Mengapa DPR Terkesan Terburu-Buru Melakukan Fit and Proper Test ADK OJK?

Mengapa DPR Terkesan Terburu-Buru Melakukan Fit and Proper Test ADK OJK?

 

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank

MULAI 5 April 2022 Anggota Komisi XI DPR RI akan memulai fit and proper test (FnP) atau uji kelayakan dan kepatutan calon Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (ADK OJK). Jarak antara surat Presiden ke uji kelayakan dan kepatutan ini dinilai terlalu cepat. Ada kesan terburu-buru. Padahal, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2011 tentang OJK dimungkinkan ada waktu 45 hari.

Sejumlah anggota dari seluruh fraksi DPR RI yang dihubungi Infobank tidak memberi jawaban yang jelas, selain memang mulai 14 April 2022 – 14 Mei 2022  merupakan masa reses di DPR. Jadi, itulah mengapa DPR buru-buru. Bayangkan. Penentuan ADK OJK yang super penting pun hanya sekilas karena alasan reses – yang sebenarnya bisa ditunggu sampai masa sidang berikutnya. Masih cukup waktu 45 hari kerja, (bukan kalender) jika surat dari Presiden tertanggal 22 Maret 2022.

Tapi, prinsipnya memang DPR RI tidak melanggar UU OJK itu. Hanya 14 hari kerja DPR sudah memastikan tanggal FnP, yaitu tanggal 5 April 2022 hingga 7 April 2022. Hanya tiga hari untuk 14 calon yang disodorkan Presiden Joko Widodo dua pekan lalu. Kabarnya, tanggal 8 April 2022 sudah ketok palu siapa-siapa yang akan menjadi ADK. Relatif sangat cepat dibandingkan dua periode sebelumnya.

Waktu UU Nomor 11 Tahun 2011 dibuat dulu, menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), memberikan waktu 45 hari kerja itu tak lain agar anggota DPR RI dapat masukan yang banyak. Jadi, pemberian waktu 45 hari agar DPR tak salah pilih. Punya waktu lebih banyak. Misalnya, sebelum melakukan FnP, DPR dapat memanggil seluruh stakeholder untuk dimintai keterangan, atau masukan.

Misalnya, jika perbankan. Ada baiknya DPR memanggil Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Juga, bisa memanggil para pengamat ekonomi dan perbankan yang selama ini mengikuti isu-isu penting soal perbankan dan dunia usaha.

Hal yang sama juga untuk pengawasan industri keuangan non bank (IKNB). Ada Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), ada juga Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Untuk sektor multifinance, ada Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Indonesia dan beberapa asosiasi di bidang pasar modal. Sektor IKNB beragam, melibatkan banyak pemain dan sektor industri yang tak sama, misalnya juga industri fintech dengan pinjol-nya yang menonjol.

Pemanggilan industri ini penting, paling tidak dapat mendengar keluhan dan ide dari indutri yang membayar operasional OJK termasuk untuk membangun gedung-gedung OJK yang mewah di seluruh Indonesia. Sekilas tampak sama sekali tidak mau mendengar suara-suara industri.

Gerak cepat itu juga  dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel). Bakan, juga terkesan cepat dalam melakukan rekam jejak, hanya berdasarkan masukan – yang bisa jadi kampanye hitam dalam persaingan. Model begini sangat rentan fitnah, karena para calon tidak diberi ruang untuk melakukan klarifikasi. Atau, karena memang nama-nama calon sudah dikantongi Pansel. Kalau toh ada nama baru, itu tidak dominan. Pansel telah bekerja sangat keras dan sampai larut malam, namun kesan bahwa nama sudah ada dikantong tidak bisa dihindari.

Bahkan, kesan terburu-buru, baik yang dilakukan Pansel maupun DPR, tetap kasatmata. Bahkan, jika terpilih lebih awal, maka para karyawan OJK bisa jadi akan tidak bersemangat lagi, cenderung tidak mendengar para atasan, dan bisa liar, karena dalam tiga bulan ke depan sudah ganti bos. Idealnya, waktu penunjukan didekatkan dengan waktu pelantikan di bulan Juli 2022.

Selain masa reses, ada apa, kok DPR RI seperti tergesa-gesa? Setidaknya ada beberapa kemungkinan. Satu, agar calon jadi yang “digadang-gadang” tidak masuk angin. Lebih cepat, lebih bagus. Dua, DPR tidak perlu masukan dari stakeholder, karena masukan dianggap tidak ada gunanya jika para ketua partai sudah menetapkan calonnya. Tiga, bisa jadi anggota DPR sudah punya informasi yang lengkap soal ke-14 calon ADK OJK.

Jadi, tidak perlu lagi meminta masukan dari stakeholder. Padahal, untuk sekelas komisioner OJK yang mengelola aset sektor keuangan Rp13.127 triliun sangatlah strategis. Tidak bisa asal pilih. Para angota komisioner OJK tugasnya jauh lebih berat daripada BI ataupun KPK sekaligus.  Jadi, mereka adalah orang pilihan luar dalam. Lembaga OJK yang superbody tugasnya tidaklah ringan, karena harus bisa memastikan industri keuangan dalam kondisi sehat.

Belum lagi menyangkut perkembangan digital yang melibatkan sektor keuangan. Ada banyak kasus tentang “begal” cyber dan “tuyul” digital. Juga, tak sedikit “pesugihan” digital dan “rentenir” online. Dunia sudah berubah, makanya diperlukan sosok komisioner yang disegani dan punya karakter kuat agar kredibilitas dapat dibangun.

Harapannya, meski tanpa masukan stakeholder, DPR dapat menemukan orang-orang pilihan. Tugas ini ada pada anggota Komisi XI DPR RI, yang jumlahnya 53 anggota, di mana PDI-P, Partai Golkar, dan Gerinda sudah cukup untuk memenangkan plus satu partai lainnya.

Ada tiga skenario dalam pemilihan. Satu, kabarnya, sudah ada paket. Jika demikian, maka FnP pada minggu ini bagian dari “drama politik”. Namun, bisa jadi kabar itu tidak benar, karena DPR merupakan unsur terpenting dalam proses pemilian ADK OJK ini. Paket Presiden ini kabarnya sudah “disetujui” oleh para ketua partai.

Dua, DPR bisa saja mengubah susunan. Atau, paling tidak – antara Mahendra Siregar dan Darwin Cyril Noerhadi. Siapa pun yang tidak terpilih menjadi ketua bisa ikut dalam pos-pos lainnya. Hal ini bisa terjadi karena dalam UU OJK dimungkinkan. Calon ketua bisa ikut seleksi berebut kursi dengan ADK yang lainnya.

Hal itu yang tidak dilakukan DPR RI dalam pemilihan ADK OJK periode 2017-2022 lalu. Sigit Pramono, calon nomor 1 dari Pansel dan diubah oleh Presiden menjadi nomor 2 tak diikutkan pemilihan, karena tidak masuk dalam paket pemenang. Akibatnya, meski nomor 1, dia harus kalah secara politik.

Perubahan oleh DPR dimungkinkan, meski kecil. Bahwa paket sudah ditentukan oleh para “dewa” ketua partai dan Presiden. Itulah mengapa DPR seperti tukang stempel dari Istana saja.

Tiga, adalah gabungan dari “paket jadi” dengan sedikit modifikasi oleh anggota DPR diberi sedikit keleluasaan untuk memilih dua atau tiga posisi ADK OJK. Misalnya, 5 kursi pilihhan Istana dan sisanya ditentukan DPR.

Dari ketiga skenario itu sangat mungkin, namun skenario paling mendekari bisa jadi skenario pertama yang lebih memungkinkan. Atau, power sharing dengan DPR, skenaro ketiga bisa jadi mungkin, yaitu DPR tidak menerima paket secara 100 persen.

Siapa pun yang terpilih, mereka perlu mendapat dukungan. Paling tidak mereka yang bisa mengangkat moral karyawan OJK yang sedang sedih, karena para deputi komisionernya tidak lolos. Dan, hanya menyisakan dua orang calon. Paling tidak para komisioner OJK yang akan datang dapat menjadi payung bagi seluruh pengawas OJK. Hari-hari ini, jajaran OJK merasa kalah dari BI dan Kemenkeu.

Jangan biarkan OJK jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak punya karakter, miskin integritas. Para komisioner OJK tak hanya dituntut punya kapabilitas dan kapasitas, tapi juga berani mengambil keputusan di tengah kekuasaan yang kuat, dan oligarki ekonomi yang makin solid. Bahkan, uang dan kekuasaan telah bercampur jadi satu. Konglomerasi keuangan bukan hanya sebatas kepemiikan perusahaan anak, tapi juga melibatkan beking politik.

Salah satu ujian berat komisioner OJK di sektor perbankan tak lain akan berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit di Maret 2023. Dan, lebih berat lagi, ketika pemerintah menyodorkan proposal agar restrukturisasi kredit tidak mengenal batas waktu. Itu tantangan bagi komisioner OJK yang baru.

Proposal perpanjangan dari pemerintah itu bisa dikatakan bentuk dari “intervensi” secara halus. Sebab, referensi kebijakan soal perbankan tidak hanya urusan dalam negeri, tapi juga ada Basel yang mengatur. Sementara, saat ini urusan restrukturisasi memang ada batas waktunya. Dan, mau tak mau restrukturisasi tanpa batas waktu itu “bom waktu”. Restrukturisasi tanpa batas waktu rawan moral hazard.

Semua berharap, independensi OJK dalam pengawasan industri keuangan adalah syarat mutlak. Independensi dibutuhkan agar industri tak “kalang-kabut” menghadapi badai ketidakpastian dunia. Juga, inflasi, dan tingginya suku bunga. Perubahan tata ekonomi akibat perang Ukraina-Rusia menjadi tekanan bagi ekonomi Indonesia. Harga BBM dan gas pada akhirnya menjadi sumber kesulitan masyarakat dan berimbas pada sektor keuangan dan perbankan.

Semoga, kesan terburu-buru dalam melakukan FnP oleh DPR bukan bagian dari “telenovela” kekuasaan. Apakah Pansel efektif untuk meminimalkan risiko dari intervensi politik?  Siapa pun punya kepentingan. Sebab, interest rate selalu lebih rendah daripada conflict of interest.

Semoga komisioner OJK punya wibawa, tetap independen dan tidak secara psikologis di bawah Bank Indonesia dan Kemenkeu – meski diseleksi oleh dominasi dua lembaga itu. Dan, ke depan segera melakukan revisi UU No.11 Tahun 2011 tentang OJK – yang salah satu unsur penting soal pemilihan komisioner OJK. Juga, soal silo-silo karena masing-masing komisioner OJK punya kesultanan sendiri. Padahal, lahirnya OJK untuk pengawasan konglomerasi.

Dua kali kegagalan petinggi OJK dalam seleksi ADK OJK boleh jadi merupakan renungan sendiri. Apalagi, dua periode pemilihan ADK OJK, ketua Panselnya tetap sama, yaitu Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI. Perlukah OJK “diruwat” agar lebih berwibawa sehingga dipercaya Pansel di periode 2027-2032 mendatang.

Jadi, kembali kepada “tergesa-gesanya” DPR dalam melakukan FnP ini juga dapat dilihat sebagai bentuk kepasrahhan DPR terhadap pilihhan Istana. “Sak karepmu” atau terserah apa mau Istana. Bayangkan saja pemilihan ADK OJK dilakukan secara cepat hanya karena alasan reses. Dan, industri yang membayar iuran pun bisa bilang. “Sak karepmu”. (*)

Related Posts

News Update

Top News