangan perdagangan AS-Cina.
Maka, Georgieva dan Presiden Bank Dunia David Malpass menggarisbawahi pentingnya tindakan terkoordinasi untuk membatasi dampak ekonomi dan manusia dari virus.
Melambatnya ekonomi global tentu akan berdampak pada ekonomi domestik. Mengacu kepada proyeksi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) saat press conference (1/4/2020), pada skenario berat perekonomian Indonesia 2020 diproyeksikan tumbuh 2,3% (sebagai baseline) dan pada skenario sangat berat tumbuh minus 0,4%.
Pasca publikasi KKSK di atas, pemerintah melalui Kementerian Keuangan merilis pernyataan resmi, pandemi COVID-19 diprediksi akan menggerus pertumbuhan ekonomi yang dalam skenario terburuk hanya tumbuh 2,3% dari proyeksi sebelumnya di APBN 2020 sebesar 5,3%.
Menurut kalkulasi Kemenkeu, proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 2,3% itu bersumber dari pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga sebesar 3,2%; pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau Investasi Langsung sebesar 1,3%; pertumbuhan Konsumsi Pemerintah sebesar 6.8%; pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga (LPNRT) sebesar -0,2%; pertumbuhan Ekspor sebesar -11,7%; dan pertumbuhan Impor sebesar -13,5%.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 hanya di level 1,1%. Proyeksi ini masuk dalam kategori skenario berat yang dihitung berdasarkan informasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang menyebutkan puncak penyebaran virus corona berlangsung hingga Juli 2020.
Secara kuartalan gambarannya sebagai berikut: untuk pertumbuhan kuartal I diprediksi 4,7% (yoy), kuartal II-2020 melemah ke 1,1% (yoy), pada kuartal III-2020 tumbuh 1,3% (yoy), dan pada kuartal IV-2020 tumbuh 2,4% (yoy). Alhasil, sepanjang 2020 dalam skenario berat (baseline scenario), perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,3% (yoy).
Dengan meyakini semua kebijakan pelonggaran ekonomi, moneter dan keuangan yang digulirkan melalui Perppu No. 1/2020 berjalan baik, maka ada optimisme proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 tidak akan mengarah ke level di bawah 1,5%, apalagi ke level negatif. Setidaknya perekonomian Indonesia masih bisa diperoyeksikan tumbuh berkisar 2,0-2,5%. (*)