Oleh Piter Abdullah Redjalam, pengamat dari Core Indonesia
TULISAN dedengkot perbankan, Eko B. Supriyanto, beberapa waktu lalu, yang mempertanyakan mengapa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sibuk bicara tentang pertumbuhan ekonomi menurut saya sangat menarik. Argumentasi Eko sebenarnya sederhana. Tugas utama OJK memang bukan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Sebagai lembaga independen, OJK seharusnya fokus pada tujuan utamanya, yaitu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil melalui peningkatan kualitas pengaturan dan pengawasan.
Sejauh ini, merujuk pada tulisan Eko, OJK belum maksimal meningkatkan kualitas pengaturan dan pengawasan, khususnya di industri keuangan nonbank (IKNB). Hal ini tecermin misalnya dari rasio jumlah pengawas dibandingkan dengan lembaga keuangan nonbank yang diawasi yang masih sangat rendah. Belum lagi bicara kapasitas atau kualitas SDM pengawas. Kasus Jiwasraya dan Asabri memperkuat argumentasi Eko.
Namun, benarkah OJK tidak punya ruang untuk bicara tentang pertumbuhan ekonomi? Tujuan akhir atau ultimate goal dari semua kebijakan makro adalah kesejahteraan masyarakat. Demikian juga dengan semua kementerian dan lembaga, termasuk di antaranya OJK, yang bertugas menjaga ekonomi makro (stabilitas sistem keuangan adalah bagian dari stabilitas makro), tujuannya tidak lain adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya pertumbuhan ekonomi karena dengan adanya pertumbuhan ekonomi akan tercipta lapangan kerja yang kemudian bisa meningkatkan penerimaan masyarakat.
Dengan argumentasi di atas, saya lebih berpendapat bahwa OJK justru harus menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran akhir dalam rangka ikut mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Benar bahwa OJK harus fokus melaksanakan tugas utamanya yaitu mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor IKNB. Namun, pengaturan dan pengawasan itu hendaknya bisa menciptakan stabilitas sistem keuangan yang kemudian berujung pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun saya berpendapat OJK memang memiliki tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi perlu dipahami bahwa kontribusi OJK terhadap pertumbuhan ekonomi adalah melalui pertumbuhan sistem keuangan yang berkesinambungan dan stabil. Artinya untuk berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi, OJK harus meningkatkan kualitas pengaturan dan pengawasan sektor keuangan. OJK harus menjamin bahwa sistem keuangan, termasuk lembaga-lembaga yang diawasinya, berfungsi secara optimal, tumbuh berkesinambungan, dan stabil.
Kinerja dan Tantangan OJK
Dilihat dari indikator stabilitas dan pertumbuhan industri jasa keuangan (IJK), kinerja OJK tidaklah buruk. Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan bahwa secara umum stabilitas keuangan pada 2019 tetap terjaga dengan baik. Di lain sisi, di tengah kondisi global yang belum stabil, OJK juga mampu mempertahankan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional.
Di industri perbankan, kredit tumbuh 6,08%. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 6,54%. Non performing loan (NPL) gross terjaga di angka 2,5% dan capital adequacy ratio (CAR) sebesar 23,3%. Sementara itu, total dana kelolaan investasi di pasar modal sebesar Rp806,86 triliun atau naik 8,19%. Pertumbuhan yang sangat cepat terjadi di industri peer-to-peer (P2P) lending. Jumlah penyaluran pinjaman tahun lalu sebesar Rp58,83 triliun atau naik 192,7% dibandingkan dengan penyaluran pada 2018.
Bahkan, di industri asuransi yang tengah dirundung beberapa masalah, pertumbuhannya masih di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Premi asuransi komersial sebesar Rp281,2 triliun atau tumbuh 8,0%. Risk based capital (RBC) industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 345,35% dan 789,37%, jauh lebih tinggi daripada threshold 120%.
IJK memang tumbuh dan stabil, tapi bukan berarti tidak ada permasalahan. Kasus Jiwasraya adalah satu di antaranya. Kasus Jiwasraya adalah tanggung jawab OJK, tapi penyelesaiannya tidak bisa dilakukan sendiri oleh OJK tanpa komitmen manajemen dan pemegang saham. Artinya, penyelesaian kasus Jiwasraya hanya bisa dilakukan bersama dengan direksi Jiwasraya, pemerintah (sebagai pemegang saham), dan bahkan DPR. Kepentingan pemegang polis menjadi perhatian utama. Upaya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) layak diapresiasi dalam menenangkan pemegang polis. Upaya penyehatan perusahaan Jiwasraya memang menjadi kewenangan Kementerian BUMN sebagai pemilik.
Keterbatasan OJK
Sebagian orang menganggap OJK sebagai lembaga super body. Lembaga yang dibentuk berdasakan Undang-Undang (UU) No. 21/2011 ini dianggap dapat melakukan “semua” hal di IJK.
Padahal, sejatinya tidak demikian. Otoritas di bidang jasa keuangan ini sesungguhnya memiliki banyak keterbatasan, termasuk dalam hal memfungsikan IJK mengejar pertumbuhan ekonomi.
OJK tidak punya kewenangan untuk mengatur berapa suku bunga kredit dan oleh karena itu OJK tidak punya kuasa menentukan pertumbuhan kredit yang dibutuhkan untuk investasi.
Dengan demikian, OJK tidak punya kendali atas pertumbuhan ekonomi. Suku bunga dan pertumbuhan kredit yang memengaruhi pertumbuhan investasi sekaligus menjadi penentu pertumbuhan ekonomi adalah domain otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia (BI).
Kendati demikian, kita perlu memahami bahwa OJK memiliki peran yang sangat penting, menjaga IJK. Tanpa IJK yang tumbuh berkesinambungan, maka gerak perekonomian akan terbatas dan pertumbuhan ekonomi tak mungkin bisa diraih. Siapa bilang OJK tidak berhak bicara pertumbuhan ekonomi?