Memperkuat Pengawasan Terintegrasi Dan Peran OJK di Tengah Dampak Pandemi

Memperkuat Pengawasan Terintegrasi Dan Peran OJK di Tengah Dampak Pandemi

Jakarta – Penguatan fungsi pengawasan terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu dikedepankan. Sebab, marwah kelahiran OJK adalah untuk pengawasan terintegrasi. Jika ada hal-hal yang perlu diperbarui, yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat dan melakukan reformasi kelembagaan.

Ada enam alasan kenapa OJK didirikan. Satu, adanya konglomerasi bisnis keuangan. Dua, integrasi produk dan jasa keuangan yang makin tidak jelas. Tiga, hybrid product, adanya teknologi makin mendorong industri jasa keuangan makin canggih. Empat,arbitrase peraturan, di mana bank penuh regulasi sementara IKNB lebih longgar. Lima, koordinasi lintas sektor lebih mudah. Enam, perlindungan konsumen.

Jika masalah dalam menjalankan fungsi pengawasan adalah kelembagaan, maka tinggal memperkuat dan melakukan reformasi kelembagaan. “Apakah ini menyangkut independensi pengawasan atau soal kinerja juga tidak jelas, pemerintah tiba-tiba akan mengembalikan pengawasan ke BI dan BI pun akan dipreteli independensinya,” ujar Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto, melalui video conference di Jakarta, Selasa 15 September 2020.

Hal itu  mengemuka dalam Public Discussion “Rapor Industri Jasa Keuangan dan Pengawasan Terintegrasi” yang diselenggarakan Majalah Infobank dan The Chief Economist Forum di Jakarta, Selasa, 15 September 2020. Hadir sebagai pembicara, Aviliani, Ekonom INDEF; Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI; dan Piter Abdullah, Ekonom CORE Indonesia. Meski pengawasan konglomerasi sempat tidak terdengar, sejatinya OJK sudah menerapkan pengawasan terintegrasi.

“Jika ada hal-hal yang perlu diperbarui adalah adanya silo-silo antarpengawas. Hal ini bukan salah OJK, melainkan salah undang-undangnya, karena posisi ketua bukan seperti CEO atau seperti Gubernur BI,” tegas Eko.

Pengembalian fungsi pengawasan ke BI (mikro-makro prudensial) bisa jadi akan lebih efektif, tapi pendirian OJK dulu juga untuk menghukum BI akibat banyak bank yang kedodoran, baik soal BLBI maupun soal kinerja pengawasan. Sekarang sudah dipisah, pemerintah ingin kembali.

“Indonesia pernah merasakan pengawasan di satu atap BI, lalu dipisah. Lalu, apakah akan dikembalikan lagi? Perlu kajian yang lebih dalam, dan jangan sampai hanya karena nafsu politik serta kepentingan sesaat,” ucap Eko.

Ada baiknya perlu lebih dingin melihat persoalan, dan tetap memperkuat kelembagaan OJK dengan pengawasan terintegrasinya. Dan, memang perlu memperkuat pasal-pasal agar lebih memperkuat pengawasan terintegrasi atau pengawasan konglomerasi yang menjadi marwah pendirian OJK, dan tidak lagi bicara pertumbuhan, yang ternyata tidak diapresiasi pemerintah.

Dari banyak pengalaman, pembiayaan fiskal dari bank sentral lebih banyak menimbulkan gangguan stabilitas. Jadi, jika benar BI mau “dipreteli” independensinya perlu dikaji lebih serius. Pengalaman sebelumnya, adanya Dewan Moneter akan memengaruhi BI lebih tunduk kepada Menkeu.

“Dan, yang paling mengerikan jika BI disuruh-suruh mencetak duit. Jika itu dilakukan, bukan tak mungkin akan kembali ke zaman Kebijakan Ekonomi Orde Baru,” tegas Eko.

Jika masalahnya pada koordinasi, sepertinya BI sudah “legowo” dengan melakukan burden sharing, membeli SBN dengan suku bunga nol persen itu sepertinya BI sudah mengorbankan kewenangannya. Jangan-jangan masalahnya di fiskal, tapi hendak mempermasalahkan kebijakan moneter.

Jadi, pemerintah perlu hati-hati jika hendak menjadikan BI dan OJK sebagai bawahannya. Reformasi sektor keuangan ini akan menjadikan KSSK di mana Menkeu sebagai ketuanya – proses pengambilan keputusannya bisa cepat, tapi apakah tidak menimbulkan dampak di kemudian hari? Pengalaman Orde Baru akibat pemerintah lebih dominan atas kebijakan-kebijakan BI. Namun di sisi lain pemerintah ingin sektor keuangan tertangani lebih cepat. Jalan tengahnya bisa jadi soal komunikasi.

PERAN OJK ATASI DAMPAK PANDEMI

Hal lain yang lebih urgent untuk  mendapat perhatian saat ini adalah bagaimana agar OJK lebih berperan dalam mengatasi dampak pandemi COVID-19 di sektor keuangan dan perbankan. Sejak pandemi masuk ke Indonesia, setidaknya OJK telah merilis lima Peraturan OJK (POJK) terkait penanganan dampak pandemi.

POJK tersebut merupakan aturan pelaksanaan dari Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19.

Pertama, aturan bagi Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dalam melakukan relaksasi kepada nasabah. Ketentuan ini tercantum dalam POJK Nomor 14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.

Kedua, aturan tentang penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan tercatat di pasar modal. Ketentuan ini tertuang dalam POJK No. 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan RUPS Perusahaan Terbuka. Ketiga, aturan terkait penyelenggaraan RUPS secara elektronik oleh emiten. Ini tertuang dalam POJK Nomor 16/POJK.04/2020 tentang Pelaksanaan RUPS Perusahaan Terbuka Secara Elektronik.

Keempat, aturan tentang transaksi material dan perubahan kegiatan usaha. Aturan ini, menyempurnakan definisi dan prosedur transaksi material, memperjelas substansi pengaturan, dan meningkatkan efektivitas pengaturan. POJK ini bertujuan meningkatkan perlindungan pemegang saham publik dalam transaksi material dan perubahan kegiatan usaha.

Kelima, aturan penanganan masalah di industri perbankan. Ini tertuang dalam POJK Nomor 18/POJK.03/2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. “Dengan lima peraturan ini OJK bisa berperan optimal dalam mengatasi dampak pandemi di industri perbankan dan keuangan. Ini yang perlu didorong dan diperkuat,” tutup Eko. (*)

Editor: Rezkiana Np

Related Posts

News Update

Top News