EKONOMI di banyak negara sedang kepayahan dihantam pandemi COVID-19. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia diprediksi bisa anjlok hingga 4% pada kuartal kedua 2020. Dunia usaha sangat berharap kondisi sulit pada kuartal kedua adalah kondisi tersulit yang sudah dilewati. Mimpi pada kuartal ketiga bisa mencetak turnaround terwujud asal krisis kesehatan bisa diselesaikan. Faktanya, pertumbuhan jumlah kasus COVID-19 masih tinggi dan sampai dengan tulisan ini dibuat sudah mencapai 50.000 orang. Dan, kenyataan inilah yang akan dilawan dengan menggaungkan era kenormalan baru (new normal) di mana pemerintah melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menciptakan interaksi manusia guna menggerakkan roda perekonomian.
Namun, karena kasus positif COVID-19 terus bertambah, maka stimulus fiskal sebesar Rp405,1 triliun yang diumumkan pemerintah pada akhir Maret pun menjadi tak cukup. Pemerintah sudah memperbesar anggaran stimulus fiskal menjadi Rp695 triliun, bahkan sudah melaporkan ke legislatif akan menambah anggaran stimulus menjadi Rp950 triliun. Artinya, Indonesia sedang mengarungi skenario berat dan pandemi COVID-19 diproyeksikan masih akan berlangsung hingga September. Bahkan, jika menggunakan asumsi pemerintah dengan pertumbuhan PDB flat atau minus sudah masuk skenario sangat berat. Infobank Institute memprediksi pertumbuhan PDB kuartal ketiga masih minus 1% hingga 2%, atau lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang diperkirakan anjlok hingga 4%. Semula pemerintah membuat skenario berat adalah PDB 2020 tumbuh 2,3%. Namun, sejumlah lembaga memprediksi pertumbuhan PDB sampai dengan akhir tahun flat bahkan minus 2,8% hingga 3,9% seperti diprediksi OECD.
Kendati penurunan PDB tak lagi sedalam kuartal kedua, para pelaku usaha banyak yang sudah kesulitan cash flow. Sejumlah sektor usaha terkena dampak langsung, seperti pariwisata, jasa transportasi, dan manufaktur seperti otomotif dan tekstil, yang sudah memangkas karyawannya. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang biasanya mampu mengarungi krisis kali ini kesulitan menahan pukulan dampak krisis kesehatan. Sektor perbankan pun dengan cepat terkena imbas akibat banyak debiturnya yang sesak napas. Kendati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melonggarkan kebijakan restrukturisasi kredit sehingga non performing loan (NPL) tampak terjaga, tapi bank-bank menyimpan potensi kredit bermasalah yang bisa terkuak ketika kebijakan countercycledampak COVID-19 dari OJK berakhir Maret 2021.
Menurut OJK, potensi restrukturisasi perbankan mencapai Rp1.352,52 triliun. Adapun per medio Juni lalu sudah terealisasi dengan outstanding Rp655,84 triliun yang diberikan 102 bank terhadap 6,27 juta debitur. Dari jumlah tersebut, outstanding restrukturisasi UMKM sebesar Rp298,8 triliun untuk 5,17 juta debitur dan non-UMKM sebesar Rp356,98 triliun untuk 1,1 juta debitur. Itu belum termasuk restrukturisasi di perusahaan pembiayaan yang sebesar Rp121,92 triliun dengan 3,4 juta kontrak disetujui dan 507,4 ribu kontrak yang masih dalam proses persetujuan.
Demikian, bank-bank harus mewaspadai sumber kerentanan dari aspek likuiditas dan kualitas kredit. Bagaimana peta pelayanan nasabah di masa pandemi dan aspek-aspek apa saja yang ikut memengaruhi daya tahan bank dalam mengarungi pandemi? Bank mana terbaik dalam pelayanan prima menurut BSEM 2020? Semuanya dibahas tuntas dalam Majalah Infobank edisi Juli 2020. (*)