Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom, Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED)
SETELAH didera oleh pandemi COVID-19 selama hampir tiga tahun, berlanjut dengan krisis geopolitik di Ukraina yang belum juga berakhir, kini pertanyaan besar yang mengemuka adalah bagaimana arah kebijakan ekonomi global ke depan?
Pertanyaan tunggal di atas sangat relevan, mengingat pandemi dan perang di Ukraina telah menghancurkan perekonomian di sebagian besar negara di dunia dan semua benua, baik negara kaya, negara berkembang maupun negara berpenghasilan rendah.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia, kawasan maupun individu negara sudah dirilis oleh berbagai lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, OECD, dan ADB). Semuanya melandaikan outlook-nya untuk tahun ini dan 2023 nanti. Baru di 2024 outlook ekonomi dunia diperkirakan akan membaik, meskipun belum setara dengan masa prapandemi (lihat Tabel 1).
Dengan demikian, para pengambil kebijakan di seluruh dunia masih akan dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak mudah untuk dilalui, misalnya ancaman krisis energi, krisis pangan, dan krisis geopolitik, yang semuanya berdampak pada terjadinya resesi ekonomi dan laju inflasi yang tinggi, atau dikenal dengan istilah reflasi.
Indikator negatif berikutnya adalah angka pengangguran melonjak karena banyak orang kehilangan pekerjaan, diikuti dengan indikator lainnya berupa penurunan purchasing managers’ index (PMI) di bawah level ambang batas 50 atau masuk zona kontraksi, terutama di negara-negara maju (lihat Tabel 2).
Untuk merespons kenaikan inflasi yang di luar kelaziman karena penyebabnya yang multikompleks, bank-bank sentral secara agresif menaikkan suku bunga acuan, atau dalam istilah lain mengetatkan kebijakan moneternya. Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, secara agresif menaikkan suku bunga acuan hingga level 3,75%-4,0% saat ini dan diperkirakan akan naik lagi sebesar 50-75 basis point (bps) menjadi 4,25%-4,5% (jika naik 50 bps) atau 4,5%-4,75% (jika naik 75 bps) di Desember ini.
Langkah The Fed itu diikuti oleh bank-bank sentral lainnya, baik di negara maju maupun negara berkembang, yang semata-mata untuk mengendalikan inflasi ke level sasaran mereka masing-masing. Para pengambil kebijakan menyadari, keputusan yang diambil tersebut dilematis, karena akan menahan potensi pertumbuhan ekonomi, meskipun laju inflasi sedikit demi sedikit dapat dikendalikan ke bawah.
Stance Kebijakan ke Depan
Karena itu, akankah kenaikan suku bunga acuan bank-bank sentral yang agresif dan cukup efektif melawan inflasi yang sangat tinggi secara global itu akan berlanjut di 2023 nanti? Lalu, sekiranya konsekuensi ekonomi dari kenaikan suku bunga acuan adalah perlambatan pertumbuhan yang parah sehingga mengarah ke resesi ekonomi, berapa lama jangka waktu kebijakan suku bunga ketat akan dipertahankan dan berapa persen besarannya? Kapan perekonomian dunia, kawasan, dan individu negara akan memasuki era “new normal” seperti sebelum masa pandemi?
Pertanyaan-pertanyaan tambahan di atas sangat relevan diajukan seiring dengan maraknya peramalan bahwa dari berbagai indikator ekonomi menunjukkan kemungkinan besar resesi global terjadi dalam 12 bulan ke depan, meskipun potensi keparahannya untuk level global, kawasan maupun individu negara masih terbuka untuk diperdebatkan.
Dalam delapan kali resesi di AS selama 60 tahun terakhir, tidak termasuk resesi karena pandemi COVID-19 pada 2020 lalu, terjadi rata-rata penurunan sebesar 2% pada produk domestik bruto (PDB) AS serta kenaikan 3% pada angka penganggurannya. Belajar dari pengalaman resesi sebelumnya itulah muncul perkiraan terbaru bahwa resesi ekonomi AS akan “dangkal” atau “ringan” karena kesiapan otoritasnya dalam menangkal berbagai faktor penyebab.
Itu terbukti dengan cepat kembalinya pertumbuhan PDB AS ke zona positif (sebesar 2,6% year on year/yoy) pada kuartal ketiga tahun ini setelah pada kuartal pertama dan kedua tumbuh negatif (masing-masing minus 1,6% dan 0,9%). Konsumsi masyarakat AS terbukti tangguh dalam menghadapi inflasi yang meluas dan kenaikan suku bunga acuan yang melaju cepat. Konsumsi pribadi, bagian terbesar dari ekonomi AS, naik 1,4% atau lebih baik dari perkiraan.
Pada 2023 nanti diperkirakan pertumbuhan ekonomi AS tetap melemah (berkisar 0,1%) seiring dengan melandainya laju inflasi meskipun masih di level tinggi (sekitar 5%-6%). Kondisi ini sebagai buah dari kebijakan moneter ketat di sepanjang 2023 yang mengarahkan ekonomi AS menuju resesi ringan. Sementara, kebijakan moneter yang juga ketat di Uni Eropa dan Inggris akan menyebabkan kontraksi ekonomi.
Kesimpulannya, stance kebijakan moneter di negara maju cenderung ekstra ketat, sementara di negara berkembang Asia cenderung bias ketat atau ketat pada batas bawah. Divergensi kebijakan inilah yang menghasilkan perbedaan hasil akhir. Stance kebijakan moneter seperti ini diperkirakan masih akan berlanjut di 2023, meskipun agresivitas kenaikan suku bunga acuan di semua bank sentral cenderung berkurang seiring makin terkendalinya laju inflasi.
Ketika perekonomian negara-negara maju melambat, sebaliknya perekonomian negara-negara berkembang Asia, khususnya Asia Tenggara (di antaranya Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Kamboja) diibaratkan “menawarkan tunas hijau” bagi pertumbuhan ekonomi global dan kawasan karena mampu bertahan bahkan beberapa di antaranya menguat lebih cepat.
Salah satu contohnya adalah Indonesia, yang selama empat kuartal berturut-turut (sejak kuartal keempat 2021 hingga kuartal ketiga 2022) ekonominya mampu tumbuh rata-rata sedikit di atas 5% yoy. Kinerja ekonomi Indonesia yang baik ini karena efektivitas bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, terukur, dan taktikal.
Dalam hal ini stance kebijakan moneter yang pro stabilitas melalui jalur suku bunga acuan untuk pengendalian inflasi dan penguatan posisi rupiah. Juga kebijakan moneter yang pro pertumbuhan melalui jalur kebijakan makroprudensial dengan pemberian insentif ke sektor perbankan mampu menahan laju inflasi tahunan di bawah 5,5% dan menstabilkan rata-rata nilai tukar rupiah (berkisar Rp15.000 per US$1) serta mendorong pertumbuhan ekonomi tahunan ke level cukup tinggi sebesar 5,1%-5,3% yoy pada 2022 ini.
Catatan untuk 2023
Dari tabel 1 dan 2 terlampir, dapat disimpulkan bahwa di sepanjang 2023 nanti ekonomi global akan ditandai oleh perkiraan berikut ini, yakni ekonomi AS masih akan melemah meskipun tetap tumbuh positif, ekonomi Uni Eropa dan Inggris kemungkinan akan mengalami kontraksi, sementara ekonomi negara berkembang diperkirakan akan pulih lebih cepat dengan level moderat.
Kabar baiknya menjelang 2023 nanti adalah perkiraan inflasi global akan mencapai puncaknya pada kuartal IV-2022 ini. Melambatnya permintaan konsumen dan pemberian diskon harga karena persediaan yang meningkat serta faktor-faktor lainnya akan membantu meredam inflasi, yang pada gilirannya akan mendorong bank-bank sentral utama untuk berhenti sejenak menaikkan suku bunga acuan dan memulai untuk fase pelandaian suku bunga acuan.
Di tengah kompleksitas persoalan yang ada saat ini dan ke depan, maka pilihan kebijakan yang tepat akan membantu mengakselerasi pemulihan ekonomi global. Ini lantaran beberapa risiko masih harus diantisipasi, di antaranya stance kebijakan moneter The Fed yang tetap agresif serta stance kebijakan moneter Tiongkok yang amat longgar disertai kebijakan zero COVID-19 yang menimbulkan ketegangan politik domestik.
Selain itu, ketegangan geopolitik ditandai perang Rusia dan Ukraina yang berakibat pada defisit energi dan pangan di Eropa, menurunnya kepercayaan konsumen global, tertahannya pertumbuhan ekonomi, juga perubahan iklim yang ekstrem.
Semoga deklarasi dan kesepakatan dalam pertemuan tingkat tinggi para pemimpin G20 di Bali, Indonesia, beberapa waktu lalu, dan berlanjut pada pertemuan tingkat tinggi para pemimpin negara Asia Pasifik (APEC Meeting 2022) di Bangkok, Thailand, secara sungguh-sungguh dikerjakan oleh para negara anggota sehingga mampu meredakan potensi risiko global di atas. (*)