Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
DALAM salah satu blog Badan Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) edisi 16 Oktober 2023 lalu, tentang pandangan baru di perbankan global menyoroti risiko dari suku bunga yang lebih tinggi dan lebih lama, disampaikan adanya sinyal awal bahwa suku bunga yang lebih tinggi telah mengekspose kerentanan di beberapa bank, dan banyak lagi yang akan dilemahkan oleh periode kebijakan moneter ketat yang berkepanjangan (higher for longer).
Bank-bank sentral dapat mempertahankan suku bunga lebih tinggi lebih lama karena mereka berjuang untuk mengekang inflasi yang tetap tinggi di banyak negara, meskipun langkah itu memperlambat ekonomi negara mereka sendiri.
Lingkungan dinamis seperti itu belum pernah dihadapi pasar keuangan dunia dalam satu generasi. Itu berarti otoritas sektor keuangan harus terus mempertajam alat analisis dan respons kebijakannya untuk mengatasi ancaman yang muncul.
Dalam dua tahun terakhir dan berpeluang berlanjut di 2024 nanti, beberapa risiko diperkirakan akan mengiringi perbankan global (dan juga perbankan Indonesia). Risiko yang dimaksud di antaranya risiko suku bunga acuan tinggi, risiko ketegangan geopolitik, risiko lonjakan harga minyak, risiko krisis biaya hidup, dan risiko fragmentasi atau divergensi ekonomi dunia.
Ujung dari akumulasi dan kombinasi krisis tersebut adalah melemahnya perekonomian yang berimbas ke sektor keuangan (termasuk perbankan) dan dipungkasi dengan kenaikan rasio pinjaman bermasalah (non performing loan/NPL) karena pengusaha dibekap kesulitan likuiditas dan profitabilitas.
Baca juga: Jadi Bank Global, Bagaimana Nasib Segmen Pensiunan Bank BTPN?
Oleh karena itu, penting bagi kalangan perbankan untuk secara disiplin dan periodik meningkatkan alat pengujian (tools of stress test) untuk fokus pada efek risiko-risiko yang disebutkan di atas, terutama risiko kenaikan suku bunga acuan dan risiko stagflasi ekonomi.
Adanya agenda politik di 2024 nanti di beberapa negara terkait pemilihan presiden (pilpres) – sebut saja di Amerika Serikat (AS) dan Indonesia – juga harus menjadi perhatian karena hasil elektoralnya boleh jadi akan mengubah konstelasi ekonomi ke depan terkait dengan “penyesuaian” berbagai kebijakan di bidang ekonomi.
Risiko Suku Bunga Tinggi
Banyak analisis menyimpulkan bahwa stance kebijakan suku bunga tinggi melalui kebijakan moneter ketat (hawkish policy) masih akan berlanjut, setidaknya hingga akhir semester pertama 2024 nanti. Jargon “higher for longer” menjadi trending topic di berbagai negara di tengah upaya pemulihan ekonomi di berbagai negara, terutama di negara-negara maju.
Konon kenaikan suku bunga acuan merupakan risiko bagi bank, meskipun banyak yang diuntungkan dengan mengumpulkan suku bunga yang lebih tinggi dari peminjam (sisi debitur) sambil menjaga suku bunga deposito tetap rendah (sisi penyimpan dana). Kerugian pinjaman juga dapat meningkat karena konsumen dan bisnis sekarang menghadapi biaya pinjaman yang lebih tinggi, terutama jika mereka kehilangan pekerjaan atau pendapatan.
Selain pinjaman, bank berinvestasi dalam obligasi dan surat utang lainnya, yang kehilangan nilainya ketika suku bunga acuan naik. Bank mungkin terpaksa menjual instrumen surat utang tersebut dengan kerugian (cut loss) jika dihadapkan dengan penarikan setoran mendadak atau tekanan pendanaan lainnya. Kegagalan Silicon Valley Bank di AS adalah contoh dramatis dari kanal kerugian obligasi tersebut.
Sejauh ini sistem perbankan global tampak tangguh secara luas, mengacu pada hasil uji stres (stress test) terhadap hampir 900 pemberi pinjaman di 29 negara. Demikian menurut uji stres global baru yang dirilis blog IMF: Global Financial Stability Report, “A New Look at Global Banking Vulnerabilities”. Menurut kajian ini, teridentifikasi 30 kelompok perbankan dengan tingkat modal rendah, bersama-sama menyumbang sekitar 3% dari total aset bank global.
Baca juga: Bank Asing yang Kalah di Pasar Konsumer, Akhir dari Kehebatan Citibanker?
Namun, jika dilanda stagflasi parah – inflasi tinggi dengan kontraksi ekonomi global 2% – ditambah dengan suku bunga bank sentral yang lebih tinggi, maka kerugian kelompok bank tersebut akan jauh lebih besar. Jumlah lembaga keuangan yang lemah akan meningkat menjadi 153 dan menyumbang lebih dari sepertiga total aset bank global. Ini tidak termasuk Tiongkok, karena ada lebih banyak bank lemah di negara maju daripada di pasar negara berkembang.
Kelompok bank lemah ini menderita kenaikan suku bunga acuan, meningkatnya gagal bayar (default) pinjaman, dan penurunan harga sekuritas. Untuk melengkapi uji stres global, alat pengawasan baru bergabung dengan metrik pengawasan tradisional, seperti rasio modal terhadap aset, serta indikator pasar, seperti rasio harga pasar terhadap nilai buku ekuitas bank. Ini secara historis membuktikan prediktor penting dari hilangnya kepercayaan selama peristiwa uji stres perbankan. Terdapat lima metrik risiko untuk menengarai tingkat kesehatan bank dilihat dari indikator atau parameter berikut ini: kecukupan modal, kualitas aset, pendapatan, likuiditas, dan penilaian pasar.
Selama periode uji stres, banyak bank mungkin berpotensi rentan, sementara hanya sedikit bank pernah mengalami kesulitan yang signifikan. Kembali menguji alat ini menunjukkan lonjakan institusi bank yang berpotensi rentan pada awal dan selama masa pandemi, serta kenaikan berkelanjutan pada akhir 2022 dan berlanjut ke pertengahan 2023 karena suku bunga yang lebih tinggi mulai berdampak. Kelompok terakhir ini termasuk tiga bank yang gagal atau diambil alih pada Maret lalu di AS, di antaranya Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan First Republic Bank.
Tragedi perbankan Maret 2023 di AS itu menjadi pembelajaran penting bagi pengelola bank di negara-negara lain, khususnya di negara-negara berkembang, karena tekanan likuiditas dan profitabilitas tetap ada. Di sini otoritas keuangan-perbankan harus lebih proaktif memantau perkembangan kinerja bank-bank secara individual (hingga secara agregat) untuk memilah mana yang dampaknya sistemis dan mana yang nonsistemis.
Sekarang ketegangan perbankan relatif telah mereda. Lembaga-lembaga dan regulator harus mengambil waktu ini untuk meningkatkan ketahanan pelaku industri keuangan. Mereka tetap harus bersiap untuk berbagai kemungkinan risiko yang disebutkan di atas, terutama karena suku bunga acuan mungkin tetap lebih tinggi dan lebih lama.
Menakar Prospek dan Tantangan Perbankan 2024
Di tengah era suku bunga global yang bertahan tinggi dan diperkirakan masih berlangsung cukup lama (higher for longer), sektor perbankan Indonesia terpantau tetap solid dan resilien, ditopang tingkat permodalan (capital adequacy ratio/CAR) yang tinggi di level 27,41% atau jauh di atas rata-rata CAR negara lain yang berada di bawah 20%. Hal ini menunjukkan kebijakan prudensial yang konservatif amat membantu menangani situasi global yang masih labil.
Baca juga: Waspadai ‘Second Impact’ Krisis Perbankan Global
Kinerja intermediasi perbankan tetap terjaga dengan pertumbuhan kredit per September 2023 tercatat 8,96% year on year (yoy) menjadi Rp6.837,30 triliun, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 11,19% yoy. Kelompok bank umum swasta domestik menjadi kontributor pertumbuhan kredit terbesar yaitu 12,19% yoy, per September 2023.
Di lain sisi, simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) pada September 2023 tercatat tumbuh 6,54% yoy menjadi Rp8.147,17 triliun. Giro menjadi kontributor pertumbuhan terbesar yaitu 9,84% yoy.
Likuiditas industri perbankan terpantau dalam level memadai dengan rasio-rasio likuiditas jauh di atas level kebutuhan pengawasan. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) sebesar 115,37% dan 25,83%, tetap jauh di atas ambang batas (threshold) masing-masing sebesar 50% dan 10%.
Kualitas kredit juga terlihat tetap terjaga baik dengan NPL net sebesar 0,77% dan NPL gross sebesar 2,43%. Seiring terjaganya perekonomian nasional yang tumbuh secara tahunan berkisar 5%, nilai kredit terdampak COVID-19 yang direstrukturisasi konsisten menurun sebesar Rp9,17 triliun menjadi Rp316,98 triliun.
Menurunnya nilai kredit restrukturisasi berdampak positif terhadap penurunan rasio loan at risk (LAR) menjadi 12,07%. Adapun nilai kredit terdampak COVID-19 yang direstrukturisasi bersifat targeted (berdasarkan segmen, sektor, industri, dan daerah tertentu yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama satu tahun sampai 31 Maret 2024) adalah 43,32% dari total porsi kredit terdampak COVID-19 yang direstrukturisasi atau sebesar Rp145,3 triliun.
Baca juga: OJK Sebut Kinerja Perbankan Masih Optimis di Tengah Volatilitas Global, Ini Buktinya
Meskipun imbal hasil atau yield surat utang AS masih di level yang tinggi dan berdampak pada kenaikan yield Surat Berharga Negara (SBN), risiko pasar yang terkait portofolio SBN relatif telah termitigasi. Hal itu antara lain karena perbankan telah menyesuaikan durasi atau tenor SBN serta melakukan penyesuaian kembali (rebalancing) jenis portofolio, baik yang bersifat hold to maturity (HTM) maupun available for sale (AFS), sehingga potensi kerugian dari perubahan nilai wajar surat berharga (dampak marked to market) tidak mengganggu permodalan bank.
Terkait dengan depresiasi rupiah akhir-akhir ini, portofolio perbankan secara umum relatif tidak terpengaruh karena Posisi Devisa Neto (PDN) atau Net Open Position (NOP) perbankan tercatat stabil di level 1,76%, jauh di bawah ambang batas yang 20%.
Akhirnya, berdasarkan hasil asesmen berkala hingga 2023 September lalu, industri perbankan nasional terpantau tetap resilien dan mampu menyerap berbagai potensi risiko di tengah dinamika lingkungan ekonomi global. Untuk itu, bank-bank harus terus melakukan uji tekanan (stress test) pada berbagai skenario untuk menguji resiliensi permodalan, likuiditas, dan profitabilitas sesuai dengan prinsip manajemen risiko yang andal dan teruji.
Harus dipahami, meskipun kalangan perbankan dituntut untuk tetap optimistis menatap 2024 yang menantang, mereka juga tetap perlu waspada agar industri perbankan Indonesia tetap baik-baik saja. (*)