Mengelola Risiko Kredit

Mengelola Risiko Kredit

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder Institute of Social, Economic and Digital/ISED

KEJATUHAN sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) dan Eropa telah menyadarkan kembali pemikiran kalangan perbankan untuk memberikan perhatian lebih kepada upaya mengelola risiko kredit yang lebih mumpuni. Kesadaran untuk mengelola risiko kredit menjadi semakin penting bertepatan dengan akan dinormalisasikannya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit.

Maklum, ketidakpastian ekonomi yang masih berlangsung terus menjadi tantangan bagi bank dalam menilai kualitas kredit, terutama yang terkait dengan sektor-sektor ekonomi yang rentan. Praktik perkreditan yang prudent memungkinkan bank mengidentifikasi setiap potensi kenaikan risiko kredit secara konsisten dan tepat waktu, sehingga membentuk bagian integral dari manajemen risiko kredit.

Sejak masalah risiko kredit terkait pandemi COVID-19 mencuat pada kurun waktu 2020-2022 lalu, masalah risiko kredit terus menjadi fokus utama bagi otoritas perbankan di seluruh dunia. Maklum, risiko kredit diprediksi terus meningkat seiring dengan ketidakpastian ekonomi yang sedang berlangsung, potensi gagal bayar karena kenaikan suku bunga acuan oleh bank-bank sentral, lonjakan inflasi tinggi, dan volatilitas pasar keuangan. 

Kegagalan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur penurunan risiko kredit secara tepat waktu dan konsisten dapat menyebabkan kerugian bank di masa depan yang lebih tinggi dan ketidakcukupan modal yang dapat merusak kepercayaan di sektor perbankan. Dengan latar belakang ini, otoritas perbankan dituntut untuk terus memantau lebih ketat terhadap praktik bank, mengingat tantangan yang dihadapi bank dalam menangkap potensi penurunan kualitas kredit (oleh debitur dan rekanan bisnisnya). 

Otoritas pengawas harus menganggap penting bahwa bank telah mengadopsi pendekatan berkualitas tinggi dan kuat untuk pemodelan risiko kredit yang dapat diterapkan secara konsisten dari waktu ke waktu. Pandemi COVID-19 telah meningkatkan tantangan yang dihadapi bank dalam menilai kualitas kredit peminjam. 

Tiga Tantangan Utama

Area risiko kredit yang berpotensi meningkat terkait dengan tiga tantangan utama yang memerlukan pemantauan lebih lanjut oleh otoritas pengawas eksternal dan internal bank. Pertama, mengendalikan tata kelola seputar manajemen risiko kredit secara komprehensif dan up to date. Kedua, menangkap ketidakpastian ekonomi dan dampaknya bagi prospek usaha debitur. Ketiga, mengidentifikasi penurunan kualitas kredit di sektor-sektor ekonomi yang rentan atau berisiko tinggi. 

Ketiga tantangan ini secara bersama-sama dapat memengaruhi kemampuan bank untuk mengenali perubahan risiko kredit secara tepat waktu. Juga dapat memengaruhi kemampuan debitur dalam mengelola usahanya dan kemampuannya memenuhi kewajibannya kepada bank. 

Terkait tantangan yang kedua, maka bank-bank juga dihadapkan pada peningkatan risiko geopolitik. Peristiwa geopolitik baru-baru ini – ditandai oleh agresi militer Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022 lalu – mungkin telah memulai siklus baru kondisi kredit di saat risiko pandemi COVID-19 sepenuhnya belum tuntas. 

Perang di Ukraina telah menebarkan kekhawatiran baru dengan merebaknya ancaman krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan global. Ini ditandai oleh beberapa indikator yang kontraproduktif bagi pemulihan ekonomi global, yaitu kenaikan suku bunga acuan, lonjakan inflasi tinggi, dan volatilitas pasar yang tajam. 

Pada akhirnya bank-bank telah mengalami kesulitan dalam menilai bagaimana guncangan ekonomi memengaruhi portofolio kredit yang berbeda karena lingkungan risiko telah berkembang sedemikian pesat dan sangat berbeda dari masa lalu, yang mengarah ke risiko sistemik yang meningkat. 

Otoritas perbankan telah mengamati bahwa bank menerapkan berbagai pendekatan yang berbeda untuk menangkap dampak hambatan ekonomi makro pada debitur, terutama ketika data historis mungkin tidak mencerminkan prospek ekonomi saat ini karena distorsi atau disrupsi aktivitas ekonomi global. 

Tepat jika otoritas pengawas bank harus terus fokus pada dua area. Satu, bagaimana bank menggunakan kemampuan analisis sensitivitas mereka untuk memahami dampak penggunaan asumsi ekonomi alternatif pada estimasi provisi atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Dua, seberapa efektif proses bank dalam mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang rentan sekaligus memperhitungkan risiko ekonomi sektoral dalam estimasi pembentukan provisi.

Pada akhirnya, wajar jika bank terus menerapkan penyesuaian berbasis penilaian yang cukup besar untuk mengompensasi keterbatasan model dan data yang mencerminkan ekspektasi risiko kredit. Dalam konteks ini, selama kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit di masa krisis masih diberlakukan, beban risiko kredit yang ditanggung oleh bank-bank terasa lebih ringan. Namun, ketika normalisasi kebijakan diterapkan oleh otoritas perbankan sesuai tenggat waktunya, maka penerapan kebijakan yang lebih ketat harus segera dilakukan oleh bank-bank.

Di luar aspek kecukupan jaminan, karakter debitur, kecukupan permodalan dan kapabilitas debitur, maka aspek kondisi ekonomi terkini menjadi faktor penting untuk dianalisis kaitannya dengan prospek usaha debitur. Kemampuan pejabat kredit dalam melakukan asesmen kondisi makro-ekonomi domestik dan global menjadi krusial ketika volatilitas perekonomian global masih berlanjut supaya strategi pengelolaan risiko kredit menjadi lebih tepat guna dan tepat waktu (efektif dan efisien).

Sekiranya eskalasi persoalan perbankan semakin kompleks sehingga mendongkrak risiko kredit, maka stress testing harus dilakukan oleh bank-bank untuk mengidentifikasi kemampuan bank dalam menangkal risiko dan menyiapkan langkah-langkah mitigasinya. Otoritas pengawas bank harus mampu memastikan bahwa bank telah menekankan pentingnya melakukan analisis sensitivitas dalam menilai risiko kredit dan penggunaan data yang tepat yang dikumpulkan untuk dapat memahami pendorong utama penurunan kualitas kredit memengaruhi portofolio yang berbeda.

Catatan Penutup

Sejauh ini perkembangan ekonomi global belum menunjukkan arah pemulihan yang kuat dan pasti. Ini menjadi tantangan nyata yang harus diatasi oleh otoritas dan pelaku industri perbankan. Kebijakan perbankan pun harus diselaraskan dengan kebijakan moneter dan fiskal yang saling menopang secara sinergis untuk dapat menahan gejolak eksternal sehingga mampu meminimalkan risiko penurunan kualitas kredit.

Strategi manajemen risiko kredit oleh bank-bank harus terus diperkuat mengingat dinamika eksernal yang extraordinary dengan perubahan yang cepat dan sulit diprediksi. Sikap kehati-hatian yang lebih menjadi faktor kunci keberhasilan dalam mengelola risiko kredit di saat kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih dan stabil.

Kemampuan bank-bank dalam membukukan keuntungan bersih di masa pandemi yang lalu (2020-2022) merupakan buah keberhasilan dalam mengelola kualitas kredit tetap berada dalam kondisi lancar (performing loans) sejalan dengan pemberlakuan kebijakan restrukturisasi kredit di masa pandemi. Harmoni kebijakan moneter dan fiskal juga mampu menjadi stimulus yang baik bagi kalangan dunia usaha ditandai dengan kinerja yang tetap terjaga baik. 

Stabilitas ekonomi, moneter, dan keuangan yang tetap terjaga dengan baik di masa pandemi hingga saat ini menjadi bukti sahih keberhasilan orkestrasi kebijakan yang harmonis di antara ketiga otoritas, yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini menjadi modal berharga bagi seluruh pemangku kepentingan, khususnya pelaku usaha di sektor perbankan dan sektor riil, menjalani 2023 dan tahun-tahun berikutnya dengan lebih percaya diri. 

Bagaimanapun, kepercayaan diri tersebut tetap harus berlandaskan pada prinsip kehati-hatian yang lebih kuat bagi pelaku sektor perbankan, utamanya dalam melakukan mitigasi risiko kredit melalui tata kelola perkreditan yang baik, andal, dan teruji. Risiko akan selalu ada, tidak untuk dihindari, melainkan untuk dikelola dengan baik. Itulah watak bankir yang sejati. (*)

Related Posts

News Update

Top News