Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga
BANK Indonesia (BI) akan memberikan insentif kredit likuiditas makroprudensial (KLM) kepada bank-bank yang mampu menyesuaikan suku bunga kredit baru sejalan dengan arah pelonggaran kebijakan moneter, efektif per 1 Desember 2025.
Tujuan pemberian insentif KLM ini adalah untuk meningkatkan kemampuan bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan kepada sektor-sektor yang diprioritaskan, seperti UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian, lalu industri strategis, dan sektor lainnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Insentif ini juga bertujuan untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan dan mendorong inklusi keuangan. Insentif ini dimaksudkan untuk pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan.
Pertumbuhan kredit perbankan masih dapat didorong dan perlu didukung. Baik dari sisi supply pembiayaan perbankan melalui pelonggaran likuiditas di awal (upfront) sesuai dengan arah pertumbuhan kredit, maupun dari sisi demand yang tersinergi dengan kebijakan pemerintah, termasuk hilirisasi, perumahan rakyat, serta inklusi dan keberlanjutan.
BI telah memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak enam kali, atau total 125 basis poin (bps) sejak September 2024 hingga September 2025 – yang sekarang berada pada level 4,75 persen. Kebijakan penurunan BI Rate ini sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditengarai masih melambat.
Baca juga: Citi Indonesia Sebut Insentif KLM Dorong Pertumbuhan Kredit
Namun, sejak penurunan BI Rate pada September 2025, hingga kini kredit menganggur (undirsbursed loan) perbankan masih tinggi yaitu sekitar Rp2.374 triliun. Hal itu seiring dengan pertumbuhan kredit yang masih rendah pada kisaran 7 persen, yang seharusnya minimal 11 persen-12 persen. Indikator ini menunjukkan bahwa sektor riil masih jalan di tempat, artinya sektor usaha mengalami penurunan signifikan.
Pada intinya, bank-bank yang makin cepat menurunkan suku bunga kreditnya akan mendapatkan insentif likuiditas, yaitu maksimum 0,50 persen dari DPK-nya melalui pengurangan giro wajib minimum (GWM) di BI. Hal ini tecermin dari lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan seiring dengan penurunan suku bunga acuan BI.
Insentif yang didasarkan pada suku bunga kredit/pembiayaan (interest rate channel) tersebut paling tinggi sebesar 0,50 persen dari DPK. Secara terperinci, bank dengan elastisitas suku bunga kredit baru, kurang dari 0,30 tidak akan mendapat insentif.
Sementara, bank dengan elastisitas di kisaran 0,30 hingga lebih dari 0,60 akan memperoleh insentif sesuai dengan kategori. Untuk elastisitas bunga kredit baru antara 0,30-0,60, insentif yang diberikan sebesar 0,40 persen dari DPK, sedangkan elastisitas bunga lebih dari 0,60 akan memperoleh insentif sebesar 0,50 persen dari DPK.
Besaran insentif yang diberikan kepada bank dengan KLM ini berbasis lending channel dan memperhitungkan faktor penyesuaian atas realisasi pertumbuhan kredit dibandingkan dengan komitmen pertumbuhan kredit periode sebelumnya.
Sebelumnya BI telah mengeluarkan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas dengan besaran 0,04 persen dari DPK sejak 2018.
Namun, kebijakan ini telah mengalami beberapa penyesuaian dan pengembangan seiring dengan perubahan kondisi ekonomi dan kebutuhan pembiayaan. Maka, per 1 April 2025, insentif tersebut ditingkatkan menjadi 0,05 persen dari DPK.
Hingga minggu pertama Oktober 2025, total insentif KLM yang telah disalurkan mencapai Rp393 triliun. Perinciannya, kelompok bank BUMN memperoleh Rp173,6 triliun, BUSN Rp174,4 triliun, BPD Rp39,1 triliun, dan KCBA Rp5,7 triliun.
Secara sektoral, penyaluran insentif KLM terutama diarahkan ke sektor-sektor prioritas, seperti pertanian, perdagangan, manufaktur, real estat, perumahan rakyat, konstruksi, transportasi, pergudangan, pariwisata, ekonomi kreatif, UMKM, ultra mikro, dan ekonomi hijau.
Ternyata walaupun KLM sudah sejak lama digulirkan, ekonomi masih mengalami pelambatan. Efektivitas insentif KLM juga tergantung pada beberapa faktor, seperti bank-bank harus memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit ke sektor prioritas dan memiliki kapasitas untuk mengelola risiko kredit. Selain itu, harus ke sektor yang dapat menyerap tenaga kerja baru.
Ketidakpastian ekonomi global juga dapat memengaruhi efektivitas insentif KLM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, implementasi kebijakan insentif KLM harus dilakukan dengan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Untuk itu, maka yang harus dilakukan adalah, satu, melakukan pemantauan dan evaluasi secara terus-menerus terhadap implementasi kebijakan insentif KLM untuk memastikan bahwa tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dua,menetapkan target yang jelas dan terukur untuk pertumbuhan kredit dan penyaluran kredit ke sektor prioritas.
Baca juga: BI Kucurkan Insentif KLM Rp33,7 Triliun untuk Dukung Pembiayaan Hijau
Tiga, melakukan pengawasan yang ketat terhadap bank-bank yang menerima insentif KLM untuk memastikan bahwa dana insentif digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan tidak disalahgunakan. Empat, memberikan insentif yang tepat kepada bank-bank yang memenuhi target pertumbuhan kredit dan penyaluran kredit ke sektor prioritas.
Lima, melakukan komunikasi yang efektif dengan bank-bank dan stakeholder lainnya untuk memastikan bahwa kebijakan insentif KLM dipahami dan diimplementasikan dengan benar.
Enam, memberikan fleksibilitas kepada bank-bank dalam implementasi kebijakan insentif KLM untuk memastikan bahwa kebijakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasar. Tujuh, melakukan pengawasan risiko yang ketat untuk memastikan bahwa kebijakan insentif KLM tidak meningkatkan risiko keuangan yang tidak terkendali.
Dengan demikian, insentif KLM memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, efektivitasnya tergantung pada beberapa faktor yang perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus. (*)









