oleh Paul Sutaryono
PADA 19 September 2019 Bank Indonesia (BI) memberikan insentif berupa penipisan suku bunga acuan menjadi 5% dan melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV atau financing to value/FTV) sektor properti dan kendaraan bermotor.
Aturan itu menetapkan LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti 5%, uang muka untuk kendaraan bermotor 5%-10%, dan tambahan keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kendaraan bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing 5%. Pelonggaran aturan itu efektif 2 Desember 2019.
Bagaimana laju kredit properti? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia menunjukkan bahwa kredit properti mengalami kenaikan moderat 10,67%, dari Rp923,32 triliun per November 2018 menjadi Rp1.021,86 triliun per November 2019. Angka itu turun 0,24% dari bulan sebelumnya, Oktober 2019, sebesar Rp1.024,30 triliun.
Total kredit properti Rp1.021,86 triliun itu terdiri atas kredit konstruksi, kredit real estat, dan kredit pemilikan rumah (KPR) plus kredit pemilikan apartemen (KPA). Kredit konstruksi juga mengalami kenaikan, 16,33%, dari Rp309,60 triliun menjadi Rp360,15 triliun, dengan kontribusi terhadap total kredit properti 35,24%. Kredit real estat hanya mengalami kenaikan 4,72%, dari Rp154,35 triliun menjadi Rp161,63 triliun (kontribusi 15,82%).
KPR dan KPA pun mengalami kenaikan moderat, 8,86%, dari Rp459,37 triliun menjadi Rp500,07 triliun (kontribusi 48,94%). Meskipun hanya naik “sedikit”, KPR dan KPA memberikan kontribusi paling tinggi (48,94%) terhadap total kredit properti. Itulah sekilas kinerja kredit properti hingga akhir November 2019.
Aneka Jurus Andalan
Lalu, jurus andalan apa saja yang harus dimainkan untuk mendorong kredit properti? Satu, penurunan LTV/FTV. Sejatinya, apa makna penurunan LTV/FTV itu? Hal itu tentu saja berarti uang muka makin rendah. Padahal, formulanya, makin rendah uang muka, makin tinggi angsuran bulanan. Ketika angsuran bulanan makin tinggi justru akan membebani arus kas (cash flow) keluarga nasabah setiap bulan. Karena itu, (calon) nasabah harus menaikkan uang muka setinggi mungkin agar angsuran bulanan makin rendah. Memang akan berat di awal, tapi buahnya akan dapat dinikmati kemudian. Sebab, nilai uang sekarang (current value of money) akan lebih berharga daripada nilai uang pada masa mendatang.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga masih menghadapi ancaman pelemahan (depresiasi). Belum ada sinyal bahwa perang dagang (trade war) antara AS dan Tiongkok bakal berakhir dalam waktu dekat.
Belum lagi ancaman perang AS melawan Iran, yang berawal dari perintah Presiden AS, Donald Trump, untuk menyerang dan menewaskan perwira tinggi angkatan bersenjata Iran. Apa akibatnya bagi perekonomian dunia? Ketegangan politik itu akan melebar ke Teluk Persia sebagai gudang minyak dunia. Dengan bahasa lebih lugas, harga minyak bisa melambung tinggi. Padahal, Indonesia kini bukan lagi sebagai negara pengekspor minyak, melainkan sebaliknya menjadi negara pengimpor minyak (net importer). Hal itu akan mengancam neraca perdagangan nasional.
Tidak sampai di situ, kini ada potensi ancaman virus korona baru. Hampir semua sektor bisa terpapar potensi risiko virus yang mematikan itu. Akibatnya, sektor perdagangan Indonesia dengan Tiongkok dapat mengalami penyusutan signifikan. Bukan hanya itu. Sektor pariwisata juga bisa terkena imbas virus korona. Sebab, selama ini banyak turis asal Tiongkok mengunjungi Indonesia. Akibatnya, destinasi wisata, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, Jakarta, Medan terutama Danau Toba, Toraja, dan daerah wisata baru seperti Banyuwangi dan Malang, bisa sepi turis asing, cepat atau lambat. Meskipun, diyakini bahwa risiko itu tidak akan berlangsung lama.
Dua, memilih suku bunga tetap (fixed rates) lebih panjang. Kini makin banyak bank yang menawarkan suku bunga tetap, misalnya 2-3 tahun, kemudian dilanjutkan dengan suku bunga mengambang (floating rates).
Ada dua opsi untuk dipilih. Ketika suku bunga pinjaman sangat fluktuatif, nasabah lebih baik memilih suku bunga tetap yang lebih panjang. Nah, manakala suku bunga pinjaman cenderung terus menurun seperti saat ini, nasabah dianjurkan untuk memilih suku bunga mengambang. Mengapa? Karena, suku bunga pinjaman akan berubah lebih rendah ketika suku bunga acuan (BI 7-Day [Reverse] Repo Rate) menurun.
Celakanya, bank sering enggan menurunkan suku bunga KPR ketika suku bunga acuan turun. Anda sebagai nasabah dapat mengajukan penurunan suku bunga melalui surat kepada kantor pusat bank Anda. Pasti surat itu akan menjadi pertimbangan.
Sayang, tidak semua nasabah mengetahui hal ini. Sebaliknya, bank sudah seharusnya menurunkan suku bunga KPR ketika suku bunga acuan turun. Artinya, bank tak perlu menunggu surat permintaan nasabahnya.
Tiga, pemerintah harus memelihara harga tanah. Hal itu penting untuk memberikan kepastian dan kelestarian usaha bagi pelaku sektor properti. Karena, ketika harga tanah naik, efeknya akan membebani biaya operasional pengembang yang berujung pada kenaikan harga jual rumah.
Akhirnya, nasabah akan terbebani kenaikan harga rumah. Padahal, daya beli masyarakat menengah-bawah belum beranjak naik sehingga justru bisa mengganggu pelonggaran LTV/FTV.
Empat, pemerintah perlu terus mendorong kenaikan pengeluaran pemerintah (government spending). Tatkala pemerintah terus menggeber proyek pembangunan, terutama infrastruktur, maka otomatis kredit konstruksi yang termasuk kredit properti akan terdongkrak lebih tinggi.
Manfaatkan Teknologi
Lima, menggenjot KPR dan KPA digital. Kini hampir semua bisnis terkena disrupsi teknologi, termasuk bisnis perbankan. Lahirnya perusahaan teknologi finansial (tekfin) model pinjam meminjam (peer to peer [P2P] lending) telah mengganggu bisnis perbankan.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir Januari 2020 mencatat ada 144 tekfin (119 tekfin konvensional terdaftar, 13 tekfin konvensional berizin, dan 12 tekfin syariah terdaftar) per akhir November 2019. Tekfin telah menyalurkan pinjaman Rp74,54 triliun per November 2019 (year to date). Itu berarti naik 228,88% dari Desember 2018 sebesar Rp22,67 triliun.
Lugasnya, jumlah penyaluran pinjaman tekfin telah menggerogoti pangsa pasar bisnis perbankan. Meskipun jumlah pinjaman itu masih amat kecil, 1,41% dari total kredit perbankan Rp5.303,95 triliun per November 2019, bank tidak boleh menganggap sepele tekfin.
Karena itu, bank harus melakukan transformasi besar-besaran dalam membendung serbuan tekfin. Bank wajib menggali berbagai produk berbasis teknologi dengan model bisnis yang serbabeda dari produk lama. Model bisnis berbasis teknologi, seperti internet, mobile banking, dan smartphone, harus memiliki karakteristik yang khas, seperti syarat dokumen minimum, proses cepat, dan tanpa tatap muka.
Kita ambil contoh Bank Negara Indonesia (BNI) dan CIMB Niaga yang segera memasarkan KPR digital yang menyasar milenial (Kontan, 29 Januari 2020). Namun, bank wajib waspada akan potensi risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) sebab SPI mencatat NPL kredit konstruksi sebagai bagian dari kredit properti sebesar 3,78% per November 2019. NPL KPR 2,69%.
Enam, berpameran. Pameran perlu dilakukan, terutama pada hari raya, seperti Imlek, hari kemerdekaan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, serta ulang tahun bank. Contohnya, Bank Central Asia (BCA) yang menawarkan KPR dengan suku bunga 4,63% dalam BCA Expoversary 2020 pada 21-23 Februari 2020 untuk merayakan ulang tahunnya ke-63. Pastinya tawaran itu amat memikat hati calon nasabah.
Suku bunga KPR BCA itu di bawah suku bunga KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) 5%. Sayang, tawaran BCA itu hanya berlaku pada pameran tiga hari itu. Bandingkan pula dengan suku bunga KPR BNI 6,75% (fixed rate dua tahun pertama), BRI 8% tahun pertama, BTN 8,75%, Bank Mandiri 10,99% (fixed rate 10 tahun) atau 12,25% (floating rate) dengan minimal tenor dua tahun.
Tujuh, pemanfaatan teknologi. Ini merupakan jurus jitu dalam mengerek tingkat efisiensi. Efisiensi tinggi menjadi senjata ampuh untuk memenangi persaingan perbankan yang makin sengit.
Delapan, sektor properti yang makin bergairah akan membangkitkan pula bisnis ikutan lainnya. Bahkan, sektor properti pun mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Untuk itu, upaya penyerapan tenaga kerja harus terus dikerek tinggi guna menekan tingkat pengangguran terbuka 5,28% per Agustus 2019.
Dengan aneka jurus andalan demikian, kredit properti, terutama KPR, bakal lebih gemerincing. (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat BUMN, pengamat perbankan, & mantan Assistant Vice President BNI