Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom
Sebagai dampak penanganan pandemi Covid-19 yang mengglobal, sejumlah negara telah memperbesar porsi utangnya baik bersumber dari luar negeri maupun dari domestik. Sejumlah lembaga internasional berharap peningkatan utang di negara-negara berkembang (Emerging Markets/EMs) dan negara-negara berkembang dengan tingkat pendapatan rendah (The Least Developed Countries/LDCs) dapat ditekan untuk menghindari potensi gagal bayar atau default.
Sebagai contoh, kelompok LDCs membutuhkan setidaknya US$450 miliar untuk meningkatkan respons belanjanya untuk penanganan dampak pandemi Covid-19, terutama merehabilitasi perekonomian, meningkatkan cadangan devisa serta memperbaiki berbagai kerusakan ekosistem ekonomi dan bisnisnya.
Terdapat 20 negara EMs paling berisiko terhadap beban utangnya, diantaranya di kawasan Afrika (Mesir, Zambia, Afrika Selatan, Tunisia, Angola, Ghana, Mozambik), kawasan Asia (Sri Lanka, India, Pakistan), kawasan Amerika Latin (Suriname, El Salvador, Kosta Rika, Trinidad dan Tobago, Panama, Brasil, dan Argentina), kawasan Timur Tengah (Lebanon, Bahrain, Yordania) dan kawasan Asia (Sri Lanka, Pakistan, India).
Sementara itu, sebagian besar negara di benua Afrika masuk kategori LDCs berdasarkan peringkat Human Development Index (HDI), sepuluh diantaranya Niger, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Chad, Burundi, Sierra Leone, Burkina Faso, Mali, Liberia, dan Mozambique.
Kini negara-negara dan lembaga kreditur internasional memberikan perhatian khusus pada kelompok EMs dan LDCs dengan beban bunga atau amortisasi tahunan yang tinggi pada utang luar negeri berdenominasi valuta asing sebab terkait dengan kerentanan nilai tukar yang segnifikan.
Memang sudah dikeluarkan kebijakan relaksasi restrukturisasi utang oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan negara/lembaga kreditur internasional terhadap EMs dan LDCs, namun langkah ini merupakan solusi jangka pendek untuk mengurangi beban utang negara-negara debitur.
Alokasi dana Special Drawing Rights (SDR) sebesar US$650 miliar dari IMF juga merupakan langkah yang benar untuk menyehatkan kembali perekonomian negara-negara debitur. Namun, langkah ini pun hanya memberikan keringanan yang sifatnya temporer, yaitu penundaan pembayaran utang, bukan pemutihan utang (debt relief), yaitu tindakan menghapus separuh atau seluruh utang negara.
Dalam hal ini, gagasan Common Framework yang dikoordinasikan IMF dengan tujuan menawarkan persyaratan restrukturisasi yang adil dan transparan bagi semua kreditur dengan pendekatan case by case merupakan jalan keluar yang tepat. Hanya saja, dibutuhkan koordinasi, transparansi, dan aksesibilitas bagi kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur, untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang yang win-win solution.
Secara keseluruhan, lembaga-lembaga kreditur internasional tidak berharap adanya tsunami gagal bayar utang di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Manajemen Utang di Indonesia
Data Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia (gabungan ULN pemerintah dan swasta) sampai dengan April 2021 sebesar 418 miliar dolar AS atau setara Rp 5.977,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS). Posisi tersebut tumbuh 4,8% year on year (yoy) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun demikian, pertumbuhan ULN tersebut melambat jika dibandingkan bulan sebelumnya, yakni sebesar 7,2% yoy.
Perkembangan tersebut didorong oleh perlambatan pertumbuhan posisi ULN pemerintah dan ULN swasta. Posisi ULN pemerintah sampai dengan April 2021 sebesar 206 miliar dolar AS atau setara Rp 2.945,8 triliun. Posisi itu tumbuh 8,6% yoy, lebih lambat dibandingkan Maret 2021 yang tumbuh 12,6%. Pertumbuhan utang tersebut terjadi dengan adanya penarikan neto pinjaman luar negeri yang digunakan untuk mendukung pembiayaan program dan proyek pemerintah.
Posisi ULN pemerintah sebesar 206,0 miliar dolar AS tersebut relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN dalam jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN Pemerintah. Sementara itu, posisi ULN swasta sampai dengan April 2021 sebesar 209 miliar dolar AS atau setara Rp 2.988,7 triliun. Posisi utang tersebut tumbuh 1,2% yoy, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 2,6%.
Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan.
Dengan demikian, secara umum posisi total ULN Indonesia per April 2021 tetap terkendali, tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 37,9%, menurun dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 39,1%. Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh dominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 89,2% dari total ULN.
Manajemen Utang yang Prudent dan Credible
Jika dalam pengelolaan ULN terbilang masih aman dan terkendali, bagaimana dengan manajemen utang pemerintah secara menyeluruh (termasuk utang non-ULN)? Maklum, perkembangan posisi utang pemerintah akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan publik.
Di masa pandemi saat ini, rujukan legalitas pemerintah dalam mengelola utang yang cenderung meningkat, bahkan memperlebar defisit anggaran, adalah UU No. 2 Tahun 2020 (tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang).
Contohnya, defisit APBN yang semula dibatasi 3% dari PDB dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% terhadap PDB oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020 yang kini telah menjadi UU No. 2/2020. Menurut UU ini, defisit melebihi 3% dari PDB tersebut dibatasi hanya sampai 2022. Pada 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3% dari PDB.
Jadi, merupakan langkah tepat dan responsif jika pemerintah mematok defisit anggaran pada 2023 berkisar 2,71% hingga 2,97% dari PDB. Outlook defisit tersebut selaras dengan batas waktu kewenangan pemerintah untuk memperlebar defisit di atas 3% dari PDB. Artinya, mulai 2023 pemerintah harus merujuk kembali pada ketetapan UU Nomor 17 tahun 2003 yang mengatur batas defisit APBN sebesar 3% dari PDB. Di sinilah porsi utang sebagai salah satu sumber pembiayaan harus dapat dikelola dengan prudent, kredibel, efisien dan efektif.
Secara teoritis, utang adalah hal yang baik apabila dikelola dengan baik. Setiap rupiah utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang seperti membangun infrastruktur, membiayai pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak berlipat untuk generasi mendatang.
Adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia ditandai lebih dari dua juta penduduk terinfeksi membutuhkan penanganan lebih serius sehingga mendorong pemerintah menambah alokasi anggaran sektor kesehatan. Inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara sehingga menimbulkan defisit yang melebar untuk menopang ketahanan sektor kesehatan dan ekonomi.
Defisit tersebut ditutupi melalui pembiayaan atau utang yang sejauh ini perkembangan utang masih relatif aman karena dikelola terutama untuk belanja produktif secara prudent. Di saat pandemi, tambahan utang tak terelakkan sebagaimana terjadi di negara-negara lain. Sepanjang peningkatan porsi utang dikelola dengan amanah, prudent dan produktif, maka kredibilitas pemerintah tetap bisa dijaga, sekaligus menepis kekhawatiran publik. Apalagi saat ini sejatinya porsi ULN terus mengecil karena dikompensasi oleh utang domestik sebagai bagian strategi manajemen utang yang prudent. Dengan strategi ini, risiko utang dari nilai tukar dapat ditekan apabila terjadi gejolak eksternal yang kuat.
Upaya pemerintah melalui Kemenkeu melakukan kebijakan konversi ULN, yakni dengan mengubah utang dalam dolar AS dan suku bunga mengambang (berbasis LIBOR) menjadi utang dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0% untuk mengurangi risiko dan beban bunga ke depan, juga merupakan strategi diversifikasi utang yang tepat.
Selain itu, upaya menekan beban utang juga dilakukan pemerintah melalui penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) pada 2020 lalu berkisar 250 bps mencapai 5,85% di akhir tahun atau sudah turun 17% sejak awal tahun 2021 (year to date).
Upaya menekan biaya utang melalui sinergi dengan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan burden sharing untuk membiayai penanganan pandemi dimana BI ikut menanggung biaya bunga utang, juga merupakan salah satu ikhtiar pemerintah yang baik.
Komitmen pemerintah untuk senantiasa mengelola utang secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global sebagai dampak pandemi, patut diapresiasi. Paralel dengan itu, upaya meningkatkan sumber penerimaan dari perpajakan juga menjadi penting meskipun pemerintah bersama dengan seluruh pelaku usaha sedang berjuang keras mengatasi dampak pandemi. Reformasi perpajakan yang sedang dikerjakan bisa menjadi salah satu strategi mengurangi ketergantungan dari utang, lebih-lebih ULN.
Akhirnya, rasio-rasio ambang batas (treshold) besaran porsi utang sebagaimana diatur secara international best practices maupun menurut ketentuan perundang-undangan di dalam negeri harus selalu dijadikan pedoman prudensial bagi pemerintah dalam pengelolaan utang. (*)