Jakarta – Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) DKI Jakarta menilai bahwa kejadian kebakaran di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang, Jakarta Utara, sebagai tragedy of open access akibat pembiaran yang terjadi selama puluhan tahun.
“Musibah ini merupakan dampak dari adanya kesalahan bersama yang kita diamkan selama berpuluhpuluh tahun. Upaya penyelesaian masalah ini tidak langsung ke akar persoalan. Yang ada hanya solusi yang dianggap paling populis,” kata Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) DKI Jakarta Adhamaski Pangeran dikutip, Kamis, 9 Maret 2023.
Menurutnya, saat ini berkembang wacana dua alternatif solusi, yakni relokasi Depo Pertamina dan relokasi warga sekitar. Namun, bagi IAP DKI Jakarta, keduanya tidak bisa dipisah. Opsi alternatif relokasi Depo Pertamina harus tetap dibarengi dengan program penataan ulang kawasan permukiman di Kampung Tanah Merah.
“Bagaimanapun, 34 ribu jiwa adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk bermukim Prinsipnya penataan ulang Kampung Tanah Merah adalah menggeser, bukan menggusur, yang harus diikuti dengan reforma agraria,” jelas Adhamaski.
Masih menurutnya, peristiwa kebakaran ini secara jelas juga menggambarkan situasi yang tidak aman di kawasan tersebut. “Negara harus hadir dalam tata ulang di Kampung Tanah Merah. Apalagi, kawasan itu tercatat masih merupakan tanah negara,” ujarnya.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah adalah milik negara dengan status hak guna bangunan atas nama Pertamina. Total tanah negara di kawasan tersebut seluas 153 hektare. Dari total luas lahan tersebut, Depo Plumpang berdiri di area seluas 72 hektare. Sedangkan masyarakat menempati sisanya seluas 81 hektare.
“Tragedi Plumpang akibat pembiaran yang terjadi bertahun-tahun ini menyiratkan absennya perencanaan jangka panjang dan pengendalian tata ruang,” kata Adhamaski.
Lebih jauh Adhamaski berpendapat, potret sengketa ruang yang terjadi di Plumpang merupakan efek puncak gunung es. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang berlaku di Jakarta saat ini seharusnya menjabarkan dan memastikan fungsi kawasan sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bekerja sesuai rencana.
Namun, RDTR ini justru mendahului beleid yang lebih tinggi, yakni RTRW. Padahal, RTRW berfungsi sebagai kompas pembangunan Jakarta. Hal ini membuat seakan buffer zone di sekitar objek vital negara menjadi hilang.
“Secara prinsip RTRW mengatur fungsi kawasan, sedangkan RDTR memastikan fungsi tersebut benar-benar ada. Jadi, penting sekali Kota Jakarta memiliki RTRW seiring hadirnya RDTR yang sudah sangat akomodatif,” kata Adhamaski.
Ke depan, IAP DKI berharap perencanaan dan pengendalian tata ruang menjadi panglima pembangunan. “Hal ini sebagai arah pembangunan dan memastikan tujuan pembangunan bisa terlaksana dengan baik,” pungkas Adhamaski.(*)