Mengapa Kookmin Bank Masuk ke Bukopin

Mengapa Kookmin Bank Masuk ke Bukopin

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

ISU kepemilikan asing di perbankan Indonesia kembali ada yang menghembuskan ketika Kookmin Bank menambah porsi kepemilikannya di Bank Bukopin. Kookmin Bank adalah bank terbesar di Korea Selatan yang berkomitmen memperkuat permodalan Bank Bukopin. Mereka siap menjadi pemegang saham pengendali (PSP) menggantikan Bosowa Corporindo, kelompok usaha yang dimiliki M. Aksa Mahmud, ipar mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Kookmin Bank adalah pemegang saham terbesar kedua sebesar 21,99% setelah Bosowa yang menguasai 23,95% saham Bank Bukopin. Pemegang saham lainnya adalah Kopelindo 5,25%, pemerintah Indonesia 8,91%, dan public 40,43%.

Masuknya Kookmin Bank menambah deretan investor asing di perbankan nasional. Menurut data Biro Riset Infobank, ada 16 negara yang banknya beroperasi di pasar Indonesia melalui kepemilikannya di 38 bank. Namun, bank-bank milik pihak asing belum bisa menandingi kekuatan empat bank milik pemerintah yang memiliki market share 40% ditambah 41 bank swasta milik investor domestik dengan market share 21% dan 27 bank daerah dengan market share 8%. Bahkan, pada kurun waktu 2014-2019 banyak bank milik pihak asing mengalami tekanan berat akibat terlalu agresif sehingga terjadi penurunan kualitas kreditnya.

Pemain papan atas seperti Bank CIMB Niaga dan Bank Danamon yang mengalami penurunan laba pada 2015, lalu PermataBank merugi hingga Rp6 triliun pada 2016. Bahkan, Bank of India Indonesia (BOII) mengalami kerugian berturut-turut 2015 hingga 2017, dan QNB Bank merugi dua tahun berturut-turut 2016 dan 2017. Namun, dengan dukungan pemiliknya mereka dengan cepat bisa mengatasi masalah sehingga tidak sampai tersiar kabar mengalami persoalan likuiditas. Per 2019 lalu, BOII dan QNB mencatat CAR masing-masing 21,08% dan 45,85%.

Bandingkan dengan bank milik investor domestik yang mengalami masalah yang sama namun berlarut-larut penyelesaiannya. Misalnya Bank Banten yang mengalami kerugian bertahun-tahun sejak 2014 tapi pemerintah provinsi Banten sebagai pemiliknya enggan memasukkan modal segar untuk mengatasi solvabilitas dan likuditasnya yang tergerus oleh kerugian yang dialaminya selama ini. Pemilik malah mengibarkan “bendera putih” dan meminta pemrov Jawa Barat untuk membantu Bank Banten melalui Bank BJB. Kendati belakangan Pemrov Banten memutuskan untuk menyuntik dana Rp1,9 triliun, namun itu bukan dana segar, melainkan konversi dana pemrov yang menggantung dan dikonversi menjadi modal sehingga Bank Banten masih menghadapi masalah likuiditas.

Hal ini juga yang menimpa Bank Bukopin. Penyehatan Bank Bukopin berlarut-larut karena Bosowa Corporindo sebagai PSP enggan menambah modal. Bosowa dikabarkan malah melobi pemerintah untuk menyelamatkan banknya sehingga posisinya sebagai PSP di Bank Bukopin tidak terdilusi. Dan entah dari mana asalnya, ada isu rush di Bank Bukopin yang sengaja dihembuskan agar pemerintah yang sedang sibuk mengatasi pandemic COVID-19 dan dampak ekonominya segera turun tangan menyelamatkan Bank Bukopin.

Beruntung, desakan OJK untuk meminta para pemegang saham menginjeksi modal ke Bank Bukopin melalui Penawaran Umum Terbatas ke-V direspon cepat oleh Kookmin Bank sebagai pemegang saham terbesar kedua dengan menempatkan dana di escrow account sebesar US$200 juta. Kookmin juga menyatakan komitmennya untuk menambah modal lagi untuk menguasai 67% saham Bank Bukopin. Perlu diingat bahwa perbankan adalah sektor usaha yang sangat capital intensive. Ketika asetnya tumbuh saja harus tambah modal apalagi ketika kualitas asetnya turun sehingga bank harus menyisihkan pencadangan kerugian. Maka tidak mengherankan ketika bank-bank di Indonesia membuka penawaran umum terbatas maupun mencari investor strategis, maka investor asinglah yang memiliki kemampuan besar untuk berinvestasi.

Ketika Bank Bukopin membutuhkan modal segar dan melakukan PUT V, kenyataannya Kookmin Bank yang dengan cepat mengambil kesempatan, bukan pemodal domestik. Lalu ketika Standard Chartered Bank dan Astra Internasional menjual 88% saham mereka di PermataBank, kenyataannya Bangkok Bank yang mau membelinya dengan nilai Rp33,3 triliun, bukan investor domestik.

Sektor perbankan yang sangat padat modal memang membutuhkan investasi baik domestik maupun asing agar tumbuh sehat dan stabil. Di luar diskusi soal kepemilikan asing di perbankan Indonesia ada persoalan yang lebih penting untuk diselesaikan yaitu bagaimana memulihkan ekonomi yang terkena dampak pandemi COVID-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional tidak sampai goyang. Bahwa bank itu milik asing atau nasional itu tidak menjadi soal, yang penting lembaga perbankan bisa disebut berguna apabila bisa ikut memulihkan ekonomi serta menjaga stabilitas sistem perbankan.
Perbankan tidak bisa menghindari dampak COVID-19 yang diprediksi akan lama sehingga para pemilik bank harus memiliki peranan penting untuk mendukung kinerja dan daya tahan bank. Lagipula bank yang yang dimiliki pihak asing umumnya sudah menjadi bank publik. Sehingga misalnya Kookmin Bank yang menjadi pemegang saham mayoritas tetap harus membagi sukses Bank Bukopin sebagai bank publik ke investor-investor Indonesia. Yang lebih penting lagi adalah Bank Bukopin tetap berperan dalam perekonomian Indonesia melalui pengembangan sektor UMKM yang menjadi kompetensinya selama ini. Dan yang juga perlu diperhatikan adalah generasi manager termasuk CEO ke depannya harus tetap diberi kesempatan pada orang Indonesia. Kookmin Bank melalui Bank Bukopin harus ikut mendidik bankir-bankir Indonesia untuk menjadi global banker. (*)

Related Posts

News Update

Top News