Eko B. Supriyanto
DUA tahun pemerintahan Jokowi-JK masih tetap disandera oleh lingkaran setan perekonomian. Pertumbuhan rendah dengan ekspansi kredit perbankan yang terbatas sehingga daya dorong untuk ekonomi masih juga kurang kuat. Diperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun ini tak seperti yang diperkirakan bank-bank. Sementara itu, kualitas kredit perbankan juga kian meningkat (maksudnya memburuk), dengan demikian risiko kredit menjadi kian besar.
Penurunan suku bunga tak banyak menolong ekspansi kredit. Buktinya, kendati suku bunga sudah rendah dan bahkan bank-bank BUKU 4 sudah ada yang di level single digit, toh ekspansi kredit tidak segaris lurus. Itu artinya, persoalannya bukan dari sisi penawaran, melainkan dari sisi permintaan. Suku bunga turun tidak otomatis kredit mengalir.
Pertumbuhan kredit per Agustus 2016 (year on year atau yoy) hanya 6,83% atau mengalami perlambatan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Bahkan, pertumbuhan secara year to date (ytd) hanya sekitar 4%. Pertumbuhan kredit ini yang terendah setelah krisis. Padahal, target pertumbuhan kredit 2016 pada kisaran 11%-12%–target itu akan seperti jauh panggang dari api. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pun berencana merevisi target itu hanya menjadi 5%-6%.
Ada beberapa faktor yang membuat ekspansi kredit melambat. Faktornya itu ialah ekonomi yang melambat, pelunasan kredit yang lebih cepat, besarnya pencadangan, dan ekspektasi dunia usaha yang menilai suku bunga akan terus turun—jadi menunda pencairan kredit pada tahun ini. Nah, karena NPL naik, syarat kredit juga makin ketat.
Kredit yang melambat berdampak pada kenaikan angka NPL. Bahkan, angka NPL tahun ini merupakan yang terbesar sejak krisis 1999. Posisi NPL Juli 2016 mencapai 3,18%. Bahkan, sejumlah bank NPL-nya sudah di atas 5%. Program restrukturisasi kredit bermasalah di bank-bank menjadi agenda rutin di tengah penurunan ekspansi kredit. Di lain sisi, perusahaan-perusahaan melakukan reposisi utang, bahkan lebih banyak debitor yang bagus yang melakukan pelunasan kreditnya.
Pertambangan dan mineral merupakan contoh sektor yang menderita kredit bermasalah paling besar. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), pada Agustus 2016 NPL sektor pertambangan 6,28%, konstruksi 4,55%, dan perdagangan besar 4,05%, atau mengalami kenaikan dari periode sebelumnya. Kendati demikian, perolehan net interest margin (NIM) bank-bank relatif stabil di 5,59%. Namun, perolehan rentabilitas bank-bank mengalami tekanan.
Penurunan ekspansi kredit yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan dana pihak ketiga (DPK) menyebabkan posisi loan to financing ratio (LFR) mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada likuiditas perbankan dengan membandingkan alat likuid dengan non core sebesar 95% atau jauh di atas 50% yang selama ini menjadi patokan di perbankan.
Sejalan dengan bergulirnya program tax amnesty, banyak nasabah yang melakukan pencairan DPK untuk membayar pajak. Satu sisi ada dana masuk, tapi di lain sisi ada dana keluar untuk keperluan perpajakan di rekening pemerintah. Likuiditas akhir September mengalami tekanan hebat. Bank-bank kembali melakukan perang harga dan hadiah untuk menyelamatkan likuiditas. Kelompok bank-bank asing dan campuran ikut pula memperebutkan DPK.
Diperkirakan likuiditas akan ketat sampai dengan akhir 2016. Selain untuk performa, bank-bank bersaing dengan Surat Berharga Nasional (SBN) yang bunganya relatif bersaing dengan bank-bank. Karena kebutuhan pemerintah yang masih besar, maka SBN akan tetap dinilai sebagai produk yang menjadi faktor penyebab terbesar kenapa suku bunga lambat turunnya. Diperkirakan likuiditas akan kembali longgar pada triwulan pertama 2017. Hal itu sejalan dengan masuknya dana-dana repatriasi. Namun, yang harus terus diwaspadai oleh perbankan tak lain masalah likuiditas.
Pada awal November ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan capping suku bunga kartu kredit yang semula 2,95% menjadi 2,25%. Langkah ini dilakukan untuk memaksa bank-bank menurunkan suku bunga kredit, khususnya suku bunga kartu kredit. Sepintas hanya turun 0,7%, tapi angka itu sekitar 25%. Jadi, potensi kehilangan pendapatan bunga sebesar 25%–sebuah angka yang cukup besar di tengah memburuknya kualitas kredit.
Pemaksaan penurunan suku bunga kartu kredit dilihat dari satu sisi akan lebih baik buat debitor untuk terus membelanjakan kartunya. Namun, dari sisi perbankan hal itu tentu akan mengurangi pendapatan bunga. Alangkah baiknya bila capping suku bunga kartu kredit ini bisa lebih bertahap dan bukan langsung 70 basis point. Tentu ini berat.
Pertanyaannya, apakah penurunan suku bunga ini bisa memotong lingkaran setan kredit? Pangkal soalnya tetap pada permintaan kredit yang rendah akibat ekonomi yang lesu, bahkan ekonomi saat ini seperti silent killer bagi kita semua. Perusahaan-perusahaan yang bagus mereposisi utangnya, sementara menunggu dampak paket kebijakan yang 13 paket itu belum juga mujarab.
Hal yang lebih penting saat ini ialah menjaga kualitas kredit dan likuiditas yang bakal ketat pada akhir tahun ini—cash flow menjadi lebih urgen dibandingkan dengan ekspansi kredit atau serapan kredit. Itu artinya lingkaran setan masih tetap ada sampai dengan setahun ke depan. Rupanya, dua tahun pemerintah Jokowi-JK belum mampu mendorong kredit. Lalu, masih janji?(*)
Penulis adalam Pemimpin Redaksi Majalah Infobank.
Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More