Memperkuat Daya Tahan Dunia Usaha di Tengah Perlambatan Ekonomi Global

Memperkuat Daya Tahan Dunia Usaha di Tengah Perlambatan Ekonomi Global

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital (ISED)

 

BERKECAMUKNYA perang di Ukraina yang berkelanjutan hingga kini telah menciptakan keguncangan hebat pada lanskap perekonomian global. Dampak negatif secara eskalatif telah memperlemah sendi-sendi perekonomian dunia, tidak hanya ekonomi dua negara yang berperang, yaitu Ukraina dan Rusia.

Perang telah menciptakan gangguan rantai pasok secara global, antarnegara dan juga antarkawasan. Akibat terganggunya rantai pasok ini, harga barang-barang yang diperdagangkan lintas negara, lintas kawasan, dan lintas benua melonjak sangat tinggi. Hal ini berujung pada laju inflasi yang terdorong amat tinggi, terutama karena kenaikan harga minyak dunia yang menembus level psikologis US$100 per barel, disusul kenaikan harga komoditas energi dan pangan secara umum.

Tak heran jika inflasi tahunan di Amerika Srikat (AS) sempat menyentuh level 9,1% (Juni 2022), yang memaksa bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, menaikkan secara agresif suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) sebesar 225 basis point (bps) sejak Maret hingga Juli lalu. Upaya menaikkan FFR ini semata-mata hanya untuk menurunkan inflasi, dan terbukti cukup berhasil di mana inflasi tahunan per Juli telah turun ke level 8,5%.

Sinkronisasi Kebijakan 

Langkah bank sentral AS tersebut diikuti bank-bank sentral lainnya yang negaranya mengalami lonjakan inflasi tajam. Sebut saja Uni Eropa, Jerman, dan Inggris. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menaikkan suku bunga acuan 50 bps untuk mengatasi lonjakan inflasi yang melanda kawasan tersebut. Langkah yang berlaku mulai 27 Juli itu merupakan yang pertama kalinya sejak 2011. Sebelum menaikkan suku bunga acuan, ECB memang telah mengindikasikan akan agresif dalam mengatasi lonjakan inflasi.

Presiden ECB, Christine Lagarde, mengatakan, inflasi tinggi akan menjadi perhatian lembaganya bulan demi bulan supaya tidak menimbulkan risiko. Selain menaikkan suku bunga acuan, demi menjaga ekonomi di Eropa, ECB juga meluncurkan paket pembelian obligasi baru. Paket itu diluncurkan untuk membatasi biaya pinjaman di negara-negara dengan utang tinggi di zona Euro, seperti Italia dan Yunani.

ECB ingin menjaga kohesi di kawasan Uni Eropa yang menggunakan mata uang tunggal, yakni euro. Maklum, inflasi tahunan di Uni Eropa melonjak dan sempat menyentuh 9,6% pada Juni lalu. Lonjakan inflasi dipicu oleh kenaikan harga energi sebagai akibat perang Rusia dengan Ukraina. Meski demikian, mereka belum memproyeksikan Eropa akan mengalami resesi ekonomi. Pada proyeksi Juni lalu, ECB masih berharap ekonomi tumbuh 2,8% tahun ini dan 2,1% pada 2023. Lagarde memastikan bahwa skenario dasar tidak akan ada resesi, baik tahun ini maupun tahun depan.

Sementara itu, inflasi tahunan Jerman pada Juni 2022 tercatat melandai ke 7,6% dari bulan sebelumnya sebesar 7,9% yang menjadi angka tertinggi sejak musim dingin 1973/1974. Inflasi Juni 2022 tersebut sesuai dengan ekspektasi dan konsensus para analis sebesar 7,6%. Sedangkan inflasi Jerman secara bulanan pada Juni 2022 tercatat 0,1% atau lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 0,9%. Inflasi bulanan pada Juni 2022 ini pun sesuai dengan ekspektasi dan konsensus para analis sebesar 0,1%.

Seperti telah diproyeksikan, harga bahan bakar sedikit menurun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya dengan adanya pemotongan pajak bensin dan solar. Alhasil, laju inflasi dapat sedikit diredam. Meskipun demikian, setidaknya hingga akhir tahun Jerman masih akan berada dalam tren inflasi tinggi. Diproyeksikan laju inflasi sekitar 7% sampai dengan akhir tahun di Jerman. Jika tidak ada krisis lebih lanjut, maka inflasi kemungkinan akan mereda pada Januari 2023.

Laju inflasi tinggi disertai ekonomi yang tumbuh terbatas, bahkan melambat pada kuartal II-2022, memang memprihatinkan. Kondisi ini seiring dengan kenaikan harga energi dan gangguan rantai pasok akibat dampak perang di Ukraina yang tak kunjung mereda.

Produk domestik bruto (PDB) Jerman pada kuartal II-2022 tumbuh 1,7% secara tahunan (year on year/yoy) atau lebih tinggi dari konsensus sebesar 1,4%. Namun, pertumbuhan itu melambat dibandingkan dengan kuartal I-2022 sebesar 3,6% yoy.

Kondisi ekonomi Jerman diproyeksi masih akan diselimuti ketegangan pada tahun depan karena inflasi masih akan tetap tinggi. Pemicunya adalah pasokan masih akan terbatas dan ketegangan geopolitik yang masih berlanjut. Apalagi Rusia telah memotong pasokan gasnya kepada Jerman yang cukup bergantung pada Rusia. Maklum, Jerman adalah konsumen terbesar energi dari Rusia sehingga kekurangan pasokan ini telah mendorong kenaikan lebih tinggi harga-harga di Jerman.

Setali tiga uang, dengan langkah ECB, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 1,75%. Kenaikan 50 bps dalam sekali rapat adalah yang tertinggi sejak 1995. Keputusan BoE ini searah dengan ekspektasi dan konsensus pasar.

Perkembangan inflasi dan nilai tukar poundsterling menjadi alasan BoE menaikkan suku bunga acuan. Pada Juli 2022, inflasi tahunan Inggris mencapai 9,4% atau tertinggi sejak 1982. Untuk meredam inflasi, salah satu caranya adalah mengerem sisi permintaan. Inilah gunanya kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga tinggi, ekspansi rumah tangga dan dunia usaha akan melambat sehingga meringankan tekanan inflasi.

Tidak hanya inflasi, BoE juga mencemaskan dinamika nilai tukar poundsterling yang melemah hampir 10% (year to date/ytd) terhadap dolar AS sejak akhir 2021. Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa ikut mendongkrak imbalan keuntungan saat berinvestasi di aset-aset berbasis poundsterling. Arus modal tersebut bisa menjadi modal bagi penguatan poundsterling.

Perkiraan Suram

Gambaran suram di atas itulah yang memaksa Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,2%, atau turun 0,4% dari proyeksi yang dirilis pada April 2022 lalu. Hal itu dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian global. Revisi proyeksi tersebut disampaikan IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru edisi Juli 2022.

Dalam laporan itu, IMF menyatakan pemulihan ekonomi di 2022 semakin suram karena ketidakpastian global yang menguat. Beberapa guncangan telah memukul ekonomi dunia yang sudah melemah akibat pandemi COVID-19. Terjadi inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan di seluruh dunia, terutama di AS dan negara-negara besar ekonomi utama Eropa, sehingga memicu kondisi keuangan yang lebih ketat.

Di lain pihak, Tiongkok sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia mengalami perlambatan perekonomian yang lebih buruk dari perkiraan akibat lonjakan kasus COVID-19 dan kebijakan penguncian wilayah untuk mencapai zero COVID-19. Di samping itu, perang Rusia-Ukraina pun turut menjadi sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global. IMF menyebut, risiko yang besar menyebabkan prospek ekonomi global condong ke bawah, terlebih dengan adanya perang di Ukraina yang dapat menyebabkan penghentian tiba-tiba impor gas Eropa dari Rusia. Bahkan, kinerja inflasi bisa lebih sulit diturunkan jika pasar tenaga kerja lebih ketat dari yang diharapkan.

Mengulang data sebelumnya, AS sempat mencatatkan lonjakan inflasi mencapai 9,1% pada Juni 2022, sementara Inggris mengalami inflasi sebesar 9,1% pada Mei 2022, yang sekaligus menjadi level inflasi tertinggi di kedua negara itu dalam 40 tahun. Di kawasan Eropa, inflasi tercatat mencapai 8,6% pada Juni 2022, merupakan level tertinggi sejak lahirnya serikat moneter atau monetary union. Sedangkan pada negara berkembang diperkirakan inflasi pada kuartal II-2022 mencapai 9,8%.

IMF pun turut merevisi proyeksi inflasi global sepanjang 2022 menjadi lebih tinggi yakni 6,6% bagi negara maju, atau naik 0,9% dari proyeksi April 2022. Begitu pula inflasi negara berkembang diperkirakan menjadi 9,5% di 2022, atau naik 0,8% dari proyeksi sebelumnya. Inflasi global telah direvisi naik karena kenaikan harga pangan dan energi, serta terjadinya ketidakseimbangan antara sisi pasokan dan sisi permintaan.

Di lain sisi, pertumbuhan rata-rata upah tidak mengikuti inflasi di pasar negara maju maupun negara berkembang, sehingga mengikis daya beli rumah tangga. Merespons data yang ada, bank-bank sentral dari negara-negara maju utama menarik dukungan moneter lebih tegas dan menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan. Bank-bank sentral di beberapa pasar negara berkembang juga telah menaikkan suku bunga acuan lebih agresif.

Peningkatan suku bunga acuan yang agresif telah membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal, terutama di sektor perumahan. Kenaikan terkait biaya pinjaman jangka panjang, termasuk bunga hipotek, dan kondisi keuangan global yang lebih ketat telah menyebabkan penurunan tajam dalam harga ekuitas, dan semua ini membebani pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha (korporasi).

Sikap Responsif Dunia Usaha 

Melambatnya perekonomian global secara umum tentu berdampak kurang kondusif bagi kalangan dunia usaha atau korporasi. Dalam konteks ini, keberhasilan korporasi mengarungi masa suram ini akan sangat bergantung pada ketahanan yang dibangunnya sekarang, yang tentunya membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan efektif.

Para pemimpin korporasi, chief executive officer (CEO), harus mampu memperkuat daya tahan perusahaannya untuk bertahan hidup dan tumbuh berkembang berkelanjutan dalam lanskap lingkungan ekonomi yang berubah dramatis. Mayoritas perekonomian negara maju terpuruk (bahkan ada yang secara teknis sudah masuk fase resesi, seperti AS) dan sebagian kecil negara berkembang mampu bertahan dan tumbuh positif (di antaranya India, Vietnam, dan Indonesia).

Sejarah keberhasilan korporasi papas atas di dunia menunjukkan para CEO terbaik tidak menunggu masalah tiba. Korporasi dengan CEO tangguh dan visioner membuat langkah cepat dan terobosan berani untuk tetap menjaga produktivitas, dan bahkan menciptakan ruang fleksibilitas operasional sehingga kondisi arus kas, likuiditas, dan keuangan tetap sehat.

Acap kali para CEO yang dengan ambisi terukur ini melakukan langkah terobosan yang berani dan berisiko, yakni melakukan divestasi unit usaha yang tekor atau merugi sehingga hanya menjadi beban. Paralel dengan itu, mereka pun berani mengakuisisi entitas bisnis sejenis atau substitusinya untuk menopang strategi pertumbuhan nonorganik sehingga ticket size korporasinya tumbuh berkembang dengan cepat.

Dalam konteks ini, sistem pengambilan kebijakan pun disesuaikan untuk menjadi lebih cepat, lebih lincah, dan lebih forward looking. Di era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) saat ini, kelenturan, kecepatan, dan ketepatan pengambilan keputusan menjadi strategi kunci memenangkan persaingan bisnis yang makin terbuka.

Di sisi finansial, ketahanannya dicapai dengan menjaga kekuatan neraca, posisi arus kas yang lancar dan sehat. Kebijakan penetapan harga dilakukan dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang menjadi target pasarnya, terutama melihat arah inflasi yang cenderung naik. Langkah efisiensi operasional pun dilakukan mengingat potensi lonjakan beban usaha seiring dengan kenaikan harga bahan baku, bahan penolong, dan biaya transportasi lantaran harga bahan bakar minyak (BBM) yang disesuaikan ke atas.

Digitalisasi operasional menjadi salah satu opsi untuk menekan biaya operasional tanpa harus mengurangi jumlah pekerja yang beraktivitas. Orientasi kepada kepuasan konsumen tetap menjadi harga mati karena sesungguhnya keberlangsungan usaha sangat bergantung pada loyalitas para konsumen.

Penggunaan sistem pembayaran elektronik dengan alat bayar digital menjadi salah satu solusi peningkatan loyalitas konsumen yang berorientasi pada kepuasan, kenyamanan, dan keamanan. Misalnya, dengan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), yang merupakan standardisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia (BI) agar proses transaksi pembayaran menjadi lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya.

Mempertahankan kekuatan manajemen operasional juga perlu didukung oleh ketersediaan sistem manajemen kerja yang productive oriented. Dengan dibukanya kembali kebijakan mobilitas orang dan barang diikuti aktivitas ekonomi yang menggeliat, diperlukan business refocusing mengingat perubahan preferensi dan perilaku konsumen. Ada produk lama yang ditinggalkan konsumennya, juga ada perubahan cara pengantaran barang ke konsumen dari secara fisik face to face menjadi secara nonfisik melalui jasa pengiriman barang secara digital.

Pemanfaatan peralatan digitalisasi dalam operasionalisasi korporasi juga harus betul-betul mempertimbangkan aspek keamanan yang teruji lantaran ada potensi cyber-attack sehingga kepuasan dan kenyamanan konsumen tetap terjaga dengan optimal. Kepuasan konsumen dan mitra usaha akan menaikkan citra, reputasi, dan kredibilitas perusahaan. Lebih lanjut hal ini akan meningkatkan nilai merek korporasi dan merek produk serta top of mind-nya sehingga akan mudah diingat dengan baik oleh konsumen dan mitra usahanya.

Digitalisasi sistem pengantaran barang secara langsung ke konsumen akhir telah menghilangkan beberapa titik rantai pasok sehingga harga barang menjadi lebih murah. Perubahan preferensi konsumen yang seperti ini membutuhkan penyesuaian cara kerja. Bagi korporasi nonprodusen, cara kerja normal baik dengan sistem work from home (WFH) maupun work from office (WFO) secara proporsional selama delapan jam kerja per hari dalam lima hari kerja per minggu bisa menjadi alternatif.

Namun, bagi korporasi produsen yang memiliki sejumlah pabrik yang memproduksi produk yang dipasarkan langsung kepada konsumen, sistem kerja secara penuh (full daily operation) secara bergiliran dalam tiga shift harus dilakukan. Orientasi kepada konsumen sepanjang waktu (konsep 7 hari x 24 jam) menjadi pilihan tepat supaya konsumen tidak berpaling ke produk kompetitor.

Untuk kasus Indonesia, strategi mempertahankan pasar domestik menjadi penting ketika permintaan dunia melemah. Strategi ini sejalan dengan laporan IMF terbaru yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini di tengah meningkatnya risiko resesi di sejumlah negara.

Menurut World Economic Outlook Update (Juli 2022), ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh secara tahunan sebesar 5,3% (yoy) dan untuk 2023 sebesar 5,2% (yoy). Sebaliknya, IMF memangkas prospek pertumbuhan dunia tahun ini menjadi 3,2% atau turun 0,4% dari proyeksi IMF pada April 2022. Maka, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif stabil itu menjadi modal berharga bagi kalangan dunia usaha dalam merencanakan strategi pengembangan bisnisnya. 

Peduli Ekosistem dan Lingkungan

Di tengah kampanye ramah lingkungan saat ini sesuai dengan prinsip ESG (environmental, social, and governance), maka setiap pelaku usaha dituntut untuk dapat menerapkan prinsip ESG tersebut secara konsisten dan committed. Proses produksi dan administrasi perusahaan harus selalu diupayakan selaras dengan prinsip ESG tersebut serta secara berkala dan berkesinambungan ditingkatkan level kepatuhannya.

Para pemangku kepentingan (stakeholders), terutama masyarakat konsumen, dengan sukarela akan memberikan atensi dan reward yang lebih baik kepada korporasi yang patuh dan loyal menerapkan prinsip ESG tersebut. Perubahan lanskap ekosistem dan lingkungan harus menjadi going concern pebisnis supaya profit tetap tumbuh baik dan berkelanjutan seraya menjaga planet bumi yang hijau dengan segala kekayaan isinya beserta miliaran people-nya dapat hidup damai sejahtera.

Akhirnya, di tengah ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, kepiawaian para pengambil kebijakan di level pemerintahan, regulator atau otoritas, serta para pelaku usaha menjadi kunci utama menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi yang positif, stabil, dan inklusif yang mampu memberikan nilai tambah bagi umat manusia. (*)

Related Posts

News Update

Top News